Jumat, 30 April 2021

 

Radhar Panca Dahana yang Berkarib dengan Rasa Sakit

Putu Fajar Arcana ;  Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 28 April 2021

 

 

                                                           

Sejak lebih dari 20 tahun lalu, Radhar Panca Dahana menghabiskan 15 jam dalam seminggu di rumah sakit. Tubuhnya yang kian ringkih disayat-sayat untuk mengalirkan darahnya ke mesin pencuci darah.

 

Proses hemodialisis ini setidaknya berlangsung lima jam dalam sehari, dan Radhar harus menjalaninya setiap Senin, Rabu, dan Jumat di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

 

Kalau harus pergi ke luar kota, maka istrinya, Krisniati Marchellina, selalu memastikan Radhar melakukan hemodialisis di rumah sakit setempat. Tak boleh ada hari yang bolong. Prinsipnya, lupa adalah celaka!

 

Radhar seharusnya melakukan cuci darah, Rabu (21/4/2021), tetapi ia mengundurnya jadi Kamis (22/4/2021). Setelah memaksa menerima vaksin Covid-19 pada hari Senin, kata Nkiss, panggilan Krisniati Marchellina, kondisi Radhar baik-baik saja. Lantaran hari vaksinasi terlalu dekat dengan jadwal cuci darah berikutnya di hari Rabu, maka jadwalnya diundur menjadi Kamis.

 

”Mas Radhar bilang ingin pergi jauh, setelah setahun di rumah saja selama pandemi. Kami bertengkar hebat selama tiga hari, karena dia punya komorbid, terutama pada jantungnya,” tutur Nkiss.

 

Dokter, tambahnya, pada awalnya menolak merekomendasi vaksinasi mengingat jejak penyakit Radhar selama ini. ”Tetapi ia memaksa, karena memang secara fisik tampak segar. Bahkan jalan sendiri, tanpa memakai kursi roda seperti biasanya kalau ke rumah sakit,” ujar Nkiss.

 

Pada Kamis itu, tambah Nkiss, sebelum proses hemodialisis dilakukan, suaminya mengeluh sakit di bagian dada. Peristiwa semacam ini sesungguhnya sering dialami Radhar. Aku masih ingat, 28 Agustus 2003, ia membaca tiga puisi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Sebelum benar-benar tiba pada baris puisi terakhir, Radhar tiba-tiba meringkuk sambil mengerang di atas panggung.

 

Bersama Mas Willy (penyair WS Rendra), kami menggotongnya untuk kemudian dibaringkan, tepat di depan toilet. Mas Willy menunda ceramahnya untuk memberikan pertolongan pertama kepada Radhar. Aku juga ingat, Mas Willy mengerahkan kemampuan olah kanuragan yang ia peroleh saat belajar di perguruan silat Bangau Putih untuk menyelamatkan Radhar. Aku turut memijit ujung jari kakinya untuk memberi tekanan agar darahnya tetap mengalir.

 

”Ini biasa, ada yang kram di bagian dalamku, mungkin dada atau perut,” ujar Radhar ketika siuman.

 

Kami semua sungguh takjub. Baru saja kegentingan dan kepanikan itu melanda semua orang, tetapi dengan tenang Radhar berkata lagi, ”Mari lanjutkan….” Ia seolah-olah hanya bangun dari tidur untuk kemudian memulai beraktivitas di pagi hari.

 

Mas Willy membimbingnya duduk di kursi. Acara berjalan kembali. Di depan para peserta ceramah hari itu, Mas Willy mengingatkan, ”Seniman juga perlu menjaga kesehatan. Jangan habiskan hidupmu bergelut dengan rasa sakit, bergulatlah dengan penciptaan…. Rasa sakit itu ketika kita melahirkan karya.”

 

Kalimat ini mungkin jadi semacam penyemangat hidup Radhar. Terbukti ia ”berhasil” bertahan dari rongrongan penyakit gagal ginjal selama 20 tahun terakhir. Ia harus berhadapan muka dengan mesin bernama hemodialyzer di rumah sakit sejak tahun 2001, beberapa tahun setelah kembali dari tugas belajar di Perancis. Mulanya, cuci darah itu berjalan sekali sepekan, lalu meningkat menjadi dua kali, dan akhirnya tiga kali dalam seminggu.

 

Saat aku menuliskan perjuangan Radhar menghadapi mesin pencuci darah, seorang jurnalis senior mengontaknya. ”Ia menawarkan cangkok ginjal di China, karena ia baru saja melakukannya,” ujar Radhar ketika itu.

 

Secara halus Radhar menolaknya. Bukan cuma soal biayanya yang mahal, tetapi ia tidak yakin para dokter di China menemukan ginjal yang cocok dan ”halal” bagi dirinya.

 

Rupanya, ia banyak membaca soal jual-beli ginjal ilegal, yang kemudian memengaruhi keputusannya untuk menolak mencangkok ginjal. Sekadar tahu, jurnalis senior itu sampai kini masih berkiprah di dunia jurnalistik.

 

”Biarkan aku menjalani ini dengan segala yang kubawa sejak lahir. Ini anugerah yang setiap waktu aku harus syukuri,” katanya suatu hari kepadaku.

 

Ia seolah lelaki yang lahir dengan segenap penderitaan, tetapi selalu berhasil mensyukuri segala yang melekat pada dirinya. Pada usia sangat belia, ia ”melarikan diri” dari rumah karena tidak mendapatkan perlakuan baik dari ayahnya. Sejak usia 10 tahun, ia kemudian hidup bohemian, menggelandang di komunitas seni Bulungan, Jakarta Selatan.

 

Aku mengingat penggalan sajaknya yang berjudul ”Percakapan Dua Ranting”: ”//…akankah kau patahkan/tubuhmu hingga musim tiada berganti?/mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa/kelopak tanpa daun berhelahelai? kemari/juga kau benamkan yang lain dalam jurang/di matamu? aku. katakan bahwa kau menerimamu/seperti aku memberi?.../kau? ya. kau?...aku” (Lalu Batu, 2003).

 

Sajak itu ia tulis saat masih bermukim di kota Besancon, sebuah kota kecil yang berjarak 450 kilometer di timur Paris, Perancis, tahun 1997. Pada ranting-ranting pohon di kota itu, ia bercakap-cakap tentang eksistensi dirinya di hadapan semesta. Di hadapan musim yang terus berubah, ia bertanya kepada dirinya sendiri, ”akankah kau patahkan tubuhmu”, hanya agar musim tak pernah berganti?

 

Sebagaimana kemudian kau mengikuti perjalanan hidupnya, Radhar merelakan dirinya terpatah-patah, memelihara rasa sakit agar menjadi karib, teman bercakap-cakap saban waktu. Semuanya ia kerjakan dengan penuh rasa takzim, menghormat kepada Sang Pemberi Hidup.

 

Musim-musim kreativitasnya yang terus menggelegak tak boleh berganti, untuk itulah ia mematahkan dirinya setiap saat; agar tumbuh bersama musim. Ia tak berkehendak melawan musim, karena ingin tumbuh sebagai pribadi yang ”meruang dalam semesta”.

 

Bukankah itu inti filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Soren Kierkegaard sejak awal abad ke-19? Radhar mengejar otentisitas kemanusiaannya dengan luluh dalam ruang, karena hanya dengan begitu ia menemukan makna hidup sejati.

 

Jika pikiran-pikirannya yang ia tuangkan dalam banyak artikel selalu otentik dan tajam, itu karena ia berkejaran dengan eksistensi dirinya di tengah-tengah kuasa semesta.

 

Ia senantiasa bertanya, untuk apa hidup jika tak benar-benar memberinya makna. Hakikat dari hidup adalah memberi makna supaya ia menjadi berarti. Chairil Anwar, si penyair binatang jalang itu, mengucapkan ini dengan nada lantang, ”Sekali berarti sudah itu mati!”

 

Hidup, kata Radhar suatu hari kepadaku, bagai kilatan bintang jatuh. ”Cahaya itu sesaat, tetapi pada momen yang tepat, sehingga jadi momentum. Sesudahnya, siapa yang tahu soal nasib, itu milik masing-masing,” katanya dengan suara berat dan serak.

 

Dimas, begitu ia selalu memanggilku, dalam tubuhku setidaknya bersarang 22 penyakit sejak divonis gagal ginjal. Sekali waktu, penyakit-penyakit itu mencegatku di tengah jalan raya, kata Radhar. Bahkan beberapa kali terjadi, ia harus berhenti menyetir mobil di tengah jalan karena tiba-tiba perutnya diserang kram berat. ”Itu semua aku terima, tetapi tidak membunuh pikiran-pikiranku,” katanya.

 

”Mas Radhar meninggalkan banyak hal yang berharga, terutama tak pernah merasa lelah, apalagi mengeluh…,” kata Nkiss dengan tenang. Suara perempuan muda yang baru saja ditinggal pergi oleh suami tercintanya itu terdengar begitu tabah.

 

Apa yang membuatmu jadi begitu tegar?

 

”Rasa sakit itu mengajarkan Mas Radhar untuk sabar dan tawakal. Mengapa aku tidak?” katanya.

 

Apa yang kau rasakan kini Nkiss?

 

”Ada rasa gamang memang, tetapi aku takkan menyerah,” jawab ibunda dari Nurviva Segunda Putri Dahana (8) itu masih dengan tegar. Ia buru-buru menambahkan, ia bangga dan kagum kepada suaminya, karena berhasil melalui masa-masa tersulit dalam hidupnya.

 

Ketika cerita kami sampai pada bagian Radhar harus menjalani operasi jantung di hari Kamis siang, ketenangan Nkiss tibat-tiba runtuh. Tangisnya pecah. ”Aku merasa bersalah mengapa mengizinkan ia vaksinasi, hiks….” Percakapan kami terhenti.

 

Tangis itu pecah kembali ketika Nkiss mengisahkan bagaimana suaminya seperti ”mengusirnya” pulang seusai operasi jantung berjalan lancar. ”Dia bilang karena harus rawat inap, aku diminta pulang siapkan pakaian. Sekalian ajak Viva pulang, ia terlalu kecil berada di rumah sakit,” tutur Nkiss.

 

”Dan Mas Radhar minta dibawain kemeja karena katanya nanti siap-siap akan pergi jauh….” Kesedihan Nkiss benar-benar tak bisa dibendung. Air matanya tumpah sederas-derasnya.

 

Aku ingin memberinya kata-kata penghiburan agar ia kembali tabah, sebagaimana yang telah ia tunjukkan selama ini. ”Kamu perempuan yang paling mengerti tentang suamimu selama ini, kan?” kataku.

 

Di tengah jalan, kata Nkiss, rumah sakit menelepon bahwa Radhar mengalami masa-masa kritis. Semua itu begitu tiba-tiba. Padahal, ketika Nkiss beranjak dari rumah sakit, Radhar baru saja menghabiskan semangkuk mi ayam kesukaannya.

 

Tak lama berselang, telepon kembali berdering. Kali ini suara seseorang di seberang itu bagai petir yang meledak di genderang telinga Nkiss.

 

”Mas Radhar… sudah pergi jauh…,” katanya terbata-bata. ”Aku… bersalah…, Mas…. Aku bersalah….”

 

Sebagaimana kemudian kau dan aku tahu, cendekiawan Radhar Panca Dahana pergi untuk selamanya, Kamis (22/4/2021) pukul 20.00. Kepergian yang tegar, karena ia telah berjuang mempertahankan nyawanya berpuluh-puluh tahun.

 

Bukan cuma demi hidup, tetapi ia seolah berkejaran dengan waktu. Tubuhnya boleh tiada, tetapi pikiran-pikirannya terekam baik untuk menyempurnakan kehidupan bangsanya.

 

Kemudian terngiang-ngiang sajak ”Pulang” yang ia tulis tahun 1987 silam: ”//hujan sedari tadi belum berhenti/kenapa merpati terbang sendiri/kuyup basah tidak perduli/sudah berapa pagi/tak mau juga ia menepi/apa yang kau cari?/kabar kekasihkah menyertai/atau sekadar ingin kembali?/tahukah kamu, di sini/seumur hujan ia menanti//”.

 

Puisi itulah yang bergema di atas pusara penyair, sastrawan, cendekiawan, dan budayawan besar itu ketika kakak kandungnya, Radhar Tribaskoro, terisak. Suaranya menggaung di Tanah Kusir, lantas membentur jajaran batu nisan dan pepohonan, sebelum akhirnya menghilang jadi senyap.

 

Aku tak bisa menghentikan tulisan ini. Sungguh. Terlalu banyak cerita yang ingin kubagi kepadamu. Terlalu banyak kenangan, persahabatan, bahkan persaudaraan yang begitu intim, yang sungguh sulit kutuliskan dalam satu-dua kata saja. Maka, sebagai akhir dari catatan ini, aku kutipkan penggalan sajak Radhar berjudul ”Perjalanan” yang ia tulis tahun 1985.

 

”//Inilah arti banyak dari perjalanan yang tak mampu kita/hentikan. biang keladi semua yang tak terelakkan/tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan dan kematian/bisa meluputkan kita darinya…//”

 

Dalam ketakberdayaan tubuhnya, ia telah memberi terlalu banyak. Selamat jalan batu cadas yang dipapas dengan kapak…. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar