Jumat, 30 April 2021

 

Tantangan Pengembalian Aset Luar Negeri Perkara BLBI

Alvin Nicola ;  Peneliti Transparency International Indonesia

KOMPAS, 29 April 2021

 

 

                                                           

Keraguan publik terhadap kemampuan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI dalam menagih aset Rp 110 triliun yang berada di tangan 48 obligor, terutama aset-aset yang telah berpindah tangan ke luar negeri, sesungguhnya sangat wajar. Pesimisme ini mengingat tim yang dibentuk pemerintah awal April itu tak dilengkapi dengan senjata pengembalian aset yang kuat dan efektif.

 

Terlebih hingga saat ini pemerintah lebih banyak mengumpulkan cerita kegagalan dalam perampasan aset negara yang berada di yurisdiksi asing.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat hanya berhasil satu kali mengembalikan aset dari luar negeri, yaitu dalam kasus suap eks Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini sebesar 200.000 dollar Singapura. Dalam kasus lain pun, perbedaan antara nilai aset yang dilarikan dan aset yang telah disita sangat mencolok.

 

Penyebab kegagalan

 

Hambatan regulasi dan minimnya kapasitas penegak hukum sungguh terlihat. Kegagalan ini, misalnya, tecermin di dalam kasus terpidana kredit macet Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara, Eduardus Cornelis William Neloe.

 

Pemerintah pada awalnya telah berhasil meminta Swiss membekukan aset Neloe sebesar 5,2 juta dollar AS di bank Swiss sebelum akhirnya kembali dibuka di Deutsche Bank.

 

Proses pengembalian aset terdakwa kasus pembobolan uang tunai BNI 46 senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa, mengalami nasib serupa. Polri dan Kejaksaan Agung hanya berhasil menyita uang Rp 134 miliar milik Maria.

 

Fakta-fakta ini, sayangnya, tak direspons pemerintah dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA). Padahal, kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan berhasil tidaknya suatu upaya pengembalian aset, terutama yang di luar negeri.

 

Pemerintah justru terkesan sangat naif karena hanya mengandalkan itikad baik antarnegara melalui skema bantuan hukum timbal balik atau hubungan antaragen. Padahal, dengan pengesahan RUU PA, penegak hukum akan tak lagi bergantung pada kehadiran pelaku korupsi di Indonesia. Aset para buron yang berasal dari korupsi pun tetap akan dapat disita di pengadilan.

 

Alasan lebih mendesak, yaitu pengaturan kerja sama antarnegara dalam pengembalian aset pada Pasal 53 Konvensi Antikorupsi (UNCAC) yang mengatur penggunaan instrumen gugatan perdata, juga terbatas pada pembekuan dan penyitaan. Adapun pengembalian aset tetap butuh payung hukum nasional yang kuat.

 

Ketiadaan regulasi perampasan aset ini hanya akan menambah kerumitan kerja-kerja Satgas BLBI. Hal ini karena, pertama, ditempuhnya langkah gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara pun tak mengurangi kesulitan untuk membuktikan aset para koruptor yang kerap kali telah berpindah tangan, bahkan berasimilasi melalui pencucian uang.

 

Terlebih subyek pengambilalihan di skema gugat perdata adalah asetnya sendiri (in rem) sehingga penegak hukum harus menjelaskan status kepemilikan aset yang akan dirampas.

 

Pemerintah hingga saat ini juga enggan memaksimalkan prinsip litigasi-multiyurisdiksi. Padahal, pengembalian aset yang diatur di dalam UNCAC tak dapat dilepaskan dari prinsip ini. Selama ini pemerintah sedikit menggunakan pendekatan ini karena secara faktual memang tak banyak negara yang memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, selain juga butuh biaya mahal.

 

Dalam hal ini, akan sangat sulit bagi satgas untuk menilai, membuktikan, dan menjaga nilai aset yang berada di luar negeri agar tidak mengalami penurunan. Satgas perlu segera menindaklanjuti penyidikan KPK selama ini dengan data mengenai pemeliharaan aset, keuntungan, serta kerugiannya, lalu menghitung aset yang tidak memerlukan banyak biaya untuk menjadi prioritas utama.

 

Kedua, sesuai ketentuan-ketentuan UNCAC, proses pengembalian aset dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme, seperti kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal balik, dan penelusuran aset melalui perbankan negara lain. Sayangnya, skema-skema di atas kerap terbentur akibat perbedaan sistem hukum antarnegara.

 

Contoh, otoritas Hong Kong pernah menolak upaya pengembalian aset Bank Century dengan terpidana Robert Tantular senilai sekitar Rp 6 triliun pada 2011. Ini karena otoritas Hong Kong menganggap persidangan in absentia yang digelar di Indonesia tak memenuhi kaidah due process of law, sementara UU Tipikor mengakomodasi persidangan itu.

 

Hambatan ini sesungguhnya bisa direduksi melalui prosedur mutual assistance request (MAR) sesuai UU No 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Ini memungkinkan terjadi proses permohonan bantuan hukum dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu, terutama negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi.

 

Adanya perjanjian hukum timbal balik ini sangat penting untuk melampaui keterbatasan hukum antaryurisdiksi. Memang benar satgas dapat menempuh kerja sama dengan kepolisian otoritas negara setempat, baik formal maupun tidak. Namun, proses pengembalian aset tetap harus melalui permohonan formal bantuan hukum timbal balik guna menghindari perbenturan dengan aturan hukum acara negara setempat.

 

Ketiga, pemerintah kerap tak efektif menggunakan perjanjian MLA yang ada meskipun telah menjadi negara pihak dalam lima perjanjian multilateral yang mengatur ketentuan terkait pengembalian aset dan telah meratifikasi enam perjanjian bilateral di bidang bantuan hukum timbal balik.

 

Pengesahan UU MLA dengan Swiss pada 2020 merupakan kesepakatan ke-10 yang ditandatangani pemerintah menyusul kesepakatan dengan negara-negara anggota ASEAN, Australia, Hong Kong, China, Korea Selatan, India, Vietnam, dan Uni Emirat Arab.

 

Sayangnya, keberadaan perjanjian-perjanjian ini tak signifikan ketika penegak hukum domestik gagal menggunakannya secara efektif. Misalnya, otoritas Inggris pernah membekukan rekening bank berisi 40,6 juta dollar AS yang dimiliki perusahaan investasi Tommy Soeharto, Garnet Investments, dengan alasan kecurigaan dana itu berasal dari korupsi. Meski demikian, penegak hukum Indonesia tidak pernah mendakwa Tommy melakukan korupsi sehingga pada akhirnya kembali dicabut pada 2011.

 

Opsi pemulihan aset

 

Dengan demikian, terlepas dari segala kontroversi dalam pembentukan satgas ini, perlu dibuka opsi pemulihan aset BLBI yang berada di yurisdiksi asing seluas-luasnya dan jangan hanya bergantung pada kerja sama internasional. Strategi pengembalian aset melalui penyitaan tanpa pemidanaan perlu dijajaki, terutama terhadap barang-barang yang telah dikuasai pihak ketiga di luar negeri, tetapi perolehan asetnya diduga dari hasil perkara BLBI.

 

Pada saat bersamaan, dalam mencapai penyelesaian sengketa ini, pemerintah dan penegak hukum tetap perlu mengutamakan asas premium remedium karena kasus ini telah berdampak besar ke masyarakat luas.

 

Selain itu, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2000 menemukan ada 95,4 persen penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI yang merugikan negara juga tak boleh diabaikan. Temuan BPK ini harus dijadikan pertimbangan ulang penegak hukum dalam menganalisis ulang potensi pelanggaran pidana dan tidak terjebak urusan perdata semata. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar