Sabtu, 24 April 2021

 

Beras dan Politik Elementer Bangsa

Fachry Ali  ; Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

KOMPAS, 23 April 2021

 

 

                                                           

Polemik impor beras sejuta ton belum lama ini mengingatkan pada dua tulisan saya di "Kompas" abad lalu. Tulisan pertama, terbit pada 30 November 1978, berjudul “Menjadikan Desa Sebagai Guru Orang Kota”. Tulisan ini mendapat penghargaan utama Persatuan Sarjana Ekonomi Pertanian (Perhepi) di bawah kepemimpinan Prof Mubyarto (1938-2005).

 

Kedua, persis dua tahun kemudian, yaitu 12 November 1980, Kompas menerbitkan tulisan saya: “Urbanisasi: Wadah Mobilitas Vertikal Massa Miskin Kota?” Kedua tulisan yang telah berumur lebih dari 40 tahun itu membicarakan premis yang hampir sama.

 

Judul tulisan pertama, “Menjadikan Desa Sebagai Guru Orang Kota”, sebenarnya sebuah “sindiran”. Teknokratisme sedang dominan kala itu. Mereka yang, kata Michel Foucault (1926-94), dalam ceramahnya pada 1967, “mempunyai kartu permainan.” Dan, seperti dikutip Sharon D Welch di “The Lush Life: Foucault’s Analytics of Power and a Jazz Aesthetic” (2001), “would allow a definition of what ‘happiness’ of man.”

 

Dalam tulisan 1978 itu, tentu saya belum membaca buku Patrick Allan Sharma, Robert McNamara’s Other War: The World Bank and International Development (2017), yang menyebut adanya kedekatan McNamara (1916-2009), ketika menjadi menteri pertahanan AS di masa Presiden Lyndon B Johnson (1908-73), dengan Indonesia.

 

Pada 1978 itu saya sudah menyitir pidatonya sebagai presiden Bank Dunia di Nairobi, yang mendeklarasikan arah baru program kredit Bank Dunia yang lebih terfokus pada pembangunan desa dan pertanian.

 

Pidato ini mengubah arah pembangunan negara berkembang, termasuk Indonesia. Anjuran saya “Menjadikan Desa Sebagai Guru Orang Kota” bersentuhan dengan arah baru kebijakan Bank Dunia di bawah McNamara.

 

Tulisan kedua, “Urbanisasi sebagai Wadah Mobilitas Vertikal Massa Miskin Kota” menceritakan bagaimana modernisasi pedesaan telah mengubah struktur hubungan sosial di kawasan itu.

 

Karena elite desa lebih diuntungkan melalui modernisasi dan mekanisasi pertanian, hubungan patron-client yang berlaku sebelumnya “terkoreksi”. Karena mental elite desa, yaitu petani pemilik tanah “luas”, melalui mekanisasi pertanian itu, mulai mengarah pada mekanisme pasar, kaum buruh-tani tanpa tanah kehilangan “perlindungan sosial”.

 

Urbanisasi, dengan demikian, satu-satunya jalan keluar pihak terakhir. Kota-kota besar, yang menampung proses urbanisasi itu, memberi tempat artikulasi ekonomi bagi mereka: sektor informal. Dalam daya kinerja mereka sektor terakhir inilah saya di 1980 itu, secara spekulatif menyatakan adanya potensi mobilitas vertikal massa miskin kota.

 

Ternyata, puluhan tahun kemudian, seperti saya lukiskan dalam “Aktor Ekonomi Akar Rumput” (Kompas, 17/4/2015), “mobilitas vertikal” massa miskin kota itu hanya terjadi secara ekstra perlahan. Contoh ekstremnya adalah perempuan setengah baya penjual es buah yang dipanggil Bude di Pasar Cibubur. Berasal dari Klaten, Jawa Tengah, Bude menantang Jakarta awal 2000-an. Ia hanya mampu menyewa kamar seharga Rp 25.000 per bulan.

 

Setelah 12 tahun, melalui serangkaian peralihan komoditas yang dijual, sampai 2015 Bude berhasil menyewa kamar seharga Rp 350.000 per bulan. Baginya, kemampuan menyewa kamar seharga itu “prestasi” luar biasa.

 

Tetapi, sejatinya, ini ritme mobilitas vertikal massa miskin kota yang bukan saja supra lamban, melainkan “merosot”, karena tiga tahun kemudian, Maret 2018, Bude tak lagi mampu menyewa kios di Pasar Cibubur. Tragisnya, pada 2019, Bude meninggal dunia di Klaten.

 

Pasca-“urbanisasi tanpa industrialisasi”

 

Dua fenomena sosial-ekonomi di atas terpersatukan oleh apa yang saya sebut periode pasca-“urbanisasi tanpa industrialisasi”. Ini terinspirasi dari frasa Clifford Geertz (1926-2006), urbanization without industrialization (urbanisasi tanpa industrialisasi). Dalam bukunya, Agricultural Involution (1962), Geertz melihat masalah besar yang menekan wilayah desa Jawa dan kota sekaligus.

 

Tanpa ada kemungkinan land supply (tawaran tambahan tanah), pertumbuhan pesat penduduk di pedesaan Jawa yang telah berlangsung beberapa abad lalu telah menyebabkan agricultural involution (involusi pertanian). Yakni sebuah perkembangan dunia sawah yang “melipat ke dalam”, menyerap pertumbuhan penduduk, sebesar apapun, ke dalamnya. Situasi struktural inilah yang melahirkan frasa Geertz terkenal: shared poverty (kemiskinan yang terbagi) di kalangan masyarakat desa Jawa.

 

Ini ironi karena pada saat yang sama wilayah kota tak mampu menampung kelebihan penduduk pedesaan itu secara produktif. Masih kuat dipengaruhi colonial mode of production (modal produksi kolonial) yang bertelekan pada sektor ekspor hasil pertanian dan ekstraktif sejak 1830, industrialisasi tak berkembang di wilayah kota. Sampai Agricultural Involution diterbitkan awal 1960-an, yang terjadi di Indonesia adalah “urbanisasi tanpa industrialisasi”.

 

Akan tetapi, akhir 1970-an dan awal 1980-an, seperti direkam dengan rapi oleh buku suntingan Anne Booth dan Peter McCawley, The Indonesian Economy During the Soeharto Era (1981), pembangunan ekonomi Orde Baru (1967-1998) telah bergerak ke dalam dua arah. Sementara dunia pertanian perdesaan mengalami modernisasi dan mekanisasi, pada saat yang sama industrialisasi atau lebih tepat manufakturisasi berlangsung di perkotaan.

 

Efeknya, kehidupan sosial-ekonomi kawasan perkotaan memasuki periode “pasca-urbanisasi tanpa industrialisasi”. Semua ini bukan saja menyebabkan relatif terkikisnya pengaruh colonial mode of production dalam perekonomian Indonesia, melainkan mendorong perubahan struktur ekonomi. Ini ditandai oleh kian bertambahnya sumbangan sektor-sektor non-pertanian (manufaktur, perdagangan dan jasa) ke dalam produk nasional bruto, dan mengecilnya sumbangan sektor pertanian.

 

Semua ini mendorong urbanisasi masif, terutama di Jawa. Di samping urbanisasi “tradisional”, yaitu mereka yang “terlempar” dari pedesaan karena terdesak modernisasi dan mekanisasi pertanian, proses urbanisasi ini digenapkan oleh akselerasi pendidikan di kawasan yang sama.

 

Anak-anak desa yang kian terdidik bukan saja memerlukan tingkat pendidikan lanjutan, hingga ke tingkat perguruan tinggi. Melainkan, seperti pernah disinggung penyair WS Rendra (1935-2009) dalam “Sajak Seonggok Jagung”, telah membuat mereka tak “relevan” dalam kehidupan ekonomi desa, kecuali tertampung dalam sektor manufaktur dan lainnya di perkotaan.

 

Efek samping ekonomi yang diakibatkannya adalah kota-kota besar menjadi pusat peredaran uang. Maka, penduduk kota kian lama kian besar. Mereka adalah gabungan dari urbanisasi “tradisional”, kaum Bude penjual es buah di atas, dan kaum muda yang kian terdidik, yang keterampilan mereka lebih cocok digunakan di dalam okupasi-okupasi non-pertanian di wilayah perkotaan.

 

Beras dan politik inflasi

 

Sampai di sini, ketersediaan beras jadi persoalan eksistensial. Proses urbanisasi masif bukan saja telah menyebabkan terjadinya penyebaran demografis yang lebih besar ke wilayah perkotaan, melainkan juga adanya historical bottleneck pola dan distribusi kepemilikan tanah di kawasan pedesaan Jawa.

 

Ini berkaitan, seperti dinyatakan Ong Hok Ham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priyayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX (2018), dengan sistem pajak kolonial Belanda yang, pada abad ke-19, lebih mendorong kepemilikan tanah secara komunal daripada peorangan.

 

Sebagai akibatnya, tanah-tanah milik pribadi hanya merupakan bagian-bagian kecil. Ditambah pesatnya pertumbuhan penduduk, melalui sistem warisan, kepemilikan rakyat desa akan lahan bercocok tanam kian jadi pecahan-pecahan kecil.

 

Maka, seperti yang saya lihat bersama antropolog Aris Arif Mundayat di desa Kemusuk, Yogyakarta, pada 1999, walau subur dan memiliki sistem irigasi bagus, petani desa tempat Soeharto lahir itu, hanya mampu memproduksi padi untuk dikonsumsi selama tiga bulan.

 

Itu artinya bukan saja penduduk kota yang, melalui proses urbanisasi, kian besar jumlahnya itu membutuhkan pembelian beras untuk dikonsumsi, melainkan sebagian besar petani di kawasan pedesaan Jawa, oleh kepemilikan lahan sawah berukuran gurem, terpaksa melakukan hal yang sama.

 

Hasilnya, semata-mata karena tingginya pertumbuhan penduduk yang “menyeluruh” antar kawasan geografis, pertambahan jumlah, menggunakan frasa Geertz, “mulut” untuk mengonsumsi beras jauh lebih besar daripada kemampuan produksinya pada tingkat domestik.

 

Di sinilah kita melihat logika “politik inflasi”. Sebagaimana acap kita dengar dalam konferensi pers BPS, beras dianggap komoditas “berat” dalam perekonomian Indonesia. Dalam arti, karena sebagian besar struktur pendapatan mayoritas penduduk Indonesia dibelanjakan untuk porsi pangan, maka kelangkaan beras sangat sensitif terhadap inflasi.

 

Dengan demikian, beras untuk perekonomian Indonesia termasuk ke dalam apa yang disebut ekonom Irving S Friedman dalam Inflation: A World-Wide Disaster (1973), “kelebihan permintaan yang menetap” (chronic excess demand).

 

Permintaan yang senantiasa tinggi terhadap sebuah komoditas niscaya mendorong naik harganya. Dan setiap kelangkaan beras dalam struktur chronic excess demand ini bukan saja menaikkan harga komoditas itu saja, melainkan, karena “berbobot berat”, menarik naiknya harga komoditas-komoditas lainnya di perkotaan maupun pedesaan.

 

Maka, ketersediaan beras bagi 200 juta lebih “mulut” secara struktural bergeser dari masalah ekonomi ke masalah politik-ekonomi, di atas mana legitimasi sebuah kekuasaan dipertaruhkan. Di samping digunakan “membujuk” penduduk kota di masa Orde Baru, seperti diungkap William Liddle dalam “The Politics of Shared Growth: Some Indonesian Cases” (1996), ketersediaan beras secara proporsional berfungsi sebagai pengendali inflasi.

 

Sebagaimana saya, Imam Ahmad dkk uraikan dalam Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: Bustanil Arifin 70 Tahun (1996), inflasi yang berkaitan dengan beras telah jadi momok menakutkan bagi penguasa Orde Baru.

 

Betapapun kejatuhan kekuasaan Soekarno (1901-1970) pada pertengahan 1960-an telah berlalu beberapa dekade, trauma merosotnya legitimasi politik penguasa yang digantikannya itu akibat hiperinflasi, membekas kuat di ingatan kolektif mereka. Sebab, mereka sadar, pangkal hiperinflasi ini berasal dari kelangkaan beras.

 

Trauma inilah yang mendorong penguasa Orde Baru mengefektifkan fungsi Bulog; trauma ini pula yang mendorong Soeharto (1921-2008) bertekad menciptakan program swasembada beras, yang terwujud di 1984.

 

Pesan kuat pembangunan pangan

 

Akan tetapi, kita tahu bahwa periode swasembada beras tidak bertahan lama. Kendati stabil pada 1985-1986, di bawah serangan musim paceklik pada 1987, keran impor beras kembali dibuka. Dari sinilah timbul “kesan” bahwa baik karena kebutuhan riil maupun kepentingan menjaga legitimasi politik sebuah pemerintahan, kebijakan impor beras menjadi bersifat sine qua non.

 

Di samping suara-suara yang bertebaran di DPR dan publik, “kesan” inilah yang jadi dasar “polemik” impor beras dewasa ini. Untuk memberikan kejelasan masalah, Kompas (30/3/2021) perlu menurunkan dua tulisan atas tema polemik ini: “Candu Impor Pangan”, oleh ekonom Enny Sri Hartati dan “Impor Beras dan Cadangan Pemerintah” oleh mantan Kabulog Sapuan Gafar.

 

Jika Sri Hartati berpijak pada data kuantitatif untuk menolak impor, Sapuan lebih memberikan penjelasan administratif tentang kapan seharusnya impor dilakukan.

 

Yang kita lupakan, seluruh sejarah politik-ekonomi Indonesia telah memberikan pesan kuat bahwa politik pembangunan ekonomi Indonesia sejak dulu, sekarang dan di masa datang haruslah berpijak pada swasembada pangan, terutama beras.

 

Apa yang kita sebut rice-based economic development (pembangunan ekonomi berdasarkan beras) akan semakin absah jika mengingat ketakterelakan pertumbuhan penduduk dan dinamika peta demografi.

 

Yang terakhir ini bukan saja memperlihatkan fakta kian seimbangnya distribusi penduduk kota dan desa, melainkan, karena penciutan lahan pertanian akibat tekanan pertumbuhan penduduk, jumlah “mulut” yang butuh beras di perdesaan sudah pasti bertambah.

 

Hemat saya, pada usaha mewujudkan rice-based economic development inilah energi politik DPR, “teknokratisme” aparat negara dan intelektualisme para sarjana pertanian berbagai perguruan tinggi, harus dikonsentrasikan.

 

Dengan ini, bukan saja ‘ritual” tahunan “polemik” impor beras menjadi tampak ridicule (menggelikan). Melainkan, melalui keberhasilan rice-based economic development itu, stabilitas politik-ekonomi yang paling elementer dapat diciptakan. Sebab, walau mengaku bangsa besar, bukanlah hal paling elementer ini tak bisa kita pecahkan sepanjang Indonesia merdeka? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar