”Post-Kartinian”,
Sebuah Narasi Kartini Arif Akhyat ; Dosen
Sejarah, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM |
KOMPAS, 21 April 2021
Para pemerhati perempuan sering kali
terjebak pada dua kutub, antara skripturalis dan pragmatis. Kaum skripturalis
bersikukuh keperempuanan adalah konstruksi teks. Sementara, kaum pragmatis,
menganggap keperempuanan simbol perjuangan keadilan. Tulisan ini mencoba memahami tokoh Kartini
melalui konstruksi kontemporer dengan apa yang disebut post-Kartinian.
Post-Kartinian, dalam hal ini menawarkan cara pandang terhadap Kartini dalam
batas-batas sejarah yang wajar dan manusiawi. Membaca
ulang Kartini Kaum skripturalis menarasikan Kartini
sebagai sosok perempuan sempurna Jawa akhir abad XIX. Seorang perempuan yang
berkemampuan menjelaskan pandangan dunia ideal, dunia yang penuh toleransi,
partisipasi dan emansipasi. Sebaliknya, kaum pragmatis memandang
Kartini bukan hanya sosok perempuan ideal, melainkan simbol perlawanan.
Narasinya selalu dihadapkan pada persoalan ketidakadilan, intoleransi, bias
jender, dan ketidaksetaraan. Secara ekstrem, keduanya hampir tidak
menempatkan ruang sejarah sebagai cara memahami dialektika prosesual secara
kritis. Keterjebakan kaum skripturalis ini semakin
membawa arus besar dengan menempatkan etika, norma, adat, dan bahkan
religiositas sebagai metode interpretasi dan pengabsahan. Sementara kaum
pragmatis lebih terlena dengan nuansa politis dan ketidakadilan. Cara berpikir biner seperti itu justru
mereduksi keberadaan perempuan yang sebenarnya harus dipahami bahwa perempuan
tidak sekadar bukan laki-laki yang ahistoris. Kompleksitas perempuan menjadi
semakin mengerdil dalam sudut pandang yang biner dan politis. Perempuan yang
historis, menyejarah, menjadi terkotak-kotak dalam bingkai kutub-kutub biner
yang tak pernah bertemu. Kartini lahir pada saat rezim feodal Jawa
mencapai titik puncaknya. Kebangkrutan sistem Tanam Paksa, 1830-1870, akibat
malaadministrasi dan korupsi jadi titik balik kedudukan kaum feodal Jawa.
Posisi kolonial kian lemah, diganti kelompok liberal-kapitalis yang memainkan
peran negara kolonial. Perubahan struktural di segala bidang mulai tampak,
termasuk lahirnya kelompok-kelompok kritis kota. Kartini tidak lepas dari
arus kuat perubahan itu. Di sisi lain, kelompok feodal mulai
membangun ”kerajaan” kecil di setiap wilayah kekuasaannya dengan tak pernah
lepas dari jaringan feodalistik dan nepotistik dengan kolonial. Kartini
belajar bagaimana feodalisme dibangun dan kosmopolitanisme melalui jaringan
internasional tumbuh. Kekayaan dan kemewahan bangsawan melesat meninggalkan
kaum awam perdesaan dan perkotaan. Kosmopolitanisme Jepara tumbuh melampaui
kota lain di Pantai Utara Jawa. Feodalisme dan kosmopolitanisme mengubah
Kartini jadi ”agen” dialog kebudayaan antara bangsa koloni dan kolonial.
Perempuan piningit, terjebak dalam kekolotan tradisi, yang selama ini menjadi
”ideologi Kartinian”, dibutuhkan ruang kritis untuk membaca ulang. Ideologi
piningit selama ini dipahami telah menafikan Kartini sebagai manusia bebas,
kreatif, kritis, dan pada ujungnya manusia dialektik-historis. Hidup di alam kosmopolitan kolonial di Jawa
akhir abad XIX dan awal abad XX, refleksi-refleksi sosial dan budayanya
keluar dengan berbagai ide modernisasi dan berkemajuan. Letupan pemikirannya
bernada kritis dan itu tak mungkin sebagai letupan yang muncul tiba-tiba dari
manusia piningit. Kartini,
manusia sejarah Kartini telah membentuk dirinya ke dalam
jiwa zaman, zeitgeist, yang rumit antara kuatnya feodalisme dan
kosmopolitanisme. Ia menafsir ulang kebebasan, partisipasi, sampai
modernisasi yang diharapkan muncul ketika terjadi kolonialisasi. Sebuah
bentuk ideal emansipasi, yang tak hanya dipahami sebagai perjuangan
keperempuanan. Dunia feodal yang jadi penguat identitas lokal tak berdaya
ketika berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial. Kartini tampil bukan sebagai perempuan
piningit sebagaimana ”pengadilan sejarah” yang sering menjadi narasi umum. Ia
membongkar relasi-relasi kekuasaan feodal dan kolonialisme untuk sebuah
modernitas. Modernisasi yang menjadi cita-cita Kartini
itu tidak lain adalah praktik mendialogkan kekolotan feodal dengan
modernisasi kolonial. Di sinilah perlunya pembacaan ulang emansipasi sebagai
simbol ideologis yang melekat pada Kartini dengan menempatkannya dalam sebuah
konteks. Kontekstualisasi menjadi ruang pembebasan tafsir yang melepaskan
ikatan-ikatan skripturalis dan pragmatis yang sangat ideologis. Deideologisasi Kartini dengan mempertimbangkan
konteks akan lebih memanusiawikan narasi Kartini sebagai konstruksi
sosial-historis. Keberanian menempatkan konteks sosial-historis sebagai
pendekatan akan mengakhiri perdebatan skripturalis dan sekaligus pragmatis.
Proses sosial dalam batasan ruang dan waktu akan memberi makna-makna baru
untuk menafsir ulang Kartini. Seorang tokoh yang tidak hidup dalam
kesendirian, piningit, namun berproses, mendinamisasi, terkadang tumpang
tindih dalam proses sosial yang kompleks dalam memaknai kehidupan bangsanya. ”Post-Kartinian” Kartini hanya perempuan di antara
perempuan-perempuan yang menafsir pertemuan feodal dan modernisasi pada
zamannya. Di luar, ada jutaan ”Kartini” yang harus melawan arus kewajaran
sejarah perempuan. ”Kartini-Kartini” itu berada di luar lingkaran kultur di
mana Kartini tumbuh. Mereka berkembang dan bergelut hanya untuk
bertahan. Buruh, petani, sampai babu-babu adalah ruang-ruang sosial yang
menjadi harapan. Mereka terpaksa harus menghapus batas ruang publik dan
domestik, bahkan mereka tidak lagi mampu membedakan antara siang, malam, dan
remang-remang. Mereka dalam dunia yang berbeda dengan
Kartini, mereka bukan pahlawan yang ditulis dalam buku sejarah tebal.
Anak-anak terdidik bangsa hampir tak mengenal mereka. Mereka hilang dari
ingatan kolektif bangsa, tetapi memenuhi protokol jalan-jalan kota, gang-gang
sempit yang kotor, pasar yang kumuh, dan rumah reyot di sepanjang pinggir
kanal-kanal hanya sekadar berteduh dari hujan, panas matahari, dan mencari
sesuap nasi. Emansipasi atau apa pun namanya, hanya
menjadi teks kaum skripturalis yang tersimpan rapi dalam jejeran seonggok
kertas di sudut kantor mewah. Suara lantang atas nama undang-undang oleh kaum
pragmatis tak pernah didengar oleh mereka yang asyik dengan dunia pinggiran.
Suara mereka kadang muncul ketika menjelang pemilihan kepala desa sampai
kepala negara. Industri dan kapitalisasi telah menutup
erat keberadaannya. Munculnya industri-industri asing dari kota sampai desa
seolah menyediakan surga. Mereka tak sadar akan masa depannya. Keterasingan
dengan dunia pendidikan sudah dibangun sejak dini. Bukan ruang-ruang belajar
dan lembaga pendidikan yang menjadi cara membukakan pintu untuk kemajuan
sebagaimana cita-cita Kartini, namun surga kapitalisasi yang menjadi harapan
baru. Keterasingan dari dunia keperempuanan kemudian jadi fenomena umum
ketika ada kesalahan tafsir atas nama emansipasi. Sejarah perempuan dengan segala duka dan
kebahagiaannya hanya menjadi konsumsi akademik. Muncul pusat studi wanita di
kampus-kampus, mata kuliah jender ditawarkan, seminar, dan ”penelitian”
digalakkan. Namun, Kartini-Kartini” itu tetap tak tersentuh, bukan karena
mereka kelompok intangible, abstrak dan samar-samar, tapi kecerdasan akademik
dan perangkat teoretik tak mampu menyentuhnya. Suara Kartini masih terdengar bagi siapa
pun yang mencari kebenaran. Negara memiliki kesempatan membuka kebenaran itu
untuk ”meluruskan” dan menafsir Kartini-Kartini yang mulai terjebak dan
terperangkap dengan atas nama industrialisasi dan modernisasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar