Kamis, 22 April 2021

 

”Post-Kartinian”, Sebuah Narasi Kartini

Arif Akhyat ; Dosen Sejarah, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM

KOMPAS, 21 April 2021

 

 

                                                           

Para pemerhati perempuan sering kali terjebak pada dua kutub, antara skripturalis dan pragmatis. Kaum skripturalis bersikukuh keperempuanan adalah konstruksi teks. Sementara, kaum pragmatis, menganggap keperempuanan simbol perjuangan keadilan.

 

Tulisan ini mencoba memahami tokoh Kartini melalui konstruksi kontemporer dengan apa yang disebut post-Kartinian. Post-Kartinian, dalam hal ini menawarkan cara pandang terhadap Kartini dalam batas-batas sejarah yang wajar dan manusiawi.

 

Membaca ulang Kartini

 

Kaum skripturalis menarasikan Kartini sebagai sosok perempuan sempurna Jawa akhir abad XIX. Seorang perempuan yang berkemampuan menjelaskan pandangan dunia ideal, dunia yang penuh toleransi, partisipasi dan emansipasi.

 

Sebaliknya, kaum pragmatis memandang Kartini bukan hanya sosok perempuan ideal, melainkan simbol perlawanan. Narasinya selalu dihadapkan pada persoalan ketidakadilan, intoleransi, bias jender, dan ketidaksetaraan. Secara ekstrem, keduanya hampir tidak menempatkan ruang sejarah sebagai cara memahami dialektika prosesual secara kritis.

 

Keterjebakan kaum skripturalis ini semakin membawa arus besar dengan menempatkan etika, norma, adat, dan bahkan religiositas sebagai metode interpretasi dan pengabsahan. Sementara kaum pragmatis lebih terlena dengan nuansa politis dan ketidakadilan.

 

Cara berpikir biner seperti itu justru mereduksi keberadaan perempuan yang sebenarnya harus dipahami bahwa perempuan tidak sekadar bukan laki-laki yang ahistoris. Kompleksitas perempuan menjadi semakin mengerdil dalam sudut pandang yang biner dan politis. Perempuan yang historis, menyejarah, menjadi terkotak-kotak dalam bingkai kutub-kutub biner yang tak pernah bertemu.

 

Kartini lahir pada saat rezim feodal Jawa mencapai titik puncaknya. Kebangkrutan sistem Tanam Paksa, 1830-1870, akibat malaadministrasi dan korupsi jadi titik balik kedudukan kaum feodal Jawa. Posisi kolonial kian lemah, diganti kelompok liberal-kapitalis yang memainkan peran negara kolonial. Perubahan struktural di segala bidang mulai tampak, termasuk lahirnya kelompok-kelompok kritis kota. Kartini tidak lepas dari arus kuat perubahan itu.

 

Di sisi lain, kelompok feodal mulai membangun ”kerajaan” kecil di setiap wilayah kekuasaannya dengan tak pernah lepas dari jaringan feodalistik dan nepotistik dengan kolonial. Kartini belajar bagaimana feodalisme dibangun dan kosmopolitanisme melalui jaringan internasional tumbuh. Kekayaan dan kemewahan bangsawan melesat meninggalkan kaum awam perdesaan dan perkotaan. Kosmopolitanisme Jepara tumbuh melampaui kota lain di Pantai Utara Jawa.

 

Feodalisme dan kosmopolitanisme mengubah Kartini jadi ”agen” dialog kebudayaan antara bangsa koloni dan kolonial. Perempuan piningit, terjebak dalam kekolotan tradisi, yang selama ini menjadi ”ideologi Kartinian”, dibutuhkan ruang kritis untuk membaca ulang. Ideologi piningit selama ini dipahami telah menafikan Kartini sebagai manusia bebas, kreatif, kritis, dan pada ujungnya manusia dialektik-historis.

 

Hidup di alam kosmopolitan kolonial di Jawa akhir abad XIX dan awal abad XX, refleksi-refleksi sosial dan budayanya keluar dengan berbagai ide modernisasi dan berkemajuan. Letupan pemikirannya bernada kritis dan itu tak mungkin sebagai letupan yang muncul tiba-tiba dari manusia piningit.

 

Kartini, manusia sejarah

 

Kartini telah membentuk dirinya ke dalam jiwa zaman, zeitgeist, yang rumit antara kuatnya feodalisme dan kosmopolitanisme. Ia menafsir ulang kebebasan, partisipasi, sampai modernisasi yang diharapkan muncul ketika terjadi kolonialisasi. Sebuah bentuk ideal emansipasi, yang tak hanya dipahami sebagai perjuangan keperempuanan. Dunia feodal yang jadi penguat identitas lokal tak berdaya ketika berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial.

 

Kartini tampil bukan sebagai perempuan piningit sebagaimana ”pengadilan sejarah” yang sering menjadi narasi umum. Ia membongkar relasi-relasi kekuasaan feodal dan kolonialisme untuk sebuah modernitas.

 

Modernisasi yang menjadi cita-cita Kartini itu tidak lain adalah praktik mendialogkan kekolotan feodal dengan modernisasi kolonial. Di sinilah perlunya pembacaan ulang emansipasi sebagai simbol ideologis yang melekat pada Kartini dengan menempatkannya dalam sebuah konteks. Kontekstualisasi menjadi ruang pembebasan tafsir yang melepaskan ikatan-ikatan skripturalis dan pragmatis yang sangat ideologis.

 

Deideologisasi Kartini dengan mempertimbangkan konteks akan lebih memanusiawikan narasi Kartini sebagai konstruksi sosial-historis. Keberanian menempatkan konteks sosial-historis sebagai pendekatan akan mengakhiri perdebatan skripturalis dan sekaligus pragmatis. Proses sosial dalam batasan ruang dan waktu akan memberi makna-makna baru untuk menafsir ulang Kartini.

 

Seorang tokoh yang tidak hidup dalam kesendirian, piningit, namun berproses, mendinamisasi, terkadang tumpang tindih dalam proses sosial yang kompleks dalam memaknai kehidupan bangsanya.

 

”Post-Kartinian”

 

Kartini hanya perempuan di antara perempuan-perempuan yang menafsir pertemuan feodal dan modernisasi pada zamannya. Di luar, ada jutaan ”Kartini” yang harus melawan arus kewajaran sejarah perempuan. ”Kartini-Kartini” itu berada di luar lingkaran kultur di mana Kartini tumbuh.

 

Mereka berkembang dan bergelut hanya untuk bertahan. Buruh, petani, sampai babu-babu adalah ruang-ruang sosial yang menjadi harapan. Mereka terpaksa harus menghapus batas ruang publik dan domestik, bahkan mereka tidak lagi mampu membedakan antara siang, malam, dan remang-remang.

 

Mereka dalam dunia yang berbeda dengan Kartini, mereka bukan pahlawan yang ditulis dalam buku sejarah tebal. Anak-anak terdidik bangsa hampir tak mengenal mereka. Mereka hilang dari ingatan kolektif bangsa, tetapi memenuhi protokol jalan-jalan kota, gang-gang sempit yang kotor, pasar yang kumuh, dan rumah reyot di sepanjang pinggir kanal-kanal hanya sekadar berteduh dari hujan, panas matahari, dan mencari sesuap nasi.

 

Emansipasi atau apa pun namanya, hanya menjadi teks kaum skripturalis yang tersimpan rapi dalam jejeran seonggok kertas di sudut kantor mewah. Suara lantang atas nama undang-undang oleh kaum pragmatis tak pernah didengar oleh mereka yang asyik dengan dunia pinggiran. Suara mereka kadang muncul ketika menjelang pemilihan kepala desa sampai kepala negara.

 

Industri dan kapitalisasi telah menutup erat keberadaannya. Munculnya industri-industri asing dari kota sampai desa seolah menyediakan surga. Mereka tak sadar akan masa depannya. Keterasingan dengan dunia pendidikan sudah dibangun sejak dini. Bukan ruang-ruang belajar dan lembaga pendidikan yang menjadi cara membukakan pintu untuk kemajuan sebagaimana cita-cita Kartini, namun surga kapitalisasi yang menjadi harapan baru. Keterasingan dari dunia keperempuanan kemudian jadi fenomena umum ketika ada kesalahan tafsir atas nama emansipasi.

 

Sejarah perempuan dengan segala duka dan kebahagiaannya hanya menjadi konsumsi akademik. Muncul pusat studi wanita di kampus-kampus, mata kuliah jender ditawarkan, seminar, dan ”penelitian” digalakkan. Namun, Kartini-Kartini” itu tetap tak tersentuh, bukan karena mereka kelompok intangible, abstrak dan samar-samar, tapi kecerdasan akademik dan perangkat teoretik tak mampu menyentuhnya.

 

Suara Kartini masih terdengar bagi siapa pun yang mencari kebenaran. Negara memiliki kesempatan membuka kebenaran itu untuk ”meluruskan” dan menafsir Kartini-Kartini yang mulai terjebak dan terperangkap dengan atas nama industrialisasi dan modernisasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar