Jihad
Akbar sebagai Rekonstruksi Kebudayaan Zacky Khairul Umam ; Wakil Kepala
Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia |
KOMPAS, 23 April 2021
Jamak kita ketahui, Rasulullah Muhammad
membedakan dua jenis jihad. Pertama, jihad kecil, yakni peperangan melawan
musuh, seperti terwakili melalui Perang Badar. Kedua, jihad akbar, yaitu
perjuangan mengendalikan hawa nafsu. Jihad kecil ini, sayangnya, masih bersemayam
dalam alam pikiran sebagian umat Muslim. Yang terparah tentu saja adalah
pembacaan dan pengamalan kelompok teroris yang mengebom gereja atau tempat
ibadah. Harusnya, dalam hukum Islam yang mengikuti panduan Pakta Umar, segala
jenis tempat ibadah di bawah lindungan pemerintahan Muslim patut dilindungi,
bukan dihancurkan. Itu hukum klasik. Dalam negeri modern saat
ini, di mana kewargaan secara normatif menjadi takaran kesetaraan untuk semua
pemeluk agama atau kepercayaan tertentu, perlindungan untuk semua warga
beserta tempat ibadahnya wajib dilindungi negara. Jika disepadankan saat ini,
jihad kecil itu bagian dari tugas negara secara kolektif. Kita tak bisa menyangkal bahwa kategori
pengafiran atau takfir melalui berbagai saluran dakwah dan media komunikasi
yang dilakukan kelompok ekstremis Muslim cenderung membuat kohesi sosial
sesama warga menjadi terkikis, sebab yang dituduh kafir bukan hanya kalangan
non-Muslim, yang Muslim dengan langgam pemikiran dan mazhab berbeda pun terus
kena dampaknya. Dampak lanjut dari pengafiran ini bisa berujung pada
pengenyahan dan kekerasan pada pihak lain. Mengagung-agungkan jihad kecil di tengah
negeri berdaulat dan damai, sebetulnya bisa dikategorikan sebagai bughat atau
pembangkang. Tapi memang, jihad kecil ini sering berubah secara simbolis
menjadi bahasa politik. Dalam bahasa Melayu, ”pembangkang” berarti pihak
oposisi, berbeda maknanya dengan bahasa kita. Terkait dengan ini, beberapa waktu lampau,
sekelompok pihak menggunakan istilah ’Perang Badar’ semasa pilpres 2019.
Bahkan, penyebutan ’partai Allah’ dan ’partai setan’ pun menyeruak di antara
kerumunan dan kesadaran politik pihak tertentu. Memenangi kursi presiden
dianggap sebagai jihad kecil karena mereka beranggapan bahwa umat Muslim
terzalimi. Menganggap bahwa umat Muslim terzalimi
cenderung membuat kerdil dimensi luas dan besar dari kebudayaan Muslim di
seluruh negeri. Bukan saja hal itu melanggengkan perasaan rendah diri dan
minder di kalangan umat Muslim yang mayoritas, melainkan juga membuat demarkasi
dan skisma yang efeknya berlarut-larut. Padahal, agenda terpenting untuk menyoroti
persoalan ekonomi wong cilik dan kesejahteraan umum perlu diperjuangkan bukan
melalui politik perpecahan seperti ini. Karena itu, penting sekali untuk
mengurangi dan meminimalkan penggunaan istilah perang suci di dalam
pertarungan politik, meskipun menambah dan memperbesar cakupan etika politik
yang bisa bersumber dari agama dalam kehidupan sosial-politik kita menjadi
suatu kebutuhan utama. Penekanan pada jihad akbar atau jihad yang
besar, sebaliknya, perlu dibumikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Secara
historis zaman kenabian, ini menandakan suatu fase penting pada ibadah puasa
di bulan Ramadhan, sebagai sebuah jihad atau ’perjuangan’ atau ’usaha
sungguh-sungguh’ untuk mengendalikan hasrat, hawa nafsu, dan keinginan
duniawi yang sesaat. Seusai Perang Badar melawan politik
ketidakadilan Quraish yang dianggap Nabi Muhammad sebagai jihad kecil saja,
sang Rasul mendeklarasikan bahwa jihad besar itu adalah melawan ego di dalam
diri kita sendiri. Arti terdalamnya, dalam makrifat Jawa,
ialah kita kembali pada diri kita untuk mengetahui asal-muasal kehidupan:
sangkan paraning dumadi. QS Fussilat (Perihal yang Dijelaskan) Ayat 53
sendiri menunjukkan bahwa cakrawala pengetahuan itu juga sumbernya ada di
dalam diri, jiwa kita masing-masing, selain dari cakrawala semesta. Jika Nabi menganggap perjuangan untuk
mengendalikan hasrat di dalam diri kita sebagai sebuah jihad besar, sabda itu
tak terlepas dari kecenderungan manusia untuk terjatuh pada kenistaan yang
ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan ketidaksadaran. Pada tiap individu sepanjang sejarah
kekuasaan manusia, jihad besar inilah yang sulit dilakukan. Ego cenderung
sulit ditaklukkan, sementara manusia dengan kekuasaannya, melalui perangkat
politik, seks, dan lainnya cenderung pada sifat penaklukkan pada yang lain. Ada satu pembelajaran penting semasa
Kesultanan Mataram di bawah pimpinan adiluhung Sultan Agung Hanyokrokusumo
(memimpin 1613-1645). Seusai gagal untuk menaklukkan dan mengusir VOC (Kongsi
Dagang Hindia Belanda) di Batavia, Sultan Agung menghilangkan ambisi politik
penaklukannya, lalu kembali ke ”diri”. Dalam alam pikiran sang sultan,
satu-satunya yang tidak boleh kalah dalam kedirian Jawa dan sekaligus Muslim
ialah kedigdayaan dalam mengembangkan jati diri. Seusai memperdalam ilmu tasawuf, ia menulis
berbagai kitab kanonik yang bersumber dari falsafah Jawa dan makrifat Islam
yang mengadopsi berbagai cerita universal keislaman pada masa itu. Ia juga
menciptakan seni dan mendorong pengembangan astrologi dan astronomi sehingga
mengubah kalender Saka dengan panduan almanak hijriah berdasarkan peredaran
bulan. Sultan Agung adalah figur politik penting
dalam mendefinisikan kebudayaan Jawa-Islam yang bertahan hingga ratusan tahun
kemudian, mungkin setaraf atau bahkan lebih berpengaruh secara politik
ketimbang peran Sunan Kalijaga di dalam Kesultanan Demak. Bagi Sultan Agung,
satu-satunya yang tidak boleh kalah dari penjajah ialah harga diri dan
kebudayaan kolektif. Tidak berlebihan jika sejarawan Australia,
Merle C Ricklefs (2006), menganggap apa yang dilakukan Sultan Agung sebagai
jihad akbar, sebab posisi dan agensi uniknya sebagai seorang raja-pejuang
sekaligus seorang mistikus Sufi yang mampu menaklukkan nafsu duniawi. Di
sinilah ”sintesis mistik”—bahasa Ricklefs—terbentuk dan mampu memberikan
panduan berarti bagi sebuah kebudayaan Muslim di tanah Jawa. Melalui teladan Sultan Agung itu, jihad
akbar lebih daripada sekadar upaya individual, tetapi juga bagian penting
dari upaya komunal untuk bertahan bahkan menang di tengah perkembangan zaman
dengan cara mempertanyakan diri, mendefinisikan ulang visi dan tujuan sosial
kita, serta mengembangkan panduan untuk masa depan generasi mendatang. Jihad akbar ini, karena itu, sangat berat
karena melibatkan fungsi spiritual, intelektual, sekaligus kekuatan sosial
kita untuk mempertanyakan diri. Sikap defensif dan penggunaan fisik cenderung
gampang diluapkan dalam merespons orang lain atau perbedaan, tetapi tidak
demikian dengan optimalisasi kejiwaan kita. Pada masa yang serbacepat saat ini,
merumuskan strategi kebudayaan kolektif bagaikan berenang melawan arus,
seperti yang dilakukan beberapa kelompok minoritas kreatif di negeri ini.
Tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Kemungkinan selalu ada, tinggal seberapa
tahankah kita dalam berusaha dan bersungguh-sungguh, yakni arti dasar dari
’jihad’ itu sendiri. Bayangkan, jika jihad akbar untuk rekonstruksi
kebudayaan kita ditopang oleh kuasa kapital dan politik yang memihak, akan
sehebat apa umat Muslim atau bahkan bangsa ini pada umumnya dua hingga tiga
generasi mendatang? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar