Mengapa
Pernikahan di Usia Anak Ditentang? Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan
Kompas |
KOMPAS, 20 April 2021
Di saat negara berjuang meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dan menaikkan martabat kaum perempuan, masih ada
sebagian masyarakat yang justru mengampanyekan pernikahan muda di usia anak.
Alasan agama, ekonomi, kemauan anak, hingga kehamilan tak diinginkan sering
dijadikan tameng atas ketidakmampuan melindungi anak dari risiko perkawinan
anak. Kemunculan kelompok yang mengampanyekan
pernikahan anak di usia 12 tahun melalui media sosial pada Februari 2021
menjadi tamparan bagi pemerintah dan masyarakat. Pada 2018, ada 1,22 juta
perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum mereka berusia 18 tahun. Sementara itu, pada 2020, Badan Pusat
Statistik (BPS) menyebut 3 dari 10 perempuan berumur kurang dari 30 tahun
menikah pada umur kurang dari 18 tahun. Jumlah perempuan yang menikah pada
usia anak itu lima kali lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki yang kawin
di usia anak. Pandemi yang membuat ekonomi masyarakat
menurun juga membuat jumlah perkawinan di usia anak melonjak. Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung menyebut ada 64.000 permohonan dispensasi nikah yang
masuk ke pengadilan agama pada 2020. Jumlah itu naik 257 persen dibandingkan
permohonan dispensasi nikah pada 2019. Tingginya perkawinan di usia anak itu
sejalan dengan masih tingginya jumlah anak perempuan yang hamil dan
melahirkan. BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan ada
3.000 anak perempuan usia 10-14 tahun yang sudah melahirkan pada 2015.
Sementara 36 dari 1.000 perempuan usia 15-19 sudah melahirkan pada 2017. Meski median usia kawin pertama perempuan
sudah mencapai 21,8 tahun (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2017)
dan ada undang-undang yang membatasi usia minimal perkawinan 19 tahun,
nyatanya masih ada orang yang ingin menikahkan anaknya di usia anak dan
remaja. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) memang terus mendorong pendewasaan usia perkawinan, yaitu 21
tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Namun, nyatanya masih ada
kelompok sasaran yang tertinggal dari jangkauan pembangunan pemerintah. Sebagian kelompok yang aktif mengampanyekan
perkawinan usia anak ini bukanlah generasi lama yang tak tersentuh informasi
modern. Banyak di antara mereka justru berasal dari kelompok millenial dan
generasi Z yang melek teknologi, kaya informasi, tetapi memegang teguh
nilai-nilai konservatif yang diajarkan oleh generasi sebelumnya. Kehadiran kelompok pro-pernikahan usia anak
itu itu juga sejalan dengan munculnya kelompok yang mengampanyekan jumlah
anak sebanyak-banyaknya yang menguat sejak gerakan keluarga berencana
mengendur pasca-Reformasi 1998. Mereka juga bukanlah kelompok yang tak tahu
tentang risiko kesehatan karena nyatanya banyak di antara mereka justru kaum
terpelajar. Situasi itulah yang harus segera diatasi
bersama pemerintah dan masyarakat. Meski jumlah mereka yang mendukung
pernikahan anak ataupun menginginkan anak sebanyak-banyaknya tidak lebih
besar dari yang menolaknya, tetapi keaktifan mereka menyebarkan keyakinannya
bisa memengaruhi banyak orang. Kesehatan
fisik Kepala BKKBN Hasto Wardoyo yang memprotes
munculnya kampanye provokatif pernikahan usia anak pada 11 Februari 2021
telah mengingatkan besarnya dampak pernikahan di usia anak. Menstruasi
pertama anak perempuan rata-rata memang terjadi pada umur 12 tahun, tetapi
bukan berarti setelah menstruasi pertumbuhan anak menjadi terhenti. ”Saat anak hamil dan melahirkan, sejumlah
masalah sudah menghadang,” katanya. Secara hukum di Indonesia, umumnya hanya
mengenal istilah anak dan dewasa dengan batas usia anak adalah 18 tahun.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
menyebut orang berumur 16-30 tahun sebagai pemuda. Namun, secara kesehatan dan psikologis,
umur 12 tahun dimasukkan sebagai remaja, fase transisi dari anak-anak menjadi
dewasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan penduduk umur 10-24 tahun
sebagai orang muda dengan pembagian umur 10-19 tahun sebagai remaja
(adolescent) dan umur 15-24 tahun sebagai pemuda (youth). Ketika seorang anak perempuan hamil, maka
nutrisi yang sebenarnya dia butuhkan untuk menopang proses pertumbuhannya
harus dibagi dengan janin yang dikandung. Kondisi ini membuat pertumbuhan
tulang anak yang sudah menjadi ibu itu terganggu hingga dia menjadi lebih
pendek dan rentan mengalami pengeroposan tulang atau osteoporosis pada usia
lebih dini. Di sisi lain, posisi mulut rahim pada anak
perempuan masih berada di luar tubuh. Mulut rahim ini, kata Hasto, akan masuk
ke dalam tubuh saat anak perempuan menginjak usia 20-an tahun. Hubungan
seksual dengan posisi mulut rahim di luar tubuh itu akan membuat anak
perempuan berisiko lebih tinggi mengalami kanker leher rahim (serviks). Saat anak perempuan itu melahirkan, maka
risiko terjadinya gangguan persalinan sangat besar. Karena masih dalam masa
pertumbuhan, ukuran panggul anak perempuan belum cukup untuk dilalui kepala
bayi. Akibatnya, anak yang melakukan persalinan itu rentan mengalami
cephalopelvic disproportion (CPD) atau ketidaksesuaian ukuran kepala bayi
dengan panggul ibu. CPD bisa membuat kepala bayi tertekan
hingga memicu perdarahan otak bayi. Proses persalinan yang lama akibat
macetnya jalan kepala bayi bisa menyebabkan gawat janin atau bayi kekurangan
oksigen. Bagi sang ibu, CPD bisa menimbulkan sejumlah komplikasi persalinan
normal, seperti robeknya mulut rahim hingga perdarahan berat yang memicu
kematian. Selain itu, risiko preeklamsia atau
keracunan kehamilan juga menjadi lebih besar pada ibu yang saat hamil usianya
kurang dari 20 tahun. Kondisi ini bisa menyebabkan kaki ibu bengkak, tekanan
darah naik, kejang, hingga meninggal. Berbagai situasi itu menempatkan anak perempuan
dalam risiko kesehatan yang mengancam nyawanya. Data International Women’s
Health Coalition menyebut anak perempuan yang melahirkan pada usia kurang
dari 15 tahun memiliki risiko kehamilan lima kali lebih besar dibanding
perempuan yang melahirkan di usia 20 tahun. Bahaya pernikahan anak bukan hanya terjadi
untuk ibunya, tetapi juga bayi yang dikandungnya. Karena nutrisi yang
dimiliki ibu harus dibagi antara ibu yang masih dalam masa pertumbuhan dan
janinnya, maka bayi yang dikandung berisiko mengalami tengkes (stunting) atau
kekurangan nutrisi sejak dini. Janin-janin itu pun berpeluang lahir dengan
berat yang rendah, mengalami berbagai gangguan, hingga kematian. Bahkan, 60
persen bayi yang lahir dari ibu yang masih anak akan meninggal saat mereka
berusia satu tahun dibandingkan ibu yang melahikran pada usia 19 tahun. Otak
dan mental emosional Sebagai fase transisi pertumbuhan, remaja
memiliki karakter yang berbeda dengan anak-anak dan orang dewasa. Pada fase
ini, fisik, kognitif, dan mental emosional mereka sedang berkembang pesat.
Hubungan seks pada usia remaja, baik dalam ikatan pernikahan maupun tidak,
bisa memengaruhi suasana hati dan perkembangan otak mereka hingga dewasa. Remaja masa kini tentu berbeda dengan
remaja beberapa dekade lalu, apalagi berabad-abad silam. Akses informasi yang
gampang membuat kemampuan kognitif remaja masa kini jauh lebih maju dibanding
remaja seusia mereka di masa lalu. Gizi yang semakin baik juga membuat
kematangan seksual atau pubertas mereka terjadi pada usia yang makin muda. Namun, remaja sekarang butuh waktu lebih
lama untuk dewasa alias menjadi manusia yang memiliki kematangan mental
emosional dan psikososial. Jika di masa lalu umur 18-20 tahun sudah dianggap
dewasa, kini kedewasaan umumnya dicapai saat seseorang berumur 18-25 tahun,
khususnya di negara maju atau perkotaan. Saat berhubungan seksual, otak mengeluarkan
hormon oksitosin dan vasopresin yang memunculkan ikatan di antara pasangan
seksual. Pelepasan oksitosin itu membuat perempuan percaya pada pasangannya.
Namun, pelepasan oksitosin juga akan menurunkan fungsi otak bagian depan yang
disebut korteks prefrontal. ”Penurunan fungsi korteks prefrontal itu
justru terjadi saat korteks prefrontal remaja belum matang,” kata psikolog
klinis dan peneliti hubungan romantis di Universitas Bina Nusantara Jakarta,
Pingkan CB Rumondor, seperti dikutip Kompas, 25 Juni 2015. Padahal, korteks
prefrontal berperan dalam penilaian, pertimbangan moral, perancangan moral,
dan pemikiran rasional yang biasanya baru matang di umur 23-25 tahun. Namun, kematangan korteks prefrontal memang
tidak hanya didasarkan atas usia, tetapi juga dipengaruhi pengalaman hidup
dan lingkungan seseorang. Kondisi itu membuat ada sebagian orang yang matang
emosional dan psikososialnya walau berusia kurang dari 20 tahun atau
sebaliknya. Belum matangnya korteks prefrontal membuat
hubungan seksual pada remaja bukan didasarkan atas tanggung jawab atau nilai.
”Sekadar memenuhi hasrat dan pemuasan nafsu saja,” tambah ahli neurosains dan
perilaku sosial yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Taufiq Pasiak. Selain itu, hubungan seksual juga akan
memengaruhi kadar hormon yang bertanggung jawab atas rasa senang di otak,
yaitu dopamin. Saat persetubuhan terjadi, dopamin di nukleus akumbens, pusat
penghargaan di otak, akan turun. Namun, saat bersamaan, dopamin di korteks
prefrontal justru akan meningkat. Turunnya dopamin di nukleus akumbens akan
mendorong remaja untuk mencari lebih banyak stimulus dan kegembiraan hingga
dia mencapai tingkat kesenangan tertentu. Konsekuensinya, remaja akan mencoba
hal-hal berisiko guna memenuhi rasa senangnya hingga remaja rentan
berganti-ganti pasangan seksual. Sementara naiknya dopamin di korteks
prefrontal rentan membuat remaja kecanduan seks. Dopamin adalah hormon yang
berperan dalam berbagai perilaku adiktif, termasuk soal pengalaman seksual.
Padahal, menurut Hallfors DD dan rekan di American Journal of Preventive
Medicine, Oktober 2014, remaja dengan perilaku adiktif, pemakaian obat
terlarang atau hubungan seks dini, rentan depresi dan bunuh diri. Pingkan menambahkan, seks usia remaja dalam
ikatan pernikahan atau tidak sama-sama berisiko secara psikologis. Seks di
luar nikah rentan memunculkan kecemasan karena takut hamil, tertular penyakit
seksual, menyesal, dan mudah curiga pada pasangan. Dalam jangka panjang,
kecemasan itu bisa memicu depresi dan memengaruhi suasana hati (mood). Bagi remaja yang menikah, risiko psikologis
yang mereka hadapi lebih kompleks, baik terkait masalah diri, pasangan,
keluarga, maupun lingkungan. Siapa pun yang menikah harus menghitung matang
faktor psikososial akibat terbentuknya rumah tangga. Beban ini sulit
ditanggung oleh remaja yang otaknya belum matang. Ada banyak hal yang harus disiapkan calon
pengantin, mulai cara berkomunikasi dengan pasangan, mekanisme mengatasi
masalah rumah tangga, mengatur keuangan, hingga merencanakan rumah tangga
yang diinginkan bersama. ”Isi rumah tangga itu bukan hanya soal hubungan
seksual. Perkawinan menuntut tanggung jawab jauh lebih besar,” kata Taufiq. Sosial
ekonomi Sebagian kalangan menganggap perkawinan
anak menjadi solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga dan melepaskan
bayang-bayang kemiskinan keluarga. Nyatanya, pernikahan di usia anak justru
lebih sering melanggengkan kemiskinan. Pendidikan yang rendah dan terbatasnya
keterampilan yang dimiliki akibat putus sekolah membuat pilihan kerja yang
bisa mereka gapai terbatas. Demikian pula penghasilan yang dapat mereka
peroleh. Akibatnya, banyak remaja yang menikah masih
menggantungkan ekonomi keluarga barunya pada orangtua. Alih-alih mengurangi
beban keluarga, pernikahan anak sering kali justru menambah beban orangtua,
terlebih jika mereka sudah memiliki anak. Beban terbesar dari perkawinan anak ini
akan ditanggung oleh perempuan alias ibu muda. Banyak ibu muda tidak siap
menjadi ibu. Jika urusan domestik bisa diwakilkan pada orang lain, tetapi ada
tugas-tugas ibu yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, seperti
melahirkan atau menyusui. Semua beban itu, jika tidak mampu ditanggung ibu,
membuat ibu berisiko lebih besar mengalami depresi pasca-persalinan
(postpartum depression). Belum lagi, secara budaya ibulah yang
dituntut lebih besar untuk mengasuh dan mendidik anak. Namun, rendahnya
keterampilan mereka sebagai ibu akibat tidak pernah dipersiapkan secara
matang menjadi ibu di usia yang masih dini membuat mereka berisiko menghadapi
berbagai persoalan hidup yang suilit mereka tanggung. Psikolog anak dan keluarga di Klinik
Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, Senin
(19/4/2021), mengatakan, orangtua yang masih berusia anak itu umumnya sulit
bergaul dengan orangtua lainnya karena merasa masih anak-anak dengan pola
pikir yang berbeda dengan orangtua pada umumnya. Namun, ketika mereka bergaul dengan rekan
sebayanya yang masih banyak bergaul dan sekolah atau kuliah sesuai
perkembangan psikologi usia remaja mereka, ikatan di antara mereka juga sudah
berbeda. Bagaimanapun, anak yang sudah menjadi orangtua memiliki pola pikir
dan tanggung jawab berbeda dibandingkan rekannya yang belum menikah. Kesulitan orangtua berusia anak itu bergaul
membuat sistem dukungan sosial yang mereka miliki menjadi sangat terbatas.
Akibatnya, mereka sulit mendapat pertolongan atau bantuan dari orang lain
saat menghadapi masalah. Konsekuensinya, hidup yang mereka jalani akan
mengalami tekanan yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang menikah di
usia dewasa. Situasi yang berlangsung pun makin sulit.
”Orangtua berusia anak belum memiliki emosi yang matang, kondisi psikologis
mereka masih sangat labil hingga kemampuan mereka mengambil keputusan masih
sangat lemah,” kata Anna. Akibatnya, putusan yang diambil seringkali justru
membawa mereka dalam rentetan persoalan baru bagi diri mereka dan
keluarganya. Semua masalah itu membuat orangtua berusia
anak lebih mudah mengalami stres, cemas, depresi, panik, hingga berbagai
gangguan psikologi lain yang berdampak panjang bagi kehidupan mereka dan
keluarga yang dibangunnya. Belum lagi, risiko perceraian pun makin tinggi
hingga membawa berbagai persoalan sosial dan ekonomi yang lebih berat bagi
keluarga yang lebih luas dan juga bangsa. Karena itu, perkawinan di usia anak harus
ditekan semaksimal mungkin. Alasan budaya tidak bisa digunakan untuk
melanggengkan kebodohan, kemiskinan, dan rendahnya kesejahteraan pada anak
bangsa. Hanya pada anak muda yang sehat jiwa raga
serta tinggi produktivitasnyalah kemajuan bangsa ini digantungkan. Semua itu
tidak mungkin dibebankan pada anak remaja yang sudah terlilit persoalan
pernikahan dini. Kemajuan itu juga harus bisa dirasakan
semua orang. Tidak boleh ada satu pun anak bangsa boleh tertinggal dari
capaian pembangunan seperti yang dicita-citakan dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) 2030, termasuk akibat jeratan masalah perkawinan usia
anak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar