Sabtu, 17 April 2021

 

Tantangan Penurunan Bunga Kredit

Paul Sutaryono ; Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, dan Mantan Assistant Vice President BNI

KOMPAS, 16 April 2021

 

 

                                                           

Akhirnya, suku bunga dasar kredit (SBDK) bank pemerintah turun setelah Bank Indonesia (BI) menilai bank lamban menurunkan suku bunga kredit. Namun, SBDK itu tak sama dengan suku bunga kredit yang dinikmati nasabah. Mengapa bank lelet menurunkan bunga kredit? Bagaimana menekan suku bunga kredit?

 

SBDK bank pemerintah yang mulai turun meliputi kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, kredit konsumsi berupa kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit konsumsi non-KPR. Bank BTN menjadi juara dalam menurunkan SBDK untuk kredit korporasi sebesar 3 persen, dari 11 persen per Februari 2020 menjadi 8 persen per Februari 2021. Bank pelat merah lainnya, Bank BRI, Bank Mandiri, dan BNI, hanya turun 1,95 persen.

 

Coba simak pula SBDK ritel BTN yang juga turun 3 persen dari 11,25 persen menjadi 8,25 persen, jauh lebih tinggi daripada BRI dan Mandiri 1,65 persen serta BNI 1,70 persen. Kredit mikro Mandiri turun 6,25 persen dari 17,50 persen menjadi 11,25 persen jauh lebih tinggi daripada BRI 3,25 persen, dari 17,25 persen ke 14 persen. Padahal, BRI pemimpin pasar (market leader) kredit mikro.

 

SBDK konsumsi KPR BTN turun paling tinggi, 3,50 persen, dari 10,75 persen ke 7,25 persen, jauh lebih tinggi daripada BNI 3 persen, Mandiri 2,95 persen, dan BRI 2,65 persen. SBDK konsumsi non-KPR BNI unggul dengan penurunan 3,50 persen, disusul BRI 3,25 persen, Mandiri 3,20 persen, dan BTN 3 persen (Kontan, 24/3/2021).

 

Aneka kiat

 

Lantas, bagaimana kiat menekan suku bunga kredit? Pertama, sekali lagi SBDK itu bukan suku bunga kredit seperti persepsi masyarakat luas. SBDK merupakan referensi tingkat bunga yang digunakan bank-bank di banyak negara. Pada awal 2011, BI telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 13/5/DPNP, tanggal 8 Februari 2011, perihal Transparansi Informasi Bunga Dasar Kredit.

 

Aturan ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan transparansi mengenai karakteristik produk perbankan termasuk manfaat, biaya, dan risikonya untuk memberikan kejelasan pada nasabah. Kedua, mengerek good corporate governance dan mendorong persaingan yang sehat di industri perbankan melalui terciptanya disiplin pasar yang lebih baik.

 

Dengan bahasa lebih bening, SBDK merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank. Artinya, SBDK belum memperhitungkan premi risiko nasabah. Contoh, SBDK BTN untuk kredit konsumsi KPR 7,5 persen akan ditambah premi risiko, misalnya 2,5 persen, sehingga menjadi 10 persen.

 

Nah, 10 persen itu disebut suku bunga kredit efektif (effective lending rate) untuk KPR. Premi risiko itu tergantung pada potensi risiko segmen kredit masing-masing, seperti kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, kredit konsumsi KPR, dan kredit konsumsi non-KPR.

 

Kedua, mengapa bank lambat menurunkan SBDK, padahal suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate telah turun 125 basis poin (bps) atau 1,25 persen sejak 2019? Kini suku bunga acuan mencapai 3,5 persen. Transmisi penurunan suku bunga acuan menjadi penurunan SBDK senantiasa lambat, karena bank lebih dulu akan memperhitungkan biaya dana (cost of fund) untuk memperoleh dana ketika suku bunga acuan tinggi.

 

Penurunan SBDK akan diikuti penurunan suku bunga deposito yang kemudian menyetrum penurunan suku bunga kredit. Umumnya, SBDK segera turun tatkala ”disuruh” otoritas seperti kejadian di atas. Namun, masih banyak bank umum lain yang belum menanggapinya.

 

Lucunya, telah terjadi penurunan SBDK yang sama di empat bank BUMN. SBDK korporasi sama-sama menjadi 8 persen, ritel 8,25 persen, KPR 7,25 persen, dan non-KPR 8,75 persen. Hanya SBDK mikro yang berbeda, BRI 14 persen dan Mandiri 11,25 persen. Selama ini BNI dan BTN tak menggarap kredit segmen ini. Sepertinya ada ”komando” dari atas.

 

Ketiga, apakah ada manfaatnya? Ada. Penurunan SBDK bank pemerintah itu baik untuk mendorong bank lain untuk mengikuti. Bila tidak, bank lain akan kalah bersaing. Selain sebagai pemimpin pasar, bank pemerintah juga berperan sebagai agen pembangunan (agent of development). Konsekuensi logisnya, bank BUMN wajib mendukung program pemerintah dalam menggeber kredit untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Apalagi, kini likuiditas bank pemerintah sedang melimpah. Bank pemerintah telah mengucurkan kredit Rp 192,24 triliun kepada 28,91 juta nasabah. Dana itu bersumber dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 695,2 triliun pada 2020. Pada 2021, pemerintah akan menempatkan dana Rp 66,99 triliun kepada perbankan untuk disalurkan kepada dunia usaha terutama UMKM.

 

Keempat, masalahnya, bagaimana menipiskan premi risiko sehingga suku bunga kredit lebih terjangkau (affordable)? Sudah barang tentu, premi risiko tak bisa disamaratakan karena struktur permodalan bank berbeda-beda. Namun regulator, baik BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bisa meneliti semua komponen lebih dalam untuk melahirkan bunga kredit.

 

Sejatinya, SBDK merupakan hasil penghitungan dari tiga komponen, yakni harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit, dan margin keuntungan.

 

Dari ketiga komponen itu, hanya margin keuntungan yang dapat ”dikendalikan” otoritas atau regulator. Itulah tantangan bagi otoritas atau regulator untuk mengendalikan margin profit sehingga suku bunga kredit lebih terjangkau sektor riil.

 

Kelima, semakin tinggi margin profit, akan semakin tinggi pula suku bunga kredit efektif yang dikenakan pada nasabah. Mengapa suku bunga kredit Indonesia cenderung lebih tinggi daripada bank-bank negara lain? Ini karena rata-rata SBDK Indonesia paling tinggi di antara bank-bank di ASEAN ataupun di negara maju.

 

SBDK (di Malaysia disebut base lending rate) Indonesia rata-rata 9,170 persen per tahun per Februari 2021, disusul Filipina 6,542 persen (Desember 2019), Rusia 6,100 persen (Januari 2021), Thailand 5,415 persen (Februari 2021), Singapura 5,250 persen (Februari 2021).

 

Sementara China 4,350 persen (7 April 2021), Malaysia 3,443 persen (Januari 2021), AS 3,250 persen (5 April 2021), Kanada 2,450 persen (Maret 2021), Jerman 1,990 persen (Januari 2021), Jepang 1,475 persen (Maret 2021), dan Italia 1,177 persen (Januari 2021) (Data Bank Negara Malaysia, Januari 2021). Sungguh, itulah tantangan serius bagi regulator untuk mengerdilkan SBDK.

 

Keenam, sesungguhnya ada kiat lain ketika regulator berani mengatur suku bunga kredit efektif dengan menetapkan SBDK plus batas atas premi risiko sekian persen. Langkah itu dapat diterapkan untuk kredit konsumsi KPR dan kredit konsumsi non-KPR. Misalnya SBDK + premi risiko 2 persen untuk suku bunga KPR.

 

Penerapan semacam itu lebih tegas di mata nasabah sehingga juga lebih terjangkau. Hal itu juga untuk menekan premi risiko dan margin keuntungan yang terlalu tinggi.

 

Beban berat BI

 

Ketujuh, sekiranya hal itu tak segera dilakukan, bank akan makin rajin memarkir kelebihan likuiditas ke surat berharga. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK pada 6 April 2021 menunjukkan penempatan dana bank pada Surat Berharga mengalami kenaikan 42,85 persen dari Rp 1.061,09 triliun per Januari 2020 menjadi Rp 1.515,81 triliun per Januari 2021.

 

Ketika semakin banyak dana bank parkir di surat berharga, semakin banyak pula BI harus mengeluarkan biaya moneter berupa biaya bunga. Manakala biaya bunga, katakan setingkat suku bunga acuan 3,5 persen, maka biaya moneter BI akan mencapai Rp 53,05 triliun. Berat! Padahal, surat berharga itu bukan instrumen investasi, melainkan instrumen moneter. Selain itu, BI wajib mengendalikan moneter, menjaga tingkat inflasi, dan mengawal rupiah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar