Penanganan
Konflik Sosial dan Optimalisasi Pemolisian Masyarakat Selma Theofany ; Peneliti
Isu Konflik dan Perdamaian derta Mahasiswa Development Studies Erasmus
University Rotterdam |
KOMPAS, 19 April 2021
Gagasan pembentukan Tim Terpadu Penangangan
Konflik Sosial diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian
dalam acara “Sinergitas Penanganan Konflik Sosial” di Banjarmasin (1/4/2021).
Dilansir oleh Kompas (2/4/2021), tim ini memiliki tugas mengidentifikasi
kepentingan dan kepentingan umum yang menjadi dasar sistem penanganan
konflik. Pernyataan ini disampaikan di depan
perwakilan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) berbagai daerah untuk
menyikapi potensi konflik sosial di Indonesia. Kesadaran terhadap urgensi
pemerintah bertindak proaktif dengan membuat suatu tim khusus patut
diapresiasi. Akan tetapi, gagasan ini perlu diperhatikan
dan dikawal secara mendalam agar tidak menjadi bumerang. Inisasi pemerintah
terdahulu yang tampak proaktif, tetapi berakhir sebagai alat penyalahgunaan
wewenang perlu menjadi refleksi. Salah satu cetak biru dalam konsep Tim
Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang pantas mendapatkan rekognisi adalah
pembentukan tiga subtim yang merepresentasikan dinamika konflik sosial dengan
aspirasi perdamaian. Ketiga subtim yang dimaksud adalah subtim pencegahan
konflik sosial, penghentian kekerasan, dan pemulihan. Masing-masing subtim
memiliki tugas yang berbeda. Subtim pencegahan direncanakan mendominasi
skema kerja penanganan konflik sosial. Fokus pemerintah terhadap aspek
pencegahan konflik selaras dengan temuan riset World Bank bersama PBB di
tahun 2018 bahwa negara-negara di dunia kini menekankan pada upaya pencegahan
konflik. Namun, alokasi yang disalurkan belum sebesar alokasi untuk tindakan
responsif krisis dan rekonstruksi. Kondisi ini memengaruhi keberlanjutan
program pencegahan konflik di samping perhatian tentang aspek inklusivitas
pencegahan konflik yang masih rendah. Riset ini menegaskan bahwa
keberlanjutan dan inklusivitas pencegahan konflik ditentukan oleh kemampuan
mengenali dan menangani keluhan dan kedukaan masyarakat sejak dini. Beberapa
catatan ini harus diperhatikan dan dipersiapkan secara matang dalam
pembentukan subtim pencegahan konflik sosial. Selain itu, pematangan kerangka berpikir
subtim yang bertugas melakukan inventarisasi potensi konflik ini perlu
dilakukan. Inventarisasi potensi konflik merupakan tahapan kerja yang krusial
dalam penanganan konflik sosial yang bertumpu pada pencegahan. Oleh karena itu, inventarisasi tidak boleh
dilakukan secara arbitrer dan terlalu menyederhanakan permasalahan.
Kategorisasi potensi konflik secara tepat harus dilakukan, salah satunya
dengan mengenali interseksionalitas potensi konflik. Bak pemeriksaan
kesehatan, kesalahan diagnosa akan berujung pada malpraktek. Subtim ke-dua, yaitu subtim penghentian
kekerasan, menandai kesadaran pemerintah terhadap bahaya kekerasan dalam
konflik. Perlu dipahami bahwa konflik adalah keniscayaan di tengah masyarakat
yang memiliki berbagai macam kepentingan yang berbeda bahkan bergesekan.
Kondisi yang berbahaya adalah ketika kekerasan digunakan untuk meniadakan
pihak yang berseberangan dan dianggap sebagai lawan. Spiral kekerasan akan berlanjut karena
orang akan berasumsi bahwa kekerasan merupakan satu-satunya jalan mencapai
tujuan, meskipun hal ini terbantahkan oleh berbagai aksi nir-kekerasan yang
sukses mencapai tujuan. Dengan kata lain, subtim ini seharusnya dapat membawa
masyarakat kepada cara berkonflik yang sehat. Namun, penempatan aktor-aktor yang banyak
diketahui menggunakan kekerasan dalam subtim ini dapat berpotensi
kontra-produktif. Polri, TNI, satuan polisi pamong praja, dan perlindungan
masyarat dijadikan garda depan dalam subtim ini. Padahal banyak kasus konflik
sosial yang menunjukkan penggunaan kekerasan, terutama oleh kepolisian dan
TNI, memicu kekerasan yang lebih besar alih-alih menghentikan kekerasan. Aktor-aktor ini harus dipastikan dapat
mengimplementasikan pemolisian masyarakat secara optimal, bukan menodongkan
persenjataan. Elemen masyarakt sipil pun seharusnya dilibatkan sebagai kunci
dalam subtim ini. Di samping kedua subtim di atas, subtim
pemulihan memiliki posisi penting dalam penanganan konflik sosial. Pembentukan
subtim ini patut diapresiasi karena penanganan tidak hanya dipahami sebagai
langkah preventif dan responsif, juga melibatkan langkah transformatif. Dengan tugas melakukan rekonsiliasi dan
mediasi, subtim ini dapat menjembatani perdamaian relasional atau membentuk
relasi antar-aktor agar damai melalui jalinan relasi kekerabatan atau
persahabatan. Kerangka kerja rekonsiliasi dan mediasi dalam subtim ini juga
harus memperhatikan skema konflik vertikal, tidak hanya horizontal. Dalam upaya ini, subtim harus memahami peta
relasi kuasa antar pihak. Selain itu, racikan pemulihan konflik harus
kontekstual dan sesuai kebutuhan pihak yang berkonflik. Sebagai contoh,
apabila komisi kebenaran dibutuhkan untuk rekonsiliasi, maka subtim harus
memfasilitasi kebutuhan tersebut. Pekerjaan subtim pemulihan semakin bermakna
jika pemulihan juga dipahami sebagai penghilangan faktor pendorong konflik.
Misalnya, konflik yang dipantik oleh ketimpangan atau favoritisme yang
berakar dari permasalahan struktural harus menghapuskan legitimasi struktural
yang mendasari, seperti regulasi. Oleh karena itu, advokasi perlu dilakukan
oleh subtim ini melalui koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk
menindaklanjuti regulasi yang bermasalah. Meskipun subtim dan lembaga
tersebut merupakan bentukan negara, tetapi egosentris kelembagaan dapat
menjadi tantangan dalam pelaksanaan misi ini. Aspek lain yang menarik dibahas dari konsep
Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial adalah konsep sinergitas. Upaya untuk
bersinergi dicerminkan dari pelibatan berbagai aktor di tingkat pusat maupun
daerah, baik dari pihak pemerintah maupun non-pemerintah. Sinergitas mencerminkan penangangan konflik
sebagai upaya gotong royong di level struktural maupun kultural dengan
menjangkau serta menghubungkan aktor yang berkecimpung di setiap level,
seperti pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Kendatipun aktor di setiap level tampak
representatif, terdapat potensi masalah jika pihak yang terlibat dipilih
sewenang-wenang. Salah satu contoh, pemilihan tokoh masyarakat sebaiknya
dilakukan secara inklusif sehingga tidak melahirkan tirani mayoritas. Pemilihan tokoh masyarakat hanya dari
kelompok mayoritas tanpa mengakomodasi representasi kelompok minoritas akan
menihilkan suara minoritas. Hal ini akan menyulitkan proses penanganan
konflik sosial yang idealnya memiliki akses kepada semua pihak yang
berkonflik. Selain itu, sinergitas dalam penanganan
konflik sosial dapat dicapai jika terdapat wewenang terukur bagi
masing-masing aktor di ketiga subtim. Ketidakjelasan wewenang dapat berujung
menjadi diskresi bahkan penyalahgunaan wewenang. Hal ini rentan terjadi di
sebuah tim yang dibentuk dengan justifikasi kepentingan publik, seperti
penanganan konflik sosial. Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Konflik
Sosial yang dirancang secara serius dan matang dapat menjadi harapan di
tengah masifnya konflik sosial. Namun, sebuah tim yang dibentuk hanya sebagai
pemanis tidak akan membawa progress, melainkan berpotensi memperkeruh kondisi
yang rentan terhadap konflik sosial. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar