DETIKNEWS,
23
April 2021 |
Alhamdulillah,
10 hari pertama Ramadhan sudah kita lalu bersama. Insya Allah, semua yang
menjalankannya dengan khusuk mendapat rahmat-Nya. Tapi jujur saja, dalam
sepekan terakhir ini saya agak terganggu dengan dua isu: Jozeph Paul Zhang
yang mengaku sebagai nabi ke-26, dan tidak dicantumkannya nama Hadratussyekh
KH Hasyim Asy'ari dalam kamus sejarah Indonesia. Bagi
saya, persoalan mengaku-ngaku nabi kok ya dibuat polemik. Isu seperti itu kan
bukan hal baru. Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut kajian Profesor Al
Makin dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sudah ada sekitar 600 orang di
Indonesia yang mengaku mendapat wahyu. Tapi kok ya masih dianggap sangat
serius. Sampai harus dikomentari Menteri Agama, bikin sibuk polisi, pegawai
imigrasi, hingga diplomat kita di luar negeri. Padahal
bagi kaum muslim yang benar-benar yakin dengan Rukun Iman ke-4, kan mestinya
ya selow saja. Sebab umat Islam cuma diperkenalkan dengan 25 nabi dan rasul
yang wajib diimani, yakni dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW sebagai
Rasul terakhir. Artinya, kalau ada yang mengaku sebagai Nabi ke-26 dan
seterusnya otomatis palsu. Anggap saja sedang bercanda, ngelindur,
berhalusinasi, atau paling ekstrem ya mengalami gangguan jiwa. Gitu aja kok
repot, kata Gus Dur. Tapi
karena menganggap serius, akhirnya kan "si nabi" jadi ngelunjak.
Nantang debat! Beruntung Dik Menteri Agama insyaf. Sing waras ngalah. Masih
banyak isu yang perlu diperhatikan, dijawab, dicarikan solusi, atau dibuatkan
kebijakan. Ngapain ngabisin energi cuma untuk ngurusi nabi ke-26. Aparat
hukum juga nggak usah repot-repot mencari, menjemput, mengadili. Wah, penjara
kita sudah bertahun-tahun kelebihan kapasitas. Masih ingat Sensen Komara asal
Sukabumi kan? Akhir 2018 lalu, dia yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan
lalu mengubah syahadat dengan mengganti nama Nabi Muhammad sebagai Rasul
Allah dengan namanya sendiri. Pengadilan tak mengirimnya ke penjara karena
menista agama, tapi ke rumah sakit jiwa. Lantas
bagaimana dengan kasus kamus sejarah? Dari
penjelasan Dirjen Kebudayaan, Mas Menteri Nadiem, juga Pak Muhadjir Effendy,
kamus itu dibuat pada 2017. Masih draf sehingga sangat terbuka peluang untuk
dikoreksi, ditambahi, disempurnakan. Komitmen itu sudah disampaikan Mas
Menteri. Dia juga sudah sowan ke PBNU dan meminta maaf. Mestinya ya sudah,
selesai. Eh, malah ada politisi yang entah latar belakangnya mengklaim bahwa
keluarga besar NU selama ini sering menjadi korban dari penyusunan sejarah
yang manipulatif dan tidak jujur. Lho,
nanti dulu. Jangan lebay begitu, Ferguso! Kalau memang Kemendikbud atau Pak
Menteri dan Mas Menteri memang punya iktikad buruk, ya untuk apa mereka
terlibat dalam pembangunan Museum Islam Nusantara KH Hasyim Asy'ari? Museum
itu diresmikan Presiden Jokowi pada 12-12-2018. Lalu ada penyusunan buku
biografi KH Hasyim Asy'ari dalam rangka memperingati 106 tahun Kebangkitan
Nasional. Tim penulisnya dipimpin oleh sejarawan NU, KH Agus Sunyoto. Dengan
begitu sudah jelas to, pengakuan seputar ketokohan dan kepahlawanan Sang
Hadratussyekh? Di
luar itu, tentu media juga punya peran mendewasakan semua pihak. Bukan
sekadar mem-viral-kan, mengamplifikasi, atau malah terus mengompori. Semua
media punya tanggung jawab untuk mendidik dan menyajikan informasi yang
benar-benar substansial dengan narasumber yang kredibel. Mari
kita semua menghemat energi dan menyalurkannya ke hal-hal substansial. Salah
satu persoalan kita semua dalam setahun terakhir kan Covid-19. Lalu vaksinasi
yang prosesnya berjalan merayap. Juga kebijakan larangan mudik yang terus
disiasati untuk lebih dilonggarkan dengan berbagai dalih. Tujuan
utama mudik itu kan untuk silaturahmi dengan orangtua dan kerabat. Nah, di
era digital saat ini silaturahmi kan tetap bisa dilakukan tatap muka.
Virtual. Setiap saat asal punya pulsa dan jaringan di kampung memadai. Di
tengah pandemi, menjaga dan melindungi kesehatan diri dan keluarga tentu
lebih utama. Jangan sampai hal utama atau wajib ini lantas ditinggalkan demi
mengejar mudik yang sunah. Sebab teknologi telah memberi solusi untuk
silaturahmi. Kalau
ada warga, tetangga kita tak punya android dan pulsa ya mari gotong-royong.
Pak RT/RW bisa ikut mengkoordinasi, memfasilitasi pengadaan kuota bagi yang
membutuhkan. Yang punya telepon pintar, mbok ya bisa meminjamkan 5-10 menit
ke tetangganya yang tidak punya, agar tetangganya bisa berkomunikasi visual
dengan keluarganya di kampung. Perusahaan
telekomunikasi penyedia jasa provider juga bisa ikut serta mengalokasikan
dana CSR-nya untuk aktivitas baru yang layak dijadikan tradisi ini. Insya
Allah semua berkah. Amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar