Sabtu, 24 April 2021

 

Ironi Peringatan World Heritage Day di Indonesia

Adrian Perkasa ;  Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, PhD Candidate Universiteit Leiden

KOMPAS, 23 April 2021

 

 

                                                           

Pekan lalu masyarakat di seluruh dunia merayakan Hari Warisan Dunia (World Heritage Day). Banyak kalangan di Indonesia, khususnya komunitas, individu, ataupun lembaga, yang berkecimpung di bidang yang terkait dengan warisan budaya ikut meramaikannya. Ironisnya pada saat yang bersamaan, beberapa bangunan bersejarah terancam kelestariannya karena akan dijual oleh pemiliknya.

 

Beberapa bangunan tersebut, seperti yang ramai diberitakan di media, antara lain, kediaman Ahmad Subardjo di Jakarta, Gedung NILLMIJ di Bandung, dan Gedung Singa di Surabaya. Bangunan pertama yang merupakan rumah tinggal Menteri Luar Negeri Pertama Republik Indonesia memang belum ditetapkan sebagai cagar budaya.

 

Mengingat nilai penting dari sisi historisnya, Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta tengah melakukan kajian terhadap rumah tinggal itu untuk segera ditetapkan sebagai cagar budaya. Undang-Undang (UU) Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa obyek yang sedang dikaji harus diperlakukan sebagai cagar budaya (Kompas.com, 13/4/2021).

 

Dua bangunan yang terancam lainnya merupakan bangunan milik PT Asuransi Jiwasraya yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Kedua bangunan tersebut terletak di lokasi strategis, baik di Bandung maupun di Surabaya.

 

Baik dari sisi sejarah maupun kebudayaan, khususnya dari aspek arsitektur, keduanya memiliki banyak nilai penting. Gedung Jiwasraya di Bandung memiliki langgam art-deco dan neoklasik yang kemudian menjadi ciri khas gaya arsitektural pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

 

Gedung Singa di Surabaya, yang juga masuk dalam daftar lelang PT Asuransi Jiwasraya, dirancang oleh arsitek ternama HP Berlage. Salah satu bangunan ikonik Berlage adalah Beurs van Berlage yang terletak di kota Amsterdam negeri Belanda.

 

Salah satu ciri utama rancangan Berlage adalah melawan arus utama gaya arsitektural pada masa peralihan abad ke-19 dan ke-20 sehingga ia dijuluki sebagai Bapak Arsitektur Modern di Belanda. Gedung Singa merupakan satu-satunya gedung rancangan Berlage di Surabaya.

 

Tidak heran mengingat arti penting bangunan-bangunan bersejarah tersebut, banyak pengamat dan komunitas yang menentang rencana penjualan ataupun pelelangannya. Di Kota Surabaya, misalnya, Komunitas Begandring Soerabaia melakukan berbagai aksi seperti memasang poster berisi peringatan apakah pihak PT Jiwasraya telah menawarkan gedung tersebut kepada Pemerintah Kota sebelum dilelang untuk umum. Selain itu, berbagai simpati juga datang, baik dari Tim Ahli Cagar Budaya hingga para pemerhati cagar budaya dari luar negeri.

 

Namun, apakah pengalihan kepemilikan suatu cagar budaya melanggar aturan terkait cagar budaya di Indonesia? Di dalam UU yang berlaku, penjualan suatu cagar budaya secara eksplisit tidak dilarang. Disebutkan dalam Pasal 16 bahwa dalam pengalihan kepemilikan, negara harus didahulukan. Hanya saja, tidak ada aturan yang lebih rinci terkait pengalihan kepemilikan. Pasal ini ditutup dengan ayat yang menerangkan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.

 

Sayangnya, menunggu terbitnya peraturan pemerintah yang mengatur hal-hal spesifik dalam UU ini bisa diibaratkan seperti sebuah lakon drama, ”Menunggu Godot”. Lebih dari 10 tahun berlalu sejak ditetapkannya UU Cagar Budaya, belum tampak ada tanda-tanda bahwa peraturan pemerintah atau peraturan lain yang menjelaskannya lebih rinci akan dirilis dalam waktu dekat.

 

Alih-alih mengeluarkan aturan yang lebih rinci, pemerintah kemudian menerbitkan UU baru lagi terkait kebudayaan, yakni UU Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017. Harus diakui bahwa UU ini menghasilkan rancangan strategi kebudayaan Indonesia hingga beberapa dekade ke depan. Akan tetapi, karena UU ini diletakkan sebagai aturan induk dalam urusan-urusan kebudayaan, tentu tidak kita dapati adanya hal yang sifatnya detail terkait urusan cagar budaya.

 

Padahal harus diingat bahwa dari hari ke hari, kondisi cagar budaya, khususnya yang terletak di perkotaan, makin rentan. Kerentanan tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang sifatnya fisik, tetapi juga faktor lainnya.

 

Lokasi cagar budaya perkotaan pada umumnya sangat strategis karena berada di pusat kota atau kawasan bisnis. Kondisi ini menyebabkan banyaknya bangunan-bangunan bersejarah dihancurkan dan digantikan dengan bangunan baru yang dianggap lebih menguntungkan.

 

Hal tersebut diperparah dengan minimnya insentif bagi pemilik bangunan cagar budaya perkotaan. Di dalam UU Cagar Budaya telah disebutkan bahwa pemilik cagar budaya berhak menerima insentif, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Insentif tersebut dapat berupa pengurangan pajak maupun lainnya.

 

Namun sekali lagi, ketentuan yang lebih rinci terkait insentif ini juga baru akan dimasukkan dalam peraturan pemerintah yang belum jelas rimbanya. Tentu, adalah hal yang lumrah apabila pihak pemilik cagar budaya perkotaan merasa lebih baik menjualnya karena beban pengeluaran yang besar dalam melestarikan bangunan tersebut.

 

Pengalihan kepemilikan kepada pemerintah pusat atau daerah juga bukan solusi yang berkelanjutan. Memang beberapa bangunan bisa saja dimiliki oleh pemerintah karena pertimbangan nilai pentingnya. Akan tetapi, mengingat banyaknya sebaran peninggalan cagar budaya perkotaan, maka tentu semua aset tersebut tidak bisa dibeli oleh pemerintah.

 

Oleh karena itu, yang dibutuhkan segera untuk menjawab tantangan pelestarian cagar budaya perkotaan bukanlah pemerintah yang bisa membeli semua aset tersebut, melainkan pemerintah yang memiliki visi pelestarian cagar budaya yang berkelanjutan. Dengan memperhatikan aspek keberlanjutan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah, harus berperan menjadi simpul antara berbagai kepentingan dalam pelestarian cagar budaya.

 

Visi berkelanjutan ini melampaui pandangan umum selama ini yang hanya menjadikan cagar budaya sebagai aset pariwisata belaka. Dengan visi ini, pemerintah kota sesungguhnya bisa melakukan pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya yang lebih beragam. Tidak hanya melulu sebagai destinasi wisata, bangunan cagar budaya perkotaan, juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari perkantoran hingga permukiman.

 

Sebagai contoh, karya Berlage lainnya adalah Beurs van Berlage di Amsterdam yang dikelola oleh suatu manajemen tersendiri, di mana Pemerintah Kota Amsterdam hanya merupakan salah satu di dalamnya. Maka tak heran gedung ini bukan hanya menjadi aset pariwisata, melainkan juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan lain, seperti gedung pertemuan, restoran, dan kantor. Bahkan, Raja Belanda Willem-Alexander merayakan resepsi pernikahannya di gedung ini.

 

Mengingat semakin banyaknya inisiatif dari masyarakat terkait pelestarian cagar budaya di beberapa kota di Indonesia, tentu pemerintah juga harus segera meresponnya. Sebaiknya pemerintah daerah, khususnya pemerintah kota, baik di Jakarta, Bandung, Surabaya, maupun lainnya bisa merangkai inisiatif-inisiatif tersebut dan menjadikannya momentum untuk bisa mengurai sengkarut pelestarian cagar budaya perkotaan di tempatnya masing-masing.

 

Jangan kaget apabila pemerintah daerah berhasil mewujudkan visi pelestarian cagar budaya berkelanjutan ini, nantinya justru pemerintah pusat yang akan banyak belajar untuk menambal lubang-lubang yang terdapat dalam UU Cagar Budaya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar