Radhar
Panca Dahana yang Berkarib dengan Rasa Sakit Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial
Budaya” Kompas |
KOMPAS, 28 April 2021
Sejak lebih dari 20 tahun lalu, Radhar
Panca Dahana menghabiskan 15 jam dalam seminggu di rumah sakit. Tubuhnya yang
kian ringkih disayat-sayat untuk mengalirkan darahnya ke mesin pencuci darah. Proses hemodialisis ini setidaknya
berlangsung lima jam dalam sehari, dan Radhar harus menjalaninya setiap Senin,
Rabu, dan Jumat di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Kalau harus pergi ke luar kota, maka
istrinya, Krisniati Marchellina, selalu memastikan Radhar melakukan
hemodialisis di rumah sakit setempat. Tak boleh ada hari yang bolong.
Prinsipnya, lupa adalah celaka! Radhar seharusnya melakukan cuci darah,
Rabu (21/4/2021), tetapi ia mengundurnya jadi Kamis (22/4/2021). Setelah
memaksa menerima vaksin Covid-19 pada hari Senin, kata Nkiss, panggilan
Krisniati Marchellina, kondisi Radhar baik-baik saja. Lantaran hari vaksinasi
terlalu dekat dengan jadwal cuci darah berikutnya di hari Rabu, maka
jadwalnya diundur menjadi Kamis. ”Mas Radhar bilang ingin pergi jauh,
setelah setahun di rumah saja selama pandemi. Kami bertengkar hebat selama
tiga hari, karena dia punya komorbid, terutama pada jantungnya,” tutur Nkiss. Dokter, tambahnya, pada awalnya menolak
merekomendasi vaksinasi mengingat jejak penyakit Radhar selama ini. ”Tetapi
ia memaksa, karena memang secara fisik tampak segar. Bahkan jalan sendiri,
tanpa memakai kursi roda seperti biasanya kalau ke rumah sakit,” ujar Nkiss. Pada Kamis itu, tambah Nkiss, sebelum
proses hemodialisis dilakukan, suaminya mengeluh sakit di bagian dada.
Peristiwa semacam ini sesungguhnya sering dialami Radhar. Aku masih ingat, 28
Agustus 2003, ia membaca tiga puisi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Sebelum
benar-benar tiba pada baris puisi terakhir, Radhar tiba-tiba meringkuk sambil
mengerang di atas panggung. Bersama Mas Willy (penyair WS Rendra), kami
menggotongnya untuk kemudian dibaringkan, tepat di depan toilet. Mas Willy
menunda ceramahnya untuk memberikan pertolongan pertama kepada Radhar. Aku
juga ingat, Mas Willy mengerahkan kemampuan olah kanuragan yang ia peroleh
saat belajar di perguruan silat Bangau Putih untuk menyelamatkan Radhar. Aku
turut memijit ujung jari kakinya untuk memberi tekanan agar darahnya tetap
mengalir. ”Ini biasa, ada yang kram di bagian
dalamku, mungkin dada atau perut,” ujar Radhar ketika siuman. Kami semua sungguh takjub. Baru saja
kegentingan dan kepanikan itu melanda semua orang, tetapi dengan tenang
Radhar berkata lagi, ”Mari lanjutkan….” Ia seolah-olah hanya bangun dari
tidur untuk kemudian memulai beraktivitas di pagi hari. Mas Willy membimbingnya duduk di kursi.
Acara berjalan kembali. Di depan para peserta ceramah hari itu, Mas Willy
mengingatkan, ”Seniman juga perlu menjaga kesehatan. Jangan habiskan hidupmu
bergelut dengan rasa sakit, bergulatlah dengan penciptaan…. Rasa sakit itu
ketika kita melahirkan karya.” Kalimat ini mungkin jadi semacam
penyemangat hidup Radhar. Terbukti ia ”berhasil” bertahan dari rongrongan
penyakit gagal ginjal selama 20 tahun terakhir. Ia harus berhadapan muka
dengan mesin bernama hemodialyzer di rumah sakit sejak tahun 2001, beberapa
tahun setelah kembali dari tugas belajar di Perancis. Mulanya, cuci darah itu
berjalan sekali sepekan, lalu meningkat menjadi dua kali, dan akhirnya tiga
kali dalam seminggu. Saat aku menuliskan perjuangan Radhar
menghadapi mesin pencuci darah, seorang jurnalis senior mengontaknya. ”Ia
menawarkan cangkok ginjal di China, karena ia baru saja melakukannya,” ujar
Radhar ketika itu. Secara halus Radhar menolaknya. Bukan cuma
soal biayanya yang mahal, tetapi ia tidak yakin para dokter di China
menemukan ginjal yang cocok dan ”halal” bagi dirinya. Rupanya, ia banyak membaca soal jual-beli
ginjal ilegal, yang kemudian memengaruhi keputusannya untuk menolak
mencangkok ginjal. Sekadar tahu, jurnalis senior itu sampai kini masih
berkiprah di dunia jurnalistik. ”Biarkan aku menjalani ini dengan segala
yang kubawa sejak lahir. Ini anugerah yang setiap waktu aku harus syukuri,”
katanya suatu hari kepadaku. Ia seolah lelaki yang lahir dengan segenap
penderitaan, tetapi selalu berhasil mensyukuri segala yang melekat pada
dirinya. Pada usia sangat belia, ia ”melarikan diri” dari rumah karena tidak
mendapatkan perlakuan baik dari ayahnya. Sejak usia 10 tahun, ia kemudian
hidup bohemian, menggelandang di komunitas seni Bulungan, Jakarta Selatan. Aku mengingat penggalan sajaknya yang
berjudul ”Percakapan Dua Ranting”: ”//…akankah
kau patahkan/tubuhmu hingga musim tiada berganti?/mari. lalu kau tumbuhkan
bunga tanpa/kelopak tanpa daun berhelahelai? kemari/juga kau benamkan yang
lain dalam jurang/di matamu? aku. katakan bahwa kau menerimamu/seperti aku
memberi?.../kau? ya. kau?...aku” (Lalu Batu, 2003). Sajak itu ia tulis saat masih bermukim di
kota Besancon, sebuah kota kecil yang berjarak 450 kilometer di timur Paris,
Perancis, tahun 1997. Pada ranting-ranting pohon di kota itu, ia bercakap-cakap
tentang eksistensi dirinya di hadapan semesta. Di hadapan musim yang terus
berubah, ia bertanya kepada dirinya sendiri, ”akankah kau patahkan tubuhmu”,
hanya agar musim tak pernah berganti? Sebagaimana kemudian kau mengikuti
perjalanan hidupnya, Radhar merelakan dirinya terpatah-patah, memelihara rasa
sakit agar menjadi karib, teman bercakap-cakap saban waktu. Semuanya ia
kerjakan dengan penuh rasa takzim, menghormat kepada Sang Pemberi Hidup. Musim-musim kreativitasnya yang terus menggelegak
tak boleh berganti, untuk itulah ia mematahkan dirinya setiap saat; agar
tumbuh bersama musim. Ia tak berkehendak melawan musim, karena ingin tumbuh
sebagai pribadi yang ”meruang dalam semesta”. Bukankah itu inti filsafat eksistensialisme
yang dikembangkan oleh Soren Kierkegaard sejak awal abad ke-19? Radhar
mengejar otentisitas kemanusiaannya dengan luluh dalam ruang, karena hanya
dengan begitu ia menemukan makna hidup sejati. Jika pikiran-pikirannya yang ia tuangkan
dalam banyak artikel selalu otentik dan tajam, itu karena ia berkejaran
dengan eksistensi dirinya di tengah-tengah kuasa semesta. Ia senantiasa bertanya, untuk apa hidup
jika tak benar-benar memberinya makna. Hakikat dari hidup adalah memberi
makna supaya ia menjadi berarti. Chairil Anwar, si penyair binatang jalang
itu, mengucapkan ini dengan nada lantang, ”Sekali
berarti sudah itu mati!” Hidup, kata Radhar suatu hari kepadaku,
bagai kilatan bintang jatuh. ”Cahaya itu sesaat, tetapi pada momen yang
tepat, sehingga jadi momentum. Sesudahnya, siapa yang tahu soal nasib, itu
milik masing-masing,” katanya dengan suara berat dan serak. Dimas, begitu ia selalu memanggilku, dalam
tubuhku setidaknya bersarang 22 penyakit sejak divonis gagal ginjal. Sekali
waktu, penyakit-penyakit itu mencegatku di tengah jalan raya, kata Radhar.
Bahkan beberapa kali terjadi, ia harus berhenti menyetir mobil di tengah
jalan karena tiba-tiba perutnya diserang kram berat. ”Itu semua aku terima,
tetapi tidak membunuh pikiran-pikiranku,” katanya. ”Mas Radhar meninggalkan banyak hal yang
berharga, terutama tak pernah merasa lelah, apalagi mengeluh…,” kata Nkiss
dengan tenang. Suara perempuan muda yang baru saja ditinggal pergi oleh suami
tercintanya itu terdengar begitu tabah. Apa yang membuatmu jadi begitu tegar? ”Rasa sakit itu mengajarkan Mas Radhar
untuk sabar dan tawakal. Mengapa aku tidak?” katanya. Apa yang kau rasakan kini Nkiss? ”Ada rasa gamang memang, tetapi aku takkan
menyerah,” jawab ibunda dari Nurviva Segunda Putri Dahana (8) itu masih
dengan tegar. Ia buru-buru menambahkan, ia bangga dan kagum kepada suaminya,
karena berhasil melalui masa-masa tersulit dalam hidupnya. Ketika cerita kami sampai pada bagian
Radhar harus menjalani operasi jantung di hari Kamis siang, ketenangan Nkiss
tibat-tiba runtuh. Tangisnya pecah. ”Aku merasa bersalah mengapa mengizinkan
ia vaksinasi, hiks….” Percakapan kami terhenti. Tangis itu pecah kembali ketika Nkiss
mengisahkan bagaimana suaminya seperti ”mengusirnya” pulang seusai operasi
jantung berjalan lancar. ”Dia bilang karena harus rawat inap, aku diminta
pulang siapkan pakaian. Sekalian ajak Viva pulang, ia terlalu kecil berada di
rumah sakit,” tutur Nkiss. ”Dan Mas Radhar minta dibawain kemeja
karena katanya nanti siap-siap akan pergi jauh….” Kesedihan Nkiss benar-benar
tak bisa dibendung. Air matanya tumpah sederas-derasnya. Aku ingin memberinya kata-kata penghiburan
agar ia kembali tabah, sebagaimana yang telah ia tunjukkan selama ini. ”Kamu
perempuan yang paling mengerti tentang suamimu selama ini, kan?” kataku. Di tengah jalan, kata Nkiss, rumah sakit
menelepon bahwa Radhar mengalami masa-masa kritis. Semua itu begitu
tiba-tiba. Padahal, ketika Nkiss beranjak dari rumah sakit, Radhar baru saja
menghabiskan semangkuk mi ayam kesukaannya. Tak lama berselang, telepon kembali
berdering. Kali ini suara seseorang di seberang itu bagai petir yang meledak
di genderang telinga Nkiss. ”Mas Radhar… sudah pergi jauh…,” katanya
terbata-bata. ”Aku… bersalah…, Mas…. Aku bersalah….” Sebagaimana kemudian kau dan aku tahu,
cendekiawan Radhar Panca Dahana pergi untuk selamanya, Kamis (22/4/2021)
pukul 20.00. Kepergian yang tegar, karena ia telah berjuang mempertahankan
nyawanya berpuluh-puluh tahun. Bukan cuma demi hidup, tetapi ia seolah
berkejaran dengan waktu. Tubuhnya boleh tiada, tetapi pikiran-pikirannya
terekam baik untuk menyempurnakan kehidupan bangsanya. Kemudian terngiang-ngiang sajak ”Pulang”
yang ia tulis tahun 1987 silam: ”//hujan
sedari tadi belum berhenti/kenapa merpati terbang sendiri/kuyup basah tidak
perduli/sudah berapa pagi/tak mau juga ia menepi/apa yang kau cari?/kabar
kekasihkah menyertai/atau sekadar ingin kembali?/tahukah kamu, di sini/seumur
hujan ia menanti//”. Puisi itulah yang bergema di atas pusara
penyair, sastrawan, cendekiawan, dan budayawan besar itu ketika kakak
kandungnya, Radhar Tribaskoro, terisak. Suaranya menggaung di Tanah Kusir,
lantas membentur jajaran batu nisan dan pepohonan, sebelum akhirnya
menghilang jadi senyap. Aku tak bisa menghentikan tulisan ini.
Sungguh. Terlalu banyak cerita yang ingin kubagi kepadamu. Terlalu banyak
kenangan, persahabatan, bahkan persaudaraan yang begitu intim, yang sungguh
sulit kutuliskan dalam satu-dua kata saja. Maka, sebagai akhir dari catatan
ini, aku kutipkan penggalan sajak Radhar berjudul ”Perjalanan” yang ia tulis
tahun 1985. ”//Inilah
arti banyak dari perjalanan yang tak mampu kita/hentikan. biang keladi semua
yang tak terelakkan/tak pernah aku percaya jika hanya Tuhan dan kematian/bisa
meluputkan kita darinya…//” Dalam ketakberdayaan tubuhnya, ia telah
memberi terlalu banyak. Selamat jalan batu cadas yang dipapas dengan kapak…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar