Kamis, 22 April 2021

 

Ibu Saya Kartini

Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 21 April 2021

 

 

                                                           

Jika dibandingkan Raden Ajeng Kartini, ibu saya bukan siapa-siapa. Ni Nyoman Loten cuma pensiunan guru sekolah dasar, pernah menjalani hidup sebagai petani, kini berdagang kecil-kecilan di pasar desa. Ia lahir tahun 1939, artinya usianya kini sudah mencapai 82 tahun!

 

Harus diakui, ini usia yang sangat sepuh untuk seseorang yang masih terus berjuang dari pukul empat subuh sampai sore hari. Ia akan bersungut-sungut, jalan setapak demi setapak mencapai pasar desa yang jaraknya kira-kira 1 kilometer. Sekitar pukul 10.00 ia sudah kembali ke rumah. Bukan untuk beristirahat, tetapi meneruskan pekerjaannya membuat jajan-jajan khusus untuk upacara.

 

Siang hari ia biasa tidur sejenak, 15-30 menit. Sesudahnya bangkit kembali membuat adonan kue, seperti jaje begine, jaje kaliadrem, atau jaje uli. Semua untuk upacara. Terkadang ia juga berjualan telur yang dibelinya dari para pemasok dari sejumlah daerah.

 

Mungkin karena kesibukannya, ia tak peduli tubuhnya yang kian hari kian bongkok. Tulang belakangnya melengkung ke samping sehingga kalau mengenakan kebaya, tampak tidak simetris.

 

Sehari sebelum Galungan, menantunya, Ratna Sari Dewi, membelikannya baju kebaya warna putih di Denpasar. Ia pikir, mertuanya sudah waktunya berganti kebaya untuk persembahyangan nanti. Ukurannya sudah tepat. Tetapi ia lupa, bahwa tubuh mertuanya yang kian bongkok membutuhkan ukuran pakaian yang benar-benar harus mengikuti bentuk tubuhnya.

 

Alhasil ketika dicoba, kebaya berenda bunga-bunga itu tampak terlalu sempit pada bagian pinggul. Kancingnya jadi terlihat terlalu kencang. ”Saya lupa badan Mbah makin melengkung ke samping. Mungkin karena kebiasaan menggoreng kue di dapur selama berjam-jam,” ujar Ratna.

 

Akhirnya, ibu kembali mengenakan kebaya brokat warna kuning yang dipakainya tahun lalu. ”Pakai yang lama juga ndak apa-apa,” katanya.

 

Saya berpisah dengan ibu tahun 1984, ketika harus melanjutkan pendidikan di Kota Denpasar. Meski setiap saat pulang kampung, terutama jika ada hari raya atau upacara, saya tidak lagi saksama mengikuti perkembangan kesehatan ibu.

 

Secara fisik ia nyaris tak pernah sakit. Ia tipe perempuan pekerja yang tak kenal menyerah, terutama dalam memperjuangkan masa depan anak-anaknya. Kami akhirnya makin berjarak, ketika saya dan keluarga harus memulai tugas di Pulau Jawa tahun 1999. Bahkan tahun 2001, saya mulai bertugas di Jakarta.

 

Perhatian kepada ibu hanya saya lakukan lewat telepon. Kalau kami bertanya tentang kesehatannya, ibu selalu menjawab,”Sehat.” Ia hanya selalu mengingatkan, vitaminnya sudah hampir habis. Dan dengan sigap seperti biasa, menantunya, memesankannya.

 

Ketika kami pulang kampung untuk merayakan Galungan, 14 April 2021 lalu, irama hidup ibu nyaris tak berubah. Hanya pendengarannya yang sudah jauh menurun serta itu tadi, tubuhnya yang kian bongkok seperti ditindih usianya yang makin menua.

 

Saat memandangnya tidur di balai-balai yang kami buat khusus untuk upacara, wajahnya teduh. Gurat-gurat keriput wajahnya seperti penanda bahwa perempuan ini tak kenal lelah, apalagi menyerah.

 

Suatu hari menjelang saya kuliah, ibu datang ke sebuah koperasi guru yang pengelolanya masih bersepupu dengan bapak. Mereka sama-sama guru. Hanya saja, sepupu bapak sekira tahun 1984 itu sudah jadi penilik sekolah.

 

”Kalau kamu kemari pasti mau pinjem uang kan?” kata sepupu itu.

 

Ibu hanya senyum kecil mendengarkan sapaan, yang saya pikir kurang berkenan di hatinya.

 

”Kalau  miskin, tak perlu sekolahkan anak sampai tinggi-tinggi,” tiba-tiba kata sepupu itu lagi.

 

Lagi-lagi ibu hanya senyum. Aku yang mengantarkannya ingin menjawab, tetapi ibu memberi isyarat untuk diam saja.

 

”Saya saja yang sudah jadi penilik sekolah, paling nanti hanya sekolahkan anak di akademi saja. Kuliah tinggi dan jauh hanya habiskan biaya, ya kalau dapat kerja, nanti ujung-ujungnya pengangguran…. Utangmu akan tambah banyak,” katanya. Rasanya sepupu bapak ini jadi semakin tak terkendali.

 

Muka ibu merah padam. Saya yakin ia merasa terhina. Sekali lagi, sebagai seorang guru rendahan dan petani kecil, ibu merasa tak sepadan kalau berdebat dengan sepupu Bapak. Ia hanya buru-buru minta staf administrasi kantor koperasi guru itu membereskan permohonan mengajukan pinjaman uangnya.

 

Saya ingat ibu hanya meminjam uang sebesar Rp 100.000. Sebagian besar akan kami gunakan untuk membayar SPP kuliahku sebesar Rp 63.000, sisanya untuk biaya kamar kos-kosan, buku, dan memulai hidup di Denpasar.

 

Semua pinjaman itu dipotongkan dari gaji ibu, yang belakangan saya tahu sudah minus. Artinya, ibu justru tidak mendapatkan gaji, ia bahkan harus membayar angsuran dari hasil bertanam padi dan palawija di atas tanah garapannya.

 

Kebetulan seorang paman ibu berbaik hati memberi kami sawah garapan. Ibu, bapak, dan saya bahu-membahu mengolah sawah untuk mempertahankan hidup kami.

 

Ketika kami pulang dari kantor koperasi, ibu tak mengatakan apa-apa. Kira-kira seminggu kemudian saat mengantarkan saya mencari rumah kos di Denpasar, ibu bilang, ”Ingat, penghinaan itu adalah kekuatan, penindasan itu adalah bahan bakar.” Waktu itu aku belum memahami sepenuhnya konteks nasihat ibu.

 

Belakangan ketika membaca surat-surat RA Kartini, saya menemukan kutipan ini: ”Belajar pada usia yang matang ada pulalah keuntungannya. Kami sekarang mengerti jauh lebih baik dan memahami segala sesuatunya. Dan banyak hal yang dulu mati sekarang menjadi hidup. Kami tertarik terhadap sangat banyak hal yang dulu tidak kami pedulikan, semata-mata hanyalah karena kami tidak mengerti. Alangkah bahagia kami, apabila sekarang ada seseorang yang dapat menerangkan hal-hal yang sangat menarik itu kepada kami. Guru-guru yang diam itu sekarang harus menjawab semua pertanyaan kami…” (Sulastin Sutrisno, Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya).

 

Saya yakin ibu tahu perihal RA Kartini, tetapi saya tidak yakin dia membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisi himpunan surat-surat Kartini. Surat-surat berbahasa Belanda yang dihimpun oleh JA Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1911 itu, menjadi kesaksian perjuangan Kartini. Lewat surat-surat itu, Pemerintah Hindia Belanda tahu bahwa perempuan juga butuh kesetaraan, terutama dalam soal memperoleh pendidikan.

 

Kartini tidak berteriak, apalagi memanggul bambu runcing untuk berjuang bersama di medan laga. Ia menulis surat kepada orang-orang Belanda, para sahabatnya, untuk mengabarkan penindasan, ketidakdilan, serta perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan di Jawa.

 

Jika surat-surat Kartini kemudian mengubah kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di tanah jajahan, ibu saya tidak menulis surat di atas kertas. Ia menulis surat-surat lewat lelaku hidup. Suatu hari ia katakan, ”bekerja itu cara belajar terbaik”.

 

Meski berprofesi sebagai guru, ia guru dari masa lalu. Bahwa buku teks penting untuk memenuhi target kurikulum, tetapi buku terbaik dalam hidup adalah pengalaman. Jadi, ibu memberi dan mengajarkan pengalaman. Oleh sebab itulah, sejak kecil ia selalu mengajakku ke berbagai tempat dan pekerjaan.

 

Ia yang menyentuhku dengan mengatakan, ”Bapak benar, kamu harus turun ke sawah untuk mengerti tentang padi.” Ia tidak mengatakan itu ajarannya, tetapi senantiasa mengatakan itu permintaan bapak.

 

Pada padi kemudian aku mengerti tentang banyak hal. Padi bukan cuma soal ilmu biologi, tetapi sebuah tradisi yang telah membangun peradaban beribu-ribu tahun. Padi diperlakukan dengan hormat, karena ia telah memberi hidup manusia dari generasi ke generasi.

 

Bahkan dari padanya telah lahir pula, apa yang kau kemudian kenal dengan tradisi agraris, dengan segala turunan pengetahuannya. Jika kau ingin bertanam tentang padi, kau tak cukup hanya mengerti tentang membibit, menanam, merawat, dan memanen, tetapi kau harus paham tentang musim.

 

Artinya, untuk bertanam padi dan mendapatkan hasil yang baik, kau harus mengenal kapan musim hujan dan kapan musim kemarau. Bahkan di desaku, disuratkan dalam lontar kapan hari baik dan kapan hari buruk untuk menanam padi. Jadi, kau juga harus belajar tentang wariga, sebuah ilmu astronomi tradisional yang diwariskan oleh leluhur saya sampai hari ini.

 

Semua itu seperti lembar-lembar surat yang digoreskan ibu ke sekujur tubuh saya. Bahkan kini ketika usianya sudah sangat sepuh, ia masih terus menulis. Ia memang perempuan nekat, yang tak kenal lelah.

 

Satu kutipan yang amat dalam membekas dalam hatiku berbunyi, ”Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin”. Syair itu ditulis dalam Geguritan Salampah Laku karya Ida Pedanda Made Sidemen (1858-1984). Artinya, jika kau tidak memiliki tanah sawah, maka tanamilah dirimu sendiri.

 

Kalimat ini bermakna sangat dalam. Kemiskinan tak dapat mengalahkanmu untuk terus memperoleh pengetahuan. Bahkan jika kau sama sekali tidak memiliki harta apa pun dalam hidupmu, pengetahuan akan memberimu jalan terang untuk menatap kehidupan di depan secara lebih baik.

 

Lagi-lagi saya yakin, ibu tak pernah mendengar nama wiku besar seperti Ida Pedanda Made Sidemen. Ibu cuma seorang pensiunan guru sekolah dasar yang sederhana. Buku bacaannya tidak banyak, cukup buku-buku pelajaran sebagaimana disyaratkan dalam kurikulum. Ia tidak sepandai bapak dalam mengakses pengetahuan lewat lontar-lontar.

 

Namun begitu, laku hidupnya telah menjadi buku tebal yang barangkali tak habis-habisnya saya baca. Setiap saat sampai kini ia masih terus menulis, berjilid-jilid, dan saya menjadi pembaca yang selalu terlambat.

 

Entah kapan saya bisa menuntaskannya. Semoga ia dikarunia usia panjang dan dari padanya saya bisa terus belajar membaca, terus membaca, sampai benar-benar paham menjadi orang baik seperti dirinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar