Selasa, 27 April 2021

 

Ramadhan Memperkaya Keragaman

Herman Fithra ;  Rektor Universitas Malikussaleh, Ketua Forum Rektor Aceh (PTN)

KOMPAS, 27 April 2021

 

 

                                                           

Akbar S Ahmed, seorang pemikir Islam keturunan Pakistan-AS, menyampaikan di dalam buku Toward Islamic Anthropology (1986) bahwa taksonomi komunitas di dunia Islam terbagi ke dua model: yang hidup dalam basis sekuensi sejarah dan yang terikat pada model struktur sosial dan organisasi yang kaku memahami struktur sosial di luarnya.

 

Secara umum, menurut Ahmed, perbedaan di komunitas di dalam Islam kerap meruncing dan membangun permusuhan. Perbedaan kelompok atau mazhab di Islam ikut membentuk komunitas Muslim yang tersekat-sekat, atau dalam bahasa Ahmed: ”tribal segmentary Islam”.

 

Masyarakat tribalistik—lebih tertutup dibandingkan masyarakat etnosentrik— akhirnya menjadi lebih loyal ke identitas tribalistik dibandingkan nilai-nilai keislaman yang bersifat rahmatan lil-alamin; yang terbuka dan tidak mengatup.

 

Tentu itu tak lepas dari warna konflik dan kekerasan yang kompleks dalam sejarah Islam sejak masa Khalifah Ar-Rasyidah hingga era modern.

 

Namun, pemikiran Ahmed ini harus dilihat secara kritis. Menurut penulis, aneka peradaban Islam yang berbeda-beda itu saat ini lebih sering bertemu dibandingkan bertengkar. Peradaban Islam Melayu bisa bertemu dengan model peradaban Islam sub-Sahara, Eropa Timur, atau Timur Jauh.

 

Demikian juga peradaban Islam Persia memberikan corak tersendiri dalam relasinya dengan dunia global.

 

Kalau kita pernah melaksanakan umrah atau haji atau shalat Jumat di Jakarta, terlihat tungku keberagaman dalam konteks ibadah saja harusnya melahirkan kekaguman dibandingkan agresi. Itu jika menjadi orang yang bernalar dan terdidik.

 

Belum lagi pembentukan peradaban lainnya, seperti fashion, kuliner, sistem kognisi, dan ekspresi budaya, membuat kita maklum bahwa peradaban yang berbeda-beda itu bisa menguatkan, tidak malah merapuhkan.

 

Problemnya mengapa saat ini dunia Islam terlihat seolah-olah tak toleran? Kasus terorisme menjelang Ramadhan di Makassar dan Jakarta membuka mata kita, masih ada saudara-saudara semuslim yang melakukan tindakan yang meruntuhkan semangat al Islamu ya’lu wala yu’la alaihi (Islam sebagai nilai kosmologis yang tertinggi dan teragung dibandingkan sistem peradaban teologis lainnya).

 

Bagaimana nilai-nilai keluhuran mau ditunjukkan dengan contoh pengeboman gereja Katedral Makassar dan penembakan di Mabes Polri? Aksi itu memang tak merenggut banyak korban dibandingkan kasus bom Bali I dan II yang melesapkan ratusan orang tak bersalah jadi tewas seketika. Namun, aksi itu ikut mencoreng wajah Islam Indonesia.

 

Dua kasus yang terjadi menjelang Ramadhan dan menewaskan para pengantin terorisnya itu menunjukkan ada yang salah dengan sistem berpikir mereka. Doa yang sering kita dengar adalah, ”Ya Allah, sampaikan kembali kami kepada Ramadhan”, anehnya ada segelintir orang malah melakukan bunuh diri menjelang Ramadhan.

 

Ia telah menista dimensi eskatologis dan transendental bulan puasa ini dengan memilih mati dan menyakiti manusia lain daripada memilih hidup dan beribadah lebih khusyuk untuk mendapatkan kebeningan hati dan ketenangan jiwa.

 

Bulan introspeksi

 

Ramadhan adalah bulan introspeksi membuka cakrawala lebih sensitif pada seluruh nilai ilahiah.

 

Memang, di Aceh, aspek perbedaan dalam melakukan ibadah tak terlalu terlihat. Hanya ada dua poros terkait ibadah Ramadhan, yaitu kelompok yang setuju delapan rakaat yang familier dengan empat rakaat sekali salam, dan yang memilih 20 rakaat dengan melakukan salam setiap dua rakaat.

 

Memang ada penjelasan fikiyah atas dua pilihan itu. Namun sayang, dimensi itu tak cukup dipahami oleh sebagian awam dan malah memilih mempertentangkan secara tajam ala Hooligans. Padahal, sejatinya, di bulan penuh rahmah ini kesempatan untuk belajar terbuka lebar. Bulan ini bisa menjadi momen yang baik sekali untuk mengerangkai perbedaan di dunia Islam, termasuk karakteristik dalam ritual dan aksi religiositas.

 

Keberagaman yang disebut di dalam QS Al-Hujurat ayat (13) sebagai keniscayaan antropologis karena manusia memang sudah berbeda, sejak jenis kelamin, suku-suku atau syu’uban, hingga kelompok-kelompok di dalam sebuah negara atau kaba-il, harus bisa dipahami dan dihayati. Perbedaan etnis, kelompok sosiobiologis, ras, termasuk kelompok natives, seperti Suku Anak Dalam atau Suku Anak Laut, adalah bagian dari Allah menguji keimanan kita.

 

Makanya, keagamaan kita harus sampai pada memahami keberagaman masyarakat sehingga muncul rasa rendah hati dan mau mengerti terhadap mereka yang berbeda (the others). Kelompok yang tak bisa memahami orang di luar keyakinannya bukan Muslim paripurna menurut QS Al-Hujurat itu.

 

Adapun mereka yang bisa memahami orang-orang lain (the other peoples) dengan baik adalah mereka yang bisa memaksimalkan ketakwaannya untuk merenangi kolam pembelajaran (a pool of learning), menggunakan istilah Clyde Kluckhohn, sehingga mengerti manusia memang berbeda.

 

Tak perlu ada sistem atau dogma mempersamakan, apalagi dipaksa sama. Derajat untuk belajar keberagaman itu sama dengan tujuan akhir berpuasa: menambah ketakwaan. Semoga kita terpilih merebut kemenangan puasa dan bukan termasuk orang yang menyia-nyiakan akal sehingga merasa paling menang dan benar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar