Sabtu, 24 April 2021

 

Jihad Akbar sebagai Rekonstruksi Kebudayaan

Zacky Khairul Umam ;  Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia

KOMPAS, 23 April 2021

 

 

                                                           

Jamak kita ketahui, Rasulullah Muhammad membedakan dua jenis jihad. Pertama, jihad kecil, yakni peperangan melawan musuh, seperti terwakili melalui Perang Badar. Kedua, jihad akbar, yaitu perjuangan mengendalikan hawa nafsu.

 

Jihad kecil ini, sayangnya, masih bersemayam dalam alam pikiran sebagian umat Muslim. Yang terparah tentu saja adalah pembacaan dan pengamalan kelompok teroris yang mengebom gereja atau tempat ibadah. Harusnya, dalam hukum Islam yang mengikuti panduan Pakta Umar, segala jenis tempat ibadah di bawah lindungan pemerintahan Muslim patut dilindungi, bukan dihancurkan.

 

Itu hukum klasik. Dalam negeri modern saat ini, di mana kewargaan secara normatif menjadi takaran kesetaraan untuk semua pemeluk agama atau kepercayaan tertentu, perlindungan untuk semua warga beserta tempat ibadahnya wajib dilindungi negara. Jika disepadankan saat ini, jihad kecil itu bagian dari tugas negara secara kolektif.

 

Kita tak bisa menyangkal bahwa kategori pengafiran atau takfir melalui berbagai saluran dakwah dan media komunikasi yang dilakukan kelompok ekstremis Muslim cenderung membuat kohesi sosial sesama warga menjadi terkikis, sebab yang dituduh kafir bukan hanya kalangan non-Muslim, yang Muslim dengan langgam pemikiran dan mazhab berbeda pun terus kena dampaknya. Dampak lanjut dari pengafiran ini bisa berujung pada pengenyahan dan kekerasan pada pihak lain.

 

Mengagung-agungkan jihad kecil di tengah negeri berdaulat dan damai, sebetulnya bisa dikategorikan sebagai bughat atau pembangkang. Tapi memang, jihad kecil ini sering berubah secara simbolis menjadi bahasa politik. Dalam bahasa Melayu, ”pembangkang” berarti pihak oposisi, berbeda maknanya dengan bahasa kita.

 

Terkait dengan ini, beberapa waktu lampau, sekelompok pihak menggunakan istilah ’Perang Badar’ semasa pilpres 2019. Bahkan, penyebutan ’partai Allah’ dan ’partai setan’ pun menyeruak di antara kerumunan dan kesadaran politik pihak tertentu. Memenangi kursi presiden dianggap sebagai jihad kecil karena mereka beranggapan bahwa umat Muslim terzalimi.

 

Menganggap bahwa umat Muslim terzalimi cenderung membuat kerdil dimensi luas dan besar dari kebudayaan Muslim di seluruh negeri. Bukan saja hal itu melanggengkan perasaan rendah diri dan minder di kalangan umat Muslim yang mayoritas, melainkan juga membuat demarkasi dan skisma yang efeknya berlarut-larut.

 

Padahal, agenda terpenting untuk menyoroti persoalan ekonomi wong cilik dan kesejahteraan umum perlu diperjuangkan bukan melalui politik perpecahan seperti ini. Karena itu, penting sekali untuk mengurangi dan meminimalkan penggunaan istilah perang suci di dalam pertarungan politik, meskipun menambah dan memperbesar cakupan etika politik yang bisa bersumber dari agama dalam kehidupan sosial-politik kita menjadi suatu kebutuhan utama.

 

Penekanan pada jihad akbar atau jihad yang besar, sebaliknya, perlu dibumikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Secara historis zaman kenabian, ini menandakan suatu fase penting pada ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagai sebuah jihad atau ’perjuangan’ atau ’usaha sungguh-sungguh’ untuk mengendalikan hasrat, hawa nafsu, dan keinginan duniawi yang sesaat.

 

Seusai Perang Badar melawan politik ketidakadilan Quraish yang dianggap Nabi Muhammad sebagai jihad kecil saja, sang Rasul mendeklarasikan bahwa jihad besar itu adalah melawan ego di dalam diri kita sendiri.

 

Arti terdalamnya, dalam makrifat Jawa, ialah kita kembali pada diri kita untuk mengetahui asal-muasal kehidupan: sangkan paraning dumadi. QS Fussilat (Perihal yang Dijelaskan) Ayat 53 sendiri menunjukkan bahwa cakrawala pengetahuan itu juga sumbernya ada di dalam diri, jiwa kita masing-masing, selain dari cakrawala semesta.

 

Jika Nabi menganggap perjuangan untuk mengendalikan hasrat di dalam diri kita sebagai sebuah jihad besar, sabda itu tak terlepas dari kecenderungan manusia untuk terjatuh pada kenistaan yang ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan ketidaksadaran.

 

Pada tiap individu sepanjang sejarah kekuasaan manusia, jihad besar inilah yang sulit dilakukan. Ego cenderung sulit ditaklukkan, sementara manusia dengan kekuasaannya, melalui perangkat politik, seks, dan lainnya cenderung pada sifat penaklukkan pada yang lain.

 

Ada satu pembelajaran penting semasa Kesultanan Mataram di bawah pimpinan adiluhung Sultan Agung Hanyokrokusumo (memimpin 1613-1645). Seusai gagal untuk menaklukkan dan mengusir VOC (Kongsi Dagang Hindia Belanda) di Batavia, Sultan Agung menghilangkan ambisi politik penaklukannya, lalu kembali ke ”diri”. Dalam alam pikiran sang sultan, satu-satunya yang tidak boleh kalah dalam kedirian Jawa dan sekaligus Muslim ialah kedigdayaan dalam mengembangkan jati diri.

 

Seusai memperdalam ilmu tasawuf, ia menulis berbagai kitab kanonik yang bersumber dari falsafah Jawa dan makrifat Islam yang mengadopsi berbagai cerita universal keislaman pada masa itu. Ia juga menciptakan seni dan mendorong pengembangan astrologi dan astronomi sehingga mengubah kalender Saka dengan panduan almanak hijriah berdasarkan peredaran bulan.

 

Sultan Agung adalah figur politik penting dalam mendefinisikan kebudayaan Jawa-Islam yang bertahan hingga ratusan tahun kemudian, mungkin setaraf atau bahkan lebih berpengaruh secara politik ketimbang peran Sunan Kalijaga di dalam Kesultanan Demak. Bagi Sultan Agung, satu-satunya yang tidak boleh kalah dari penjajah ialah harga diri dan kebudayaan kolektif.

 

Tidak berlebihan jika sejarawan Australia, Merle C Ricklefs (2006), menganggap apa yang dilakukan Sultan Agung sebagai jihad akbar, sebab posisi dan agensi uniknya sebagai seorang raja-pejuang sekaligus seorang mistikus Sufi yang mampu menaklukkan nafsu duniawi. Di sinilah ”sintesis mistik”—bahasa Ricklefs—terbentuk dan mampu memberikan panduan berarti bagi sebuah kebudayaan Muslim di tanah Jawa.

 

Melalui teladan Sultan Agung itu, jihad akbar lebih daripada sekadar upaya individual, tetapi juga bagian penting dari upaya komunal untuk bertahan bahkan menang di tengah perkembangan zaman dengan cara mempertanyakan diri, mendefinisikan ulang visi dan tujuan sosial kita, serta mengembangkan panduan untuk masa depan generasi mendatang.

 

Jihad akbar ini, karena itu, sangat berat karena melibatkan fungsi spiritual, intelektual, sekaligus kekuatan sosial kita untuk mempertanyakan diri. Sikap defensif dan penggunaan fisik cenderung gampang diluapkan dalam merespons orang lain atau perbedaan, tetapi tidak demikian dengan optimalisasi kejiwaan kita.

 

Pada masa yang serbacepat saat ini, merumuskan strategi kebudayaan kolektif bagaikan berenang melawan arus, seperti yang dilakukan beberapa kelompok minoritas kreatif di negeri ini. Tapi bukan berarti itu tidak mungkin.

 

Kemungkinan selalu ada, tinggal seberapa tahankah kita dalam berusaha dan bersungguh-sungguh, yakni arti dasar dari ’jihad’ itu sendiri. Bayangkan, jika jihad akbar untuk rekonstruksi kebudayaan kita ditopang oleh kuasa kapital dan politik yang memihak, akan sehebat apa umat Muslim atau bahkan bangsa ini pada umumnya dua hingga tiga generasi mendatang? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar