Jumat, 30 April 2021

 

Antara Jozeph Paul Zhang dan Kiai Hasyim Asy'ari

Erman Suparno  ;  Warga NU yang pernah menjadi Politisi PKB dan Menteri Naker SBY

DETIKNEWS, 23 April 2021

 

                                                

Alhamdulillah, 10 hari pertama Ramadhan sudah kita lalu bersama. Insya Allah, semua yang menjalankannya dengan khusuk mendapat rahmat-Nya. Tapi jujur saja, dalam sepekan terakhir ini saya agak terganggu dengan dua isu: Jozeph Paul Zhang yang mengaku sebagai nabi ke-26, dan tidak dicantumkannya nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dalam kamus sejarah Indonesia.

 

Bagi saya, persoalan mengaku-ngaku nabi kok ya dibuat polemik. Isu seperti itu kan bukan hal baru. Sejak zaman penjajahan Belanda, menurut kajian Profesor Al Makin dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta sudah ada sekitar 600 orang di Indonesia yang mengaku mendapat wahyu. Tapi kok ya masih dianggap sangat serius. Sampai harus dikomentari Menteri Agama, bikin sibuk polisi, pegawai imigrasi, hingga diplomat kita di luar negeri.

 

Padahal bagi kaum muslim yang benar-benar yakin dengan Rukun Iman ke-4, kan mestinya ya selow saja. Sebab umat Islam cuma diperkenalkan dengan 25 nabi dan rasul yang wajib diimani, yakni dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Artinya, kalau ada yang mengaku sebagai Nabi ke-26 dan seterusnya otomatis palsu. Anggap saja sedang bercanda, ngelindur, berhalusinasi, atau paling ekstrem ya mengalami gangguan jiwa. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur.

 

Tapi karena menganggap serius, akhirnya kan "si nabi" jadi ngelunjak. Nantang debat! Beruntung Dik Menteri Agama insyaf. Sing waras ngalah. Masih banyak isu yang perlu diperhatikan, dijawab, dicarikan solusi, atau dibuatkan kebijakan. Ngapain ngabisin energi cuma untuk ngurusi nabi ke-26.

 

Aparat hukum juga nggak usah repot-repot mencari, menjemput, mengadili. Wah, penjara kita sudah bertahun-tahun kelebihan kapasitas. Masih ingat Sensen Komara asal Sukabumi kan? Akhir 2018 lalu, dia yang mengaku mendapat wahyu dari Tuhan lalu mengubah syahadat dengan mengganti nama Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah dengan namanya sendiri. Pengadilan tak mengirimnya ke penjara karena menista agama, tapi ke rumah sakit jiwa.

 

Lantas bagaimana dengan kasus kamus sejarah?

 

Dari penjelasan Dirjen Kebudayaan, Mas Menteri Nadiem, juga Pak Muhadjir Effendy, kamus itu dibuat pada 2017. Masih draf sehingga sangat terbuka peluang untuk dikoreksi, ditambahi, disempurnakan. Komitmen itu sudah disampaikan Mas Menteri. Dia juga sudah sowan ke PBNU dan meminta maaf. Mestinya ya sudah, selesai. Eh, malah ada politisi yang entah latar belakangnya mengklaim bahwa keluarga besar NU selama ini sering menjadi korban dari penyusunan sejarah yang manipulatif dan tidak jujur.

 

Lho, nanti dulu. Jangan lebay begitu, Ferguso! Kalau memang Kemendikbud atau Pak Menteri dan Mas Menteri memang punya iktikad buruk, ya untuk apa mereka terlibat dalam pembangunan Museum Islam Nusantara KH Hasyim Asy'ari?

 

Museum itu diresmikan Presiden Jokowi pada 12-12-2018. Lalu ada penyusunan buku biografi KH Hasyim Asy'ari dalam rangka memperingati 106 tahun Kebangkitan Nasional. Tim penulisnya dipimpin oleh sejarawan NU, KH Agus Sunyoto. Dengan begitu sudah jelas to, pengakuan seputar ketokohan dan kepahlawanan Sang Hadratussyekh?

 

Di luar itu, tentu media juga punya peran mendewasakan semua pihak. Bukan sekadar mem-viral-kan, mengamplifikasi, atau malah terus mengompori. Semua media punya tanggung jawab untuk mendidik dan menyajikan informasi yang benar-benar substansial dengan narasumber yang kredibel.

 

Mari kita semua menghemat energi dan menyalurkannya ke hal-hal substansial. Salah satu persoalan kita semua dalam setahun terakhir kan Covid-19. Lalu vaksinasi yang prosesnya berjalan merayap. Juga kebijakan larangan mudik yang terus disiasati untuk lebih dilonggarkan dengan berbagai dalih.

 

Tujuan utama mudik itu kan untuk silaturahmi dengan orangtua dan kerabat. Nah, di era digital saat ini silaturahmi kan tetap bisa dilakukan tatap muka. Virtual. Setiap saat asal punya pulsa dan jaringan di kampung memadai.

 

Di tengah pandemi, menjaga dan melindungi kesehatan diri dan keluarga tentu lebih utama. Jangan sampai hal utama atau wajib ini lantas ditinggalkan demi mengejar mudik yang sunah. Sebab teknologi telah memberi solusi untuk silaturahmi.

 

Kalau ada warga, tetangga kita tak punya android dan pulsa ya mari gotong-royong. Pak RT/RW bisa ikut mengkoordinasi, memfasilitasi pengadaan kuota bagi yang membutuhkan. Yang punya telepon pintar, mbok ya bisa meminjamkan 5-10 menit ke tetangganya yang tidak punya, agar tetangganya bisa berkomunikasi visual dengan keluarganya di kampung.

 

Perusahaan telekomunikasi penyedia jasa provider juga bisa ikut serta mengalokasikan dana CSR-nya untuk aktivitas baru yang layak dijadikan tradisi ini. Insya Allah semua berkah. Amin. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar