Senin, 19 April 2021

 

Kegaduhan Nusantara

Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 17 April 2021

 

 

                                                           

Ribuan pulau tergabung menjadi satu

 

Sebagai ratna mutu manikam

 

Nusantara oh nusantara

 

Berlimpah-limpah kekayaan nusantara

 

Tiada dua di mana jua,

 

Nusantara oh nusantara....

 

Berbarengan dengan kegaduhan vaksin Nusantara, saya tiba-tiba teringat lirik lagu ”Nusantara III” yang dibawakan Koes Plus pada 1973. Rabu, 14 April 2021, sejumlah anggota Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, yang berkantor di Gedung Nusantara III, datang ke RSPAD Gatot Soebroto. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga ikut datang. Sejumlah media online mengabarkan anggota DPR disuntik vaksin Nusantara. Padahal, mereka baru diambil sampel darahnya sebagai sukarelawan uji klinis II. Darah itu kemudian diolah dan akan disuntikkan kembali dan disebut ”vaksin” Nusantara.

 

Isu vaksin Nusantara menjadi begitu sensitif. Entah karena namanya yang patriotik, yakni vaksin ”Nusantara”, atau karena dibesut mantan Menteri Kesehatan Letjen (Purn) Terawan Agus Putranto yang diberhentikan Presiden Joko Widodo dan digantikan Budi Gunadi Sadikin, atau karena sentimen lain. Uji klinis II belum mendapat persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena dianggap belum memenuhi kaidah penelitian. Sebaliknya salah seorang peneliti vaksin Nusantara, Kolonel Johny, dalam wawancara dengan KompasTV, menyebut, ”memastikan uji klinis sudah memenuhi standar, kaidah penelitian, dan etik secara internasional”. Penelitian ini juga pertaruhan bagi yang melakukan.

 

Merujuk data dari BPOM, komponen utama yang digunakan dalam pembuatan vaksin Nusantara berasal dari Amerika Serikat. Komponen yang dimaksud berupa antigen, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), medium pembuatan sel, dan alat-alat persiapan. ”Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini diimpor dari AS,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito melalui keterangan tertulis seperti dikutip CNNIndonesia.com. Vaksin lain yang disuntikkan di Indonesia, Sinovac dan AstraZeneca, juga berasal dari luar negeri.

 

Isu soal vaksin Nusantara jadi begitu politis. Faktanya, bangsa ini belum bisa memproduksi vaksin. Ketergantungan pada alat kesehatan masih sangat besar. Tradisi riset termasuk riset kesehatan, apakah itu vaksin atau obat-obatan, belum menjadi budaya. Bagi sementara orang, mungkin berpandangan, jika masih bisa membeli dan mendapatkan keuntungan, mengapa harus memproduksi sendiri. Memproduksi vaksin membutuhkan riset. Sementara Kementerian Riset dan Teknologi di Indonesia malah dibubarkan oleh pemerintah.

 

Ketergantungan pada impor boleh jadi menjadi isu membangkitkan sentimen nasionalisme. Lebih-lebih jika melihat anggaran yang begitu besar untuk impor vaksin. Gatot Nurmantyo saat ditanya pers di RSPAD berkomentar, ”Saya ini lahir di sini, makan di sini, minum di sini, diberi ilmu di sini, dan dididik sebagai prajurit di bumi pertiwi. Kemudian ada hasil karya putra Indonesia yang terbaik, kemudian uji klinik, kenapa tidak saya? Apa pun saya lakukan untuk bangsa dan negara ini.”

 

Vaksin Nusantara sudah bukan lagi isu medis, melainkan juga politis dan sangat mungkin juga bisnis karena anggaran besar. Membaca laporan rapat Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM ada tertulis kesimpulan, ”Badan POM RI untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis fase 2 bagi kandidat vaksin Nusantara agar penelitian ini dapat dituntaskan selambat-lambatnya 17 Maret 2021. Jika sampai batas waktu yang ditentukan tak selesai, maka Komisi IX DPR akan membentuk tim mediasi menyamakan persepsi dan pemahaman antara Tim Peneliti vaksin Nusantara dan Badan POM”. Terasa ada tekanan politik di sana.

 

Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena menegaskan memberikan dukungan politik kepada vaksin Nusantara. Namun, Melki merasa BPOM menghambat proses uji klinis vaksin Nusantara. ”Ada apa di balik ini semua,” ujar Melki, ketika saya hubungi. Kegaduhan soal vaksin Nusantara tak bisa dilepaskan dari peran media.

 

Sejumlah media menulis judul ”Anggota DPR Disuntik Vaksin Nusantara”. Seakan, anggota DPR sudah divaksin Nusantara. Padahal, mereka baru diambil sampel darahnya. ”Belum disuntik, baru diambil darahnya,” kata Gatot. Kecurigaan besarnya rente ekonomi ikut mengakibatkan kegaduhan. Ada kecurigaan vaksinasi melibatkan importir alat kesehatan yang punya afiliasi kekuatan politik Tanah Air. Anggaran vaksinasi mencapai Rp 73 triliun.

 

Seorang pejabat ketika saya tanya apa di balik kegaduhan vaksin Nusantara hanya menjawab singkat, ”You know as usual-lah.” Vaksin sebaiknya memang diserahkan ke ahlinya. Kegaduhan vaksin Nusantara memberikan kesan semua orang jadi ahli vaksin. Dan berhak bicara vaksin berdasarkan keyakinan atau kecurigaan. Inilah era yang disebut The Death of Expertise karya Tom Nichols. Isu vaksin adalah isu medis. Isu uji klinis adalah isu metode penelitian. Namun, kondisi Indonesia terasa berbeda. Campur aduk. Kegaduhan hanya membingungkan rakyat atau malah tertawaan rakyat.

 

Masalah komunikasi yang tidak tulus, penuh curiga, membuat isu vaksin Nusantara tak seperti lagu Koes Plus yang menggambarkan keindahan Nusantara. Padahal, anggota DPR juga berkantor di Gedung Nusantara. Jika keselamatan Nusantara di atas segalanya, kegaduhan vaksin Nusantara tak perlu terjadi. Duduklah bersama untuk menyamakan persepsi. Beri kesempatan sama dengan ketaatan metodologi yang juga sama. Ancaman Covid-19 masih ada. Jangan terlalu banyak drama karena hidup rakyat kini sudah mengalami kesulitan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar