DETIKNEWS,
13
April 2021 |
Ibadah, dalam pengertian yang luas
merupakan seluruh aktivitas yang berisi kebaikan dan kebenaran untuk Tuhan,
diri sendiri, orang lain, dan seluruh makhluk yang ada di alam raya ini. Di
samping pengertian luas, ada ibadah dalam arti khusus (ibadah khas atau
ibadah mahdhah) yang prasyarat, syarat dan mekanismenya sudah ditentukan
melalui syariat berupa nash baik al-Quran maupun al-Hadits (Sunah Rasulullah
SAW) Perbedaan mendasar antara keduanya: yang
pertama bisa ditampilkan dalam berbagai variasi, tergantung pada kreativitas
manusia sebatas tidak melanggar norma. Sementara yang kedua bersifat baku,
menutup kemungkinan kreativitas manusia. Sudah ditetapkan juklak dan
juknisnya dalam nash. Fungsi ibadah jenis pertama untuk memupuk
kesalehan pada sesama makhluk (antroposentris), yang meminjam istilah Muhammad
Abduh sebagai cerminan "Islam", sedangkan yang kedua untuk memupuk
kesalehan pada Tuhan (teosentris) sebagai ceminan "Muslim". Islam
diwujudkan dalam semua ucapan dan tandakan yang menceminkan kebaikan sesama
makhluk, sedangkan Muslim diwujudkan dalam sosok/manusia yang mengaku dan
menjalankan serangkaian ibadah mahdhah. Islam dan Muslim harus menyatu secara
integral. Orang yang rajin melakukan ibadah mahdhah seperti salat, puasa atau
haji, tapi masih menyakiti tetangganya, masih kikir, angkuh, sombong, mau
menang sendiri dan tidak bersahabat dengan lingkungan, ibadahnya kurang
berfungsi atau bahkan bisa dikatakan tidak berfungsi sama sekali.
Kemuslimannya belum menceminkan keislaman. Mengintegrasikan Islam dan Muslim bukanlah
pekerjaan mudah. Belum ada penelitian berapa persen orang yang secara formal
menyatakan diri sebagai Muslim telah mencerminkan prilakunya secara Islam.
Seperti kesulitan kita mencari orang yang bisa menyelaraskan kata dan
perbuatan, sesulit itu pulalah kita mencari seorang Muslim yang benar-benar
berislam. Butuh
Latihan Sesulit apa pun upaya menyatukan Islam dan
Muslim pasti bisa dicapai, meskipun hanya oleh orang-orang tertentu saja.
Orang-orang tertentu yang dimaksud tentu mereka yang memiliki integritas
pribadi dan kemauan keras untuk mencapai cita-cita tersebut, yang ukurannya
terlepas sama sekali dari atribut-atribut keduniaan seperti status sosial dan
kepangkatan. Banyak jalan menuju Roma, demikian kata
pepatah klasik, atau "Banyak jalan menuju Tuhan," tulis Cak Nur (Prof.
Dr. Nurcholish Madjid). Dalam mengintegrasikan Islam dan Muslim juga banyak
pirantinya, di antaranya yang paling efektif adalah dengan melakukan puasa.
Kata "puasa" dalam bahasa Arab shaum atau shiyam yang artinya
"meninggalkan (perbuatan)" atau arti bebas "menahan diri dari
perbuatan tertentu", yang tentu saja untuk tujuan tertentu. Puasa tidak hanya ada dalam doktrin agama.
Dalam budaya Jawa, orang yang berkeinginan untuk mencapai kesejatian hidup
biasanya juga melalui "puasa", dengan mutih (hanya makan nasi putih
dan hanya minum air putih) atau ngrawot dengan makan daun-daunan. Dalam pergaulan sehari-hari,
perempuan-perempuan masa kini atau bahkan laki-lakinya juga, untuk menjaga
keseimbangan berat badan, agar bisa tampil di depan publik secara prima dan
memikat, juga melalui "puasa" dengan cara diet, meninggalkan
makanan dan minuman yang berlemak dan berkalori tinggi. Dalam hal ini
"puasa" terbukti sangat efektif untuk menjaga penampilan. Puasa dalam konteks seperti diungkap dalam
judul tulisan ini tentu bukan puasa dalam arti diet, mutih, atau semacamnya.
Tapi, puasa yang dimaksud adalah "menahan diri dari makan, minum, dan
berhubungan badan antara pria wanita dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari." Dalam puasa ada prasyarat dan syarat yang
harus dipenuhi sesuai ketentuan nash. Oleh karena puasa bisa disebut sebagai
ibadah khas atau ibadah mahdhah. Puasa jenis ini dikatakan sebagai piranti
atau wahana yang efektif untuk mengintegrasikan Islam dan Muslim, karena
sebagai ibadah mahdhah puasa sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
(antroposentris). Dengan menahan lapar dan dahaga selama
kurang lebih satu hari penuh, khusus puasa Ramadhan bahkan berturut-turut
selama satu bulan, orang-orang kaya dan berkecukupan akan dengan sendiinya
merasakan bagaimana "penderitaan" yang selama ini dirasakan fakir
miskin yang sangat jarang ketemu makanan dan minuman secara layak. Dari sini
tercipta kesetiakawanan sosial. Artinya kebiasaan puasa bisa membuat orang
welas asih, rajin berderma, dan membantu orang lain. Di samping itu, puasa sebagai ibadah khusus
ia memiliki kekhususan dari yang khusus. Orang yang sengaja merusak atau
meninggalkan salat atau haji dengan mudah bisa dideteksi. Tapi bagi orang
yang merusak atau meninggalkan puasa sulit dilacak. Orang yang mengaku puasa
bisa saja minum atau makan di kala sendirian, siapa tahu, ia bisa saja
berakting seperti orang lapar dan haus. Di sinilah di antara fungsi sosial
puasa, bisa dijadikan sarana untuk berlaku jujur. Karena kekhususannya yang lebih khusus ini
maka tidak heran jika bagi orang yang berpuasa (shaim) diberikan pahala
khusus di sisi Allah. "Setiap ibadah milik si pelaku dan berpahala bagi
yang melakukannya kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah milik-Ku, dan
Akulah yang memberikan pahalanya," demikian salah satu bunyi hadits
qudsi yang populer. Prasyarat Selain terletak pada jenis pahala yang
langsung dari Allah, kekhususan puasa juga terletak pada prasyarat dalam
melaksanakannya. Berbeda dengan prasyarat bagi peribadatan mahdhah yang lain,
prasyarat puasa relatif lebih bernuansa kualitatif. Dalam al-Quran, perintah
puasa disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 183 yang artinya, "Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertakwa." Dari ayat ini bisa diambil pemahaman bahwa
prasyarat untuk berpuasa yang paling penting adalah adanya keimanan. Atau
dalam ungkapan lain Allah hanya mewajibkan puasa bagi orang-orang yang
beriman. Tidak bagi orang-orang "Islam KTP", atau mereka yang
"bersyahadat" karena pernikahan. Karena syaratnya yang relatif berkualitas,
maka puasa memang baru benar-benar dikatakan puasa jika ia memiliki fungsi
sosial. Puasa yang hakiki tidak sebatas menahan makan, minum dan berhubungan seks,
tapi juga menahan perkataan keji pada orang lain, tidak boleh mengumpat dan
marah. Dalam hadits lain juga disebutkan:
"Bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah adalah lebih wangi dari bau
minyak kasturi" Menurut Prof. Dr. H.A. Mukti Ali bahwa makna yang
sebenarnya dari hadits tersebut, orang yang tidak makan dan minum bukan
berarti mulutnya harum. Tapi karena dia menjauhi omongan yang jelek, dusta,
dan perkataan-perkataan yang tidak senonoh . Jadi "wangi" bermakna
metaforis. Dari beberapa petunjuk di atas, maka untuk
mengintegrasikan Islam dan Muslim melalui puasa,menuntut prasyarat adanya
disiplin fisik dan moral sekaligus. Tanpa itu, integrasi antara keduanya
tidak bisa dicapai. Introspeksi Kita tentu bertanya-tanya: dalam masyarakat
Muslim yang rajin melakukan ibadah seperti salat, puasa, zakat, maupun haji
ke Baitullah, mengapa belum menunjukkan indikasi keislaman? Dalam masyarakat
yang rajin berpuasa, mengapa belum tercipta kesetiakawanan? Drama
pemerkosaan, penindasan, pemerasan, penipuan, egoisme serta tindak asosial
lainnya, mengapa kadang-kadang masih dipentaskan orang-orang yang rajin
berpuasa? Mengapa juga korupsi semakin menjadi-jadi di negeri ini? Jawabannya, disebabkan karena puasa hanya
dilakukan sebatas meninggalkan hal-hal yang teknis di siang hari, belum
sampai pada tahapan meninggalkan hal-hal yang non-teknis seperti disiplin
moral dan spiritual. Sehingga pada malam harinya, drama keserakahan terus
berlangsung. Berlebih-lebihan dalam menyajikan menu berbuka dan santap sahur
merupakan bukti ketidaksiapan Muslim mencerminkan Islam. Puasa seolah-olah hanya menunggu waktu
berbuka, dengan menahan nafsu sehingga datangnya maghrib merupakan saat
pelampiasan nafsu tersebut sepuas-puasnya. Di sinilah perlunya kita terus
melakukan introspeksi, menyadari kondisi yang kemudian dengan penuh kesadaran
mencoba sekuat tenaga untuk mengintegrasikan Islam dan Muslim, mulai dari
diri kita masing masing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar