Jumat, 30 April 2021

 

Jack Ma dan Kisah Utang yang Meliliti Warga (1)

Simon Saragih ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 28 April 2021

 

 

                                                           

Setelah kemajuan pesat pada 2012, kegiatan keuangan yang disebut peer to peer (P2P) lending di China mulai anjlok drastis pada 2020. Ada krisis yang berlangsung selama lima tahun dalam bisnis P2P. Uniknya, hal itu secara langsung atau tidak langsung telah mengimbas ke Jack Ma, pendiri Alibaba. Dia diminta mendivestasikan semua saham di Ant Group, dengan bisnis yang mengandalkan teknologi keuangan, lebih luas dari sekadar P2P. Bagaimana bisa demikian? Berikut ulasannya pada dua tulisan bersambung.

 

Sulit membayangkan pinjaman awal Rp 4,5 juta melejit menjadi Rp 675 juta atau 150 kali lipat hanya dalam dua tahun. Namun, itulah kenyataan yang menimpa Sheng, seorang mahasiswa dari Provinsi Jiangxi, China. Kisah ini dituliskan di situs The China Global Television Network (CGTN), 31 Desember 2017.

 

Kisahnya, pada 2015 Sheng meminjam 2.000 yuan setara Rp 4,5 juta dari Laifenqi. Ini adalah perusahaan keuangan internet (internet finance) yang menjembatani pemilik dana dan peminjam, dikenal sebagai peer to peer (P2P) lending. Memang niat Sheng tidak pas, dia ingin berinvestasi di bursa saham dan perdagangan berjangka. Ini adalah salah satu jenis investasi yang bersifat spekulatif. Investasi Sheng tersebut kemudian terbukti merugi.

 

Sheng kembali meminjam dari perusahaan lain sejenis hanya untuk membayar utang pertama beserta bunganya. Awalnya Sheng tak sadar akan jebakan-jebakan yang dibuat perusahaan-perusahaan P2P. Tidak disebutkan, apakah Sheng menambah lagi jumlah pinjaman untuk melanjutkan investasi spekulatif itu dan sekaligus membayar utang lama.

 

Akan tetapi, The CGTN menuliskan investasi Sheng merugi lagi. Ia semakin sulit membayari utang berbunga tinggi. Namun, Sheng terus meminjam dari perusahaan lain sejenis. Utangnya pun meningkat mirip bola salju yang menggelinding dan membesar di luar dugaannya.

 

Rupanya selama dua tahun, Sheng meminjam dari 90 perusahaan P2P untuk gali lubang tutup lubang, sementara lubang semakin menganga. Beberapa perusahaan mengenakan bunga pinjaman hingga 2.000 persen. Jangka waktunya tidak disebutkan tetapi pasti dalam tempo kurang dari dua tahun.

 

Kepada CCTV, ayah Sheng mengatakan, ”Saya salah, tidak mendidik anak dengan baik. Saya akan membayar utang putra saya sepanjang bunganya masuk akal.” Berdasarkan aturan di China, bunga pinjaman otomatis invalid jika besarannya melampaui 36 persen dalam setahun.

 

”Memalukan”

 

Sheng bukan orang pertama yang terjebak pinjaman online yang tidak saja mencekik, tetapi bisa dikatakan ”membunuh”. Mahasiswa lainnya dengan nama singkat Zheng dari Provinsi Henan bunuh diri pada Maret 2016 setelah gagal membayar utang sebesar 600.000 yuan, seperti diberitakan The Beijing News, yang dikutip The CGTN. ”Jangan datang mengambil jasadku,karena memalukan,” demikian Zheng menuliskan kepada ayahnya, Zheng Xianqiao, asal Qingdao yang mendatangi jasad putranya di Dengzhou, Provinsi Henan, 15 Juli 2017 (Reuters, 27 September 2017).

 

Sang ayah bernama Zheng Xianqiao, seorang petani, membayari 120.000 yuan bagian dari utang putranya. ”Pinjaman telah menghancurkan hidup anakku,” katanya. Reuters menuliskan, pinjaman berbunga sangat tinggi telah menggandakan besaran utang anaknya dalam tempo yang cepat. Peminjam yang merupakan mahasiswa, tidak berpenghasilan, terus diganggu dan didesak perusahaan lewat penagih utang.

 

Dalam kasus lain, para investor (pemilik dana lebih) di Ezubao, sebuah perusahaan P2P yang lain, tiba-tiba kehilangan dana. Ezubao jatuh bangkrut pada 2015. Para nasabah yang dijanjikan imbalan empat kali lebih tinggi dari simpanan di perbankan biasa terpaksa gigit jari. Kebangkrutan Ezubao disebut karena perusahaan menjalankan bisnis mirip skema Ponzi, yang juga mengorbankan para nasabah hingga dengan profil kelas atas.

 

Situs The South China Morning Post edisi 7 Januari 2020 juga menuliskan seorang nasabah penyimpan dana (investor) mengakhiri hidupnya karena uangnya raib di sebuah perusahaan P2P, yang menjanjikan untung besar. Masalah bunuh diri tidak hanya menimpa nasabah peminjam, tetapi juga investor di P2P.

 

Ada lagi masalah lain, seperti diberitakan The Global Times edisi 10 Agustus 2018. Para debitor sebuah perusahaan P2P lari dari tanggung jawabnya untuk membayar pinjaman. Masih di harian The Global Times pada edisi 13 Agustus 2018, dituliskan kisah pengelola perusahaan P2P yang melakukan transfer dana ilegal dan mencoba melarikan diri dari tanggung jawab. Kasusnya, dana milik investor P2P digelapkan dan pengelola mencoba cuci tangan.

 

Mengimbas ke Jack Ma

 

Bisnis pinjaman daring yang bermasalah inilah bagian dari keuangan internet yang juga dibangga-banggakan pendiri Alibaba, Jack Ma. Ant Group, milik Jack Ma, juga memiliki salah satu divisi yang bergerak di bidang P2P. Ant malah melejit dalam bisnis ini, bahkan hendak menawarkan saham perdana ke publik (IPO).

 

Inti dari puja-puji Jack Ma terhadap keuangan internet, kadang disebut financial technology atau teknologi finansial (tekfin), menolong para peminjam perorangan hingga jenis usaha skala menengah dan kecil, yang selama ini tidak mendapatkan akses terhadap perbankan tradisional. Tekfin memberi akses baru, termasuk untuk urusan pinjam-meminjam.

 

Jack Ma yang juga salah satu orang terkaya di China mengkritik sistem keuangan lama yang malah memberi pinjaman kepada perusahaan kaya, tetapi tidak pintar mengalokasikan dana tersebut. Dampaknya, penggunaan dana tidak efisien. Dan pola keuangan lama tidak melirik usaha kecil dan kurang bonafide.

 

Ucapan Jack Ma benar. Ada perkembangan dan pendalaman di sektor keuangan yang tidak dialami negara mana pun di dunia ini. Adalah China yang juga menjadi ajang bisnis P2P terbesar di dunia dan ada sisi positif dari P2P yang membuka akses keuangan bagi lebih banyak warga dibandingkan dengan sistem perbankan tradisional.

 

Melejit lalu bermasalah

 

Perusahaan P2P berbisnis lewat teknologi internet. Persyaratan pengajuan pinjaman P2P sangat sederhana, cukup dengan menunjukkan kartu identitas dan data sederhana lainnya. Proses pencairan pinjaman bahkan bisa hanya hitungan detik. Dana-dana perusahaan P2P berasal dari para investor yang tergiur untung tinggi.

 

Namun, di balik sisi positif itu, terlalu banyak masalah yang menghebohkan negara, khususnya periode 2015-2020. Pada umumnya perusahaan P2P awalnya tidak mendapatkan pengawasan dari otoritas walaupun kegiatannya sangat mirip dengan kegiatan simpan-pinjam, termasuk mirip dengan perbankan tradisional.

 

Hal tersebut mendorong para investor oportunis atau pengusaha petualang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan fraud (penipuan). Tentu, bukan petualang yang merugikan publik seperti itu yang dikehendaki Jack Ma. Namun, para petualang diduga lebih banyak di dalam bisnis P2P tersebut selama periode 2015-2020.

 

Akibatnya, industri P2P yang dimulai pada 2012 dan berkembang pesat kemudian heboh dengan tingkat kebangkrutan tinggi. Masalahnya, pada P2P di China ditemukan banyak penipuan. Pada 2016 diperkirakan sebanyak 40 persen perusahaan P2P menjalankan bisnis mirip skema Ponzi.

 

Masalah lain, perusahaan P2P kadang terkesan menjebak kaum muda pada konsumerisme, termasuk para mahasiswa, dan tidak peduli tentang kemampuan membayar para peminjam di kemudian hari. Xin Xiaojun, seorang mitra di Beijing Changheng Law Firm, mengatakan, para mahasiswa seharusnya diedukasi tentang masalah keuangan serta mendapatkan petunjuk psikologis untuk menghindari konsumerisme.

 

Ada banyak kasus lain dalam industri P2P di China, termasuk pemalsuan indentitas dan pemakaian indentitas orang lain. Lebih parah lagi, ditemukan kasus beberapa perempuan peminjam dana, dengan memegang kartu identitas mereka dipotret dan direkam video tak senonoh. Potret dan video ini dijadikan ancaman, yakni akan dipajang di internet jika utang tak dibayar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar