Rabu, 14 April 2021

 

Keteguhan Mendidik Orang Miskin

Sidharta Susila ; Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang

                                                         KOMPAS, 14 April 2021

 

 

                                                           

Dalam kehidupan ini, segala aksi bagi orang miskin banyak diapresiasi. Banyak orang begitu bergairah untuk terlibat pada setiap gerakan bagi orang miskin. Apa pun intensinya. Namun, pengalaman kami menunjukkan tak selalu mudah menolong orang miskin. Juga di pendidikan.

 

Biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan orang miskin sering kali tak sebanding dengan hasil yang didapat. Salah satunya dalam bentuk tanggapan sejumlah siswa dan orangtua murid dari keluarga miskin. Untuk satu, sekolah miskin di Jawa dengan murid tak lebih dari 150 orang butuh biaya minimal Rp 500 juta per tahun. Itu pun sudah dibantu dana BOS dari pemerintah.

 

Beberapa bulan lalu kami memulai program pelatihan pengelasan gratis. Targetnya orang muda dari keluarga miskin. Harapannya pada akhir pelatihan minimal mereka telah memiliki keterampilan dan sertifikat untuk mencari kerja atau memulai usaha sendiri. Kami bermimpi melahirkan orang-orang muda yang mandiri dan bangga dengan hidupnya. Untuk program ini, kami bergotong royong mulai dari menghimpun dana, merancang kegiatan, hingga melakukan pelatihan.

 

Sampai pada hari akan dimulai pelatihan, kami hanya mendapatkan seorang pemuda. Maka kami seperti harus menjajakan program gratis untuk orang miskin ini. Akhirnya ada 15 pemuda yang mendaftarkan diri. Dalam perjalanan beberapa pemuda mengundurkan diri. Padahal, untuk pelatihan itu biaya per peserta per minggu Rp 2 juta. Pelatihan itu kami lakukan selama lima minggu.

 

Di beberapa sekolah yang kami kelola, kami berusaha mencarikan donatur bagi siswa dari keluarga miskin. Sering kali siswa dan orangtua tak menunjukkan rasa syukur dan kegairahan atas kemudahan dan anugerah yang diterima dalam bentuk bantuan biaya pendidikan.

 

Di salah satu sekolah kami di Jawa, kami masih harus mengingatkan, mencari, hingga memaksa anak-anak itu untuk segera membubuhkan tanda tangan sebagai tanda terima bantuan yang telah dicairkan. Seolah mereka tak peduli nasibnya dan jerih payah orang lain yang berusaha menolong. Ini juga terjadi di Sumatera dan Kalimantan.

 

Budaya instan

 

Pada realitas itu kami belajar bahwa ada banyak orang miskin yang tak melihat pendidikan sebagai jalan emas untuk mengubah hidupnya. Kecenderungan cara hidup beberapa tahun ini mendidik banyak orang muda tumbuh dalam karakter instan. Prinsip pendidikan seperti tekun dan setia pada proses tak lagi disetiai orang-orang muda.

 

Meski dari keluarga miskin, banyak orang muda yang tak mau bekerja pada jenis pekerjaan fisik. Padahal, ini sering kali perlu dilakukan demi menghemat biaya produksi. Juga perlu ketika modal kerja yang dimiliki hanya sedikit. Ada orang muda yang lebih memilih pekerjaan tak berkotor tangan meski gaji kecil, ketimbang pekerjaan fisik berkotor tangan meski penghasilannya bisa ia tentukan sendiri dan memberi kepuasan batin.

 

Sampai di sini kami belajar, ada sejumlah hal yang perlu diusahakan dalam pendidikan kita. Lebih-lebih bagi orang-orang muda dari keluarga miskin. Pendidik perlu senantiasa menyadari konteks yang menyertai penyelenggaraan pendidikan. Misalnya kecenderungan gaya hidup, konsep kebermaknaan hidup yang terbangun pada peserta didik di zamannya, juga mutu pendidikan di keluarga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar