Selasa, 20 April 2021

 

Melihat Kembali UU Perlindungan Konsumen

Agus Sugiarto ; Kepala OJK Institute

KOMPAS, 20 April 2021

 

 

                                                           

Tanggal 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional. Pentingnya hari konsumen nasional tersebut dipertegas dengan Keppres No 13/2012 tentang Hari Konsumen Nasional. Perlindungan konsumen bukan hanya menyangkut hak-hak dari konsumen yang harus dilindungi dari perilaku yang merugikan mereka, melainkan juga untuk menjaga kepercayaan konsumen secara keseluruhan.

 

Kepercayaan dari konsumen merupakan salah satu kunci sukses kelangsungan kegiatan bisnis dan dunia usaha. Membangun dan mempertahankan kepercayaan konsumen bukanlah persoalan mudah karena bukan hanya menyangkut hubungan antara produsen dan konsumen semata, tetapi juga terkait dengan ketentuan hukum yang mengatur hubungan di antara mereka.

 

Guna mendukung perlindungan konsumen dan memberikan kepastian hukum, pemerintah telah mengeluarkan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai pilar penting bagi produsen dan konsumen dalam pemenuhan hak dan kewajiban mereka.

 

Namun banyak pihak melihat ada beberapa celah di UU itu yang perlu disempurnakan, mengingat usia UU sudah lebih dari 20 tahun. Beberapa ketentuan perlu dievaluasi, untuk merespons dinamika perubahan yang terjadi saat ini.

 

Kehadiran teknologi digital di berbagai kegiatan usaha, perubahan perilaku masyarakat yang sangat bergantung pada internet, dan pandemi yang mengurangi mobilitas manusia, merupakan faktor-faktor yang memengaruhi beberapa ketentuan di UU No 8/1999.

 

Pelaku usaha

 

Di Pasal 1 UU No 8/1999, pengertian pelaku usaha hanyalah perorangan atau badan hukum yang didirikan atau melakukan kegiatan usaha di dalam negeri. Dalam era digital sekarang ini, produsen barang dan jasa bisa jadi berkedudukan di luar negeri, seperti perusahaan e-dagang (e-commerce) yang sekarang ini banyak bermunculan di mana-mana.

 

Transaksi perdagangan antara konsumen di Indonesia dengan e-dagang yang berada di luar negeri melalui aplikasi digital belum menjadi obyek dari peraturan tersebut. Akibatnya, hak-hak dari konsumen Indonesia yang membeli barang dari pelaku usaha dari luar negeri tak terlindungi secara optimal.

 

Pengertian pelaku usaha juga perlu diperluas pengertiannya, sehingga penjualan barang yang berbasis “social media shopping”, seperti melalui Instagram, Facebook, Twitter, dan lain-lain yang sekarang telah menjadi tren di mana-mana juga masuk ke dalamnya.

 

Selain itu, perlu dipertegas kembali mengenai status pelaku usaha, apakah sebagai penjual langsung atau sebagai perantara. Isu ini menjadi penting karena dalam kasus transaksi pembelian barang secara daring melalui e-dagang, sering perusahaan e-dagang itu hanya bertindak sebagai perantara saja dan bukan sebagai penjual langsung.

 

Transaksi ini biasa disebut C2C (customer-to-customer), di mana produsen barang yang menjual barang melalui platform e-dagang tetap dianggap sebagai konsumen.

 

Misalnya, seorang produsen kaos atau penjual keripik menjual barangnya melalui Bukalapak atau Tokopedia, dalam konteks perdagangan e-dagang mereka dianggap konsumen. Namun apabila terjadi permasalahan dengan barang mereka seperti cacat atau tak sesuai dengan janji, produsen itu tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab seperti tertuang di dalam Pasal 24 UU No 8/1999.

 

Oleh karena itu, dalam revisi UU No 8/1999, perlu diakomodasi dan diberikan penegasan mengenai konsep transaksi perdagangan berbasis C2C, di mana posisi produsen, pemilik platform e-dagang, sebagai mediator dan konsumen.

 

Hak konsumen

 

Perlindungan terhadap hak-hak konsumen sudah sepantasnya diberikan secara wajar dan tidak berlebihan, namun demikian ada hak-hak dari konsumen yang mungkin belum sepenuhnya terlindungi di dalam Pasal 4 UU dimaksud.

 

Salah satunya adalah hak untuk memilih data pribadinya agar tidak disebarluaskan oleh produsen atau penyedia jasa di mana konsumen membeli barang atau jasa. Kehadiran teknologi digital memudahkan data pribadi konsumen berpindah tangan dari satu produsen ke produsen lainnya, bahkan juga bisa diperdagangkan.

 

Konsumen memiliki hak sepenuhnya agar data pribadi mereka tidak disebarluaskan untuk kepentingan lain di luar sepengetahuan maupun seizin mereka. Sayang sekali hak konsumen tersebut belum diatur dan sampai saat inipun kita juga belum memiliki UU khusus tentang perlindungan dan kerahasiaan data pribadi.

 

Dari sisi pelaku usaha, ketentuan yang tertuang di dalam Pasal 7 UU No 8/1999 juga tak mewajibkan mereka menjaga kerahasiaan dan perlindungan data pribadi konsumen.

 

Dengan demikian, secara umum tak ada sanksi yang bisa dikenakan kepada produsen barang maupun jasa apabila terjadi penyebarluasan data-data pribadi konsumen mereka. Saat ini perlindungan data pribadi tersebut hanya diatur untuk transaksi atau kegiatan tertentu yang sifatnya khusus atau sektoral di beberapa ketentuan.

 

Sebagai contoh, perlindungan data nasabah bank sudah diatur di UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 19/ 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mewajibkan adanya persetujuan pemilik data pribadi apabila digunakan di media elektronik.

 

Hal lainnya yang perlu diatur dalam UU Perlindungan Konsumen adalah mengenai hak dari konsumen pembeli barang dan jasa apabila pelaku usaha mengalami wanprestasi atau usahanya mengalami kebangkrutan, sementara barang atau jasa yang telah dibayar belum sampai ke tangan konsumen.

 

UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, lebih fokus pada kebangkrutan pelaku usaha yang disebabkan adanya hubungan utang-piutang. Pengaturan yang lebih jelas mengenai hak konsumen apabila pelaku usaha mengalami wanprestasi atau kebangkrutan bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena dalam skenario seperti itu bisa jadi konsumen yang akan dirugikan dan lemah posisinya dalam menuntut hak mereka.

 

Mekanisme pengaduan

 

Isu lain yang perlu ditampung di UU Perlindungan Konsumen adalah belum adanya turunan ketentuan yang mengatur mekanisme pengaduan untuk masing-masing sektor atau industri. Padahal, itu penting guna memberikan kepastian hukum dan memperkuat aspek perlindungan konsumen di sektor atau industri tersebut.

 

Hal ini sangat masuk akal mengingat karakteristik berbagai produk barang dan jasa sangat bervariasi antara satu dan lainnya. Produk nya mempunyai karateristik yang sangat berbeda dengan susu formula untuk bayi, demikian halnya dengan membeli jasa dalam bentuk menabung di bank tentunya berbeda dengan jasa pengiriman barang yang dilakukan oleh perusahaan ekspedisi.

 

Ketentuan yang ada sekarang memberikan dua pilihan bagi konsumen untuk melakukan pengaduan. Saat ini konsumen bisa mengajukan pengaduan melalui jalur pengadilan umum dimana mereka berdomisili.

 

Namun tidak semua konsumen mampu melakukannya karena terkait dengan kendala waktu, biaya maupun prosesnya yang cukup panjang. Alternatif lainnya dengan menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, seperti YLKI.

 

Kedua lembaga alternatif tersebut sangat sulit menyelesaikan sengketa konsumen dengan cepat dan memuaskan, apabila seluruh persoalan sengketa konsumen yang terkait dengan semua barang dan jasa masuk ke ranah mereka.

 

Mereka tentunya tidak memiliki kompetensi dan juga keahlian untuk menyelesaikan semua jenis pengaduan, karena mereka juga tidak menguasai seluruh proses bisnis maupun karakteristik dari barang dan jasa yang menjadi obyek sengketa.

 

Oleh karena itu, diperlukan turunan aturan yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat sektoral dan dikeluarkan oleh masing-masing otoritas, sehingga penyelesaian sengketa menjadi lebih cepat dan melindungi kepentingan produsen maupun konsumen.

 

Sebagai contoh, untuk penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan sudah diatur secara jelas mekanismenya di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

 

Di aturan ini diberikan kejelasan mengenai mekanisme pengaduan yang bisa dilakukan nasabah lembaga keuangan dan juga perlindungan bagi lembaga jasa keuangan, jangka waktu penyelesaian yang dipersyaratkan dan pilihan penyelesaian sengketa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ada di industri jasa keuangan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar