Melihat
Kembali UU Perlindungan Konsumen Agus Sugiarto ; Kepala
OJK Institute |
KOMPAS, 20 April 2021
Tanggal 20 April diperingati sebagai Hari
Konsumen Nasional. Pentingnya hari konsumen nasional tersebut dipertegas
dengan Keppres No 13/2012 tentang Hari Konsumen Nasional. Perlindungan
konsumen bukan hanya menyangkut hak-hak dari konsumen yang harus dilindungi
dari perilaku yang merugikan mereka, melainkan juga untuk menjaga kepercayaan
konsumen secara keseluruhan. Kepercayaan dari konsumen merupakan salah
satu kunci sukses kelangsungan kegiatan bisnis dan dunia usaha. Membangun dan
mempertahankan kepercayaan konsumen bukanlah persoalan mudah karena bukan
hanya menyangkut hubungan antara produsen dan konsumen semata, tetapi juga
terkait dengan ketentuan hukum yang mengatur hubungan di antara mereka. Guna mendukung perlindungan konsumen dan
memberikan kepastian hukum, pemerintah telah mengeluarkan UU No 8/1999
tentang Perlindungan Konsumen sebagai pilar penting bagi produsen dan
konsumen dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka. Namun banyak pihak melihat ada beberapa
celah di UU itu yang perlu disempurnakan, mengingat usia UU sudah lebih dari
20 tahun. Beberapa ketentuan perlu dievaluasi, untuk merespons dinamika
perubahan yang terjadi saat ini. Kehadiran teknologi digital di berbagai
kegiatan usaha, perubahan perilaku masyarakat yang sangat bergantung pada
internet, dan pandemi yang mengurangi mobilitas manusia, merupakan faktor-faktor
yang memengaruhi beberapa ketentuan di UU No 8/1999. Pelaku
usaha Di Pasal 1 UU No 8/1999, pengertian pelaku
usaha hanyalah perorangan atau badan hukum yang didirikan atau melakukan
kegiatan usaha di dalam negeri. Dalam era digital sekarang ini, produsen
barang dan jasa bisa jadi berkedudukan di luar negeri, seperti perusahaan
e-dagang (e-commerce) yang sekarang ini banyak bermunculan di mana-mana. Transaksi perdagangan antara konsumen di
Indonesia dengan e-dagang yang berada di luar negeri melalui aplikasi digital
belum menjadi obyek dari peraturan tersebut. Akibatnya, hak-hak dari konsumen
Indonesia yang membeli barang dari pelaku usaha dari luar negeri tak
terlindungi secara optimal. Pengertian pelaku usaha juga perlu
diperluas pengertiannya, sehingga penjualan barang yang berbasis “social
media shopping”, seperti melalui Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain
yang sekarang telah menjadi tren di mana-mana juga masuk ke dalamnya. Selain itu, perlu dipertegas kembali
mengenai status pelaku usaha, apakah sebagai penjual langsung atau sebagai
perantara. Isu ini menjadi penting karena dalam kasus transaksi pembelian
barang secara daring melalui e-dagang, sering perusahaan e-dagang itu hanya
bertindak sebagai perantara saja dan bukan sebagai penjual langsung. Transaksi ini biasa disebut C2C
(customer-to-customer), di mana produsen barang yang menjual barang melalui
platform e-dagang tetap dianggap sebagai konsumen. Misalnya, seorang produsen kaos atau
penjual keripik menjual barangnya melalui Bukalapak atau Tokopedia, dalam
konteks perdagangan e-dagang mereka dianggap konsumen. Namun apabila terjadi
permasalahan dengan barang mereka seperti cacat atau tak sesuai dengan janji,
produsen itu tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab seperti tertuang di
dalam Pasal 24 UU No 8/1999. Oleh karena itu, dalam revisi UU No 8/1999,
perlu diakomodasi dan diberikan penegasan mengenai konsep transaksi
perdagangan berbasis C2C, di mana posisi produsen, pemilik platform e-dagang,
sebagai mediator dan konsumen. Hak
konsumen Perlindungan terhadap hak-hak konsumen
sudah sepantasnya diberikan secara wajar dan tidak berlebihan, namun demikian
ada hak-hak dari konsumen yang mungkin belum sepenuhnya terlindungi di dalam
Pasal 4 UU dimaksud. Salah satunya adalah hak untuk memilih data
pribadinya agar tidak disebarluaskan oleh produsen atau penyedia jasa di mana
konsumen membeli barang atau jasa. Kehadiran teknologi digital memudahkan
data pribadi konsumen berpindah tangan dari satu produsen ke produsen lainnya,
bahkan juga bisa diperdagangkan. Konsumen memiliki hak sepenuhnya agar data
pribadi mereka tidak disebarluaskan untuk kepentingan lain di luar
sepengetahuan maupun seizin mereka. Sayang sekali hak konsumen tersebut belum
diatur dan sampai saat inipun kita juga belum memiliki UU khusus tentang
perlindungan dan kerahasiaan data pribadi. Dari sisi pelaku usaha, ketentuan yang
tertuang di dalam Pasal 7 UU No 8/1999 juga tak mewajibkan mereka menjaga
kerahasiaan dan perlindungan data pribadi konsumen. Dengan demikian, secara umum tak ada sanksi
yang bisa dikenakan kepada produsen barang maupun jasa apabila terjadi
penyebarluasan data-data pribadi konsumen mereka. Saat ini perlindungan data
pribadi tersebut hanya diatur untuk transaksi atau kegiatan tertentu yang
sifatnya khusus atau sektoral di beberapa ketentuan. Sebagai contoh, perlindungan data nasabah
bank sudah diatur di UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 19/ 2016
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mewajibkan adanya
persetujuan pemilik data pribadi apabila digunakan di media elektronik. Hal lainnya yang perlu diatur dalam UU
Perlindungan Konsumen adalah mengenai hak dari konsumen pembeli barang dan
jasa apabila pelaku usaha mengalami wanprestasi atau usahanya mengalami kebangkrutan,
sementara barang atau jasa yang telah dibayar belum sampai ke tangan
konsumen. UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, lebih fokus pada kebangkrutan pelaku
usaha yang disebabkan adanya hubungan utang-piutang. Pengaturan yang lebih
jelas mengenai hak konsumen apabila pelaku usaha mengalami wanprestasi atau
kebangkrutan bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena dalam skenario seperti
itu bisa jadi konsumen yang akan dirugikan dan lemah posisinya dalam menuntut
hak mereka. Mekanisme
pengaduan Isu lain yang perlu ditampung di UU
Perlindungan Konsumen adalah belum adanya turunan ketentuan yang mengatur
mekanisme pengaduan untuk masing-masing sektor atau industri. Padahal, itu
penting guna memberikan kepastian hukum dan memperkuat aspek perlindungan
konsumen di sektor atau industri tersebut. Hal ini sangat masuk akal mengingat
karakteristik berbagai produk barang dan jasa sangat bervariasi antara satu
dan lainnya. Produk nya mempunyai karateristik yang sangat berbeda dengan
susu formula untuk bayi, demikian halnya dengan membeli jasa dalam bentuk
menabung di bank tentunya berbeda dengan jasa pengiriman barang yang
dilakukan oleh perusahaan ekspedisi. Ketentuan yang ada sekarang memberikan dua
pilihan bagi konsumen untuk melakukan pengaduan. Saat ini konsumen bisa
mengajukan pengaduan melalui jalur pengadilan umum dimana mereka berdomisili. Namun tidak semua konsumen mampu
melakukannya karena terkait dengan kendala waktu, biaya maupun prosesnya yang
cukup panjang. Alternatif lainnya dengan menyelesaikan sengketa diluar jalur
pengadilan, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, seperti YLKI. Kedua lembaga alternatif tersebut sangat
sulit menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat dan memuaskan, apabila
seluruh persoalan sengketa konsumen yang terkait dengan semua barang dan jasa
masuk ke ranah mereka. Mereka tentunya tidak memiliki kompetensi
dan juga keahlian untuk menyelesaikan semua jenis pengaduan, karena mereka
juga tidak menguasai seluruh proses bisnis maupun karakteristik dari barang
dan jasa yang menjadi obyek sengketa. Oleh karena itu, diperlukan turunan aturan
yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat sektoral
dan dikeluarkan oleh masing-masing otoritas, sehingga penyelesaian sengketa
menjadi lebih cepat dan melindungi kepentingan produsen maupun konsumen. Sebagai contoh, untuk penyelesaian sengketa
konsumen di sektor jasa keuangan sudah diatur secara jelas mekanismenya di
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Di aturan ini diberikan kejelasan mengenai
mekanisme pengaduan yang bisa dilakukan nasabah lembaga keuangan dan juga perlindungan
bagi lembaga jasa keuangan, jangka waktu penyelesaian yang dipersyaratkan dan
pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang ada di industri jasa keuangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar