Jumat, 30 April 2021

 

Seni Tari di Masa Pandemi

Purnawan Andra ;  Pamong Budaya Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud

KOMPAS, 29 April 2021

 

 

                                                           

Peringatan Hari Tari Dunia 29 April menguatkan alasan untuk merenungkan lagi kedudukan, fungsi, dan makna tari bagi manusia. Terlebih di masa pandemi ini, tari yang memiliki karakteristik penampilan di ruang pentas dengan kehadiran tubuh penonton bertabrakan dengan berbagai aturan pembatasan sosial yang memengaruhi formasi kultural ekosistem seni pertunjukannya.

 

Tubuh tari (penyaji dan penonton) yang biasanya beririsan dan berkelindan dalam rasa dan ekspresi di panggung, gedung-gedung pertunjukan, atau ruang terbuka lainnya kini mutlak dijauhkan. Pandemi membuat format pertunjukan berganti dari luring (offline) menjadi daring (online).

 

Di satu sisi, berkesenian adalah proses simultan internal dan eksternal seseorang, yang berurusan dengan sisi privat, refleksi, dan ekspresi diri. Di sisi lain, seni adalah intensionalitas diri dengan orang lain, keterlibatannya dengan dunia. Terlebih tari, yang dalam pengertian paling sederhananya, merupakan modus ekspresi manusia yang paling awal.

 

Maka, berbagai cara dilakukan orang agar tetap berekspresi. Mereka menari menghibur diri melalui berbagai platform media sosial, seperti Zoom, Tiktok, Instagram Live, atau Youtube. Medium virtual menjadi cara seni tari beradaptasi dengan pandemi. Platform digital menjadi alternatif ruang untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasi artistik.

 

Tubuh

 

Hal ini menjadi upaya tubuh untuk merayakan kebebasan dari represi yang dialami di masa pandemi. Menari dengan sadar, dengan membebaskan diri dan menghadirkannya dalam ruang virtual, adalah upaya menjadi otentik sekaligus cara berinteraksi dengan publik. Dengannya menari adalah sebuah pilihan eksistensial.

 

Tubuh di masa pandemi, seturut Foucault, adalah tubuh yang menjadi kosong, yang patuh pada berbagai macam aturan, paksaan, pembatasan sehingga tidak bisa menikmati hidup. Sementara jika berefleksi pada Simone de Beauvoir, sesungguhnya dengan bergerak, tari menjadi tubuh yang menjadi (becoming), tubuh yang ingin menerobos batasan-batasannya.

 

Dan dalam peristiwa tari, merunut Merleau-Ponty, bagaimana tubuh menjangkau lainnya sesungguhnya adalah pengalaman yang dibagikan, bukan pengalaman yang introvert, sendiri, tetapi pengalaman yang menghadirkan (dan atau bersama) orang lain (Saras Dewi, 2020).

 

Kehadiran tari di ruang publik daring di masa pandemi ini merupakan suatu kerinduan untuk menghayati sesuatu secara bersama. Dengannya tari adalah wujud sebuah relasi keterhubungan, sebuah ruang inter-relasi antara ketubuhan dan lingkungannya, antara konstruksi sosial dan logika kultural.

 

Memang tidak semua aspek tari berhasil dipindahkan ke ruang digital. Spontanitas, interaksi, dan kedekatan yang menyusun atmosfer pertunjukan seni tari tidak mudah dialihkan rasa dan jiwanya menjadi sinyal peranti elektromagnetik. Sifat pertunjukan tereduksi sehingga tidak dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh penonton.

 

Meski belum optimal menghadirkan pengalaman estetis bagi seniman maupun apresiannya, ruang maya menjadi pilihan wahana yang terbuka dan paling memungkinkan bagi pengembangan ide dan gagasan kreatif baru untuk menjaga ekosistem tari tetap berlangsung dan hidup.

 

Maka, tari perlu menjelajah lebih jauh pemanfaatan arena virtual untuk menemukan artikulasi artistik baru dan sesuai dengan platform yang ada sebagai tubuh digital: tubuh yang merespons dan memanfaatkan teknologi sebagai bagian artikulasi dan kehadirannya sebagai ruang pewacanaan dan pemaknaan tubuh tari sebagai bagian dunia digital.

 

Adaptasi

 

Persoalannya kini bukannya masalah peralihan moda atau pemindahan bentuk wujud seni lapangan, panggung, ataupun galeri ke dalam media virtual, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan seni tari dalam beradaptasi menghadapi kenyataan dan permasalahan zaman.

 

Artinya, seturut Damar Tri Afrianto (2021), bukan aspek digital dan virtualitas yang mengatur hasil ekspresi seni, tetapi karya seni itu sendiri yang mempunyai kemampuan yang bersifat adaptif, lentur, terbuka, dan luwes dalam bentuk perwujudan artistiknya. Dengan demikian, digitalisasi dan virtualitas bukan ditunjuk sebagai wahana atau medium karya seni, tetapi menjadi ”karya seni” itu sendiri.

 

Persoalan ruang dan medium memang menjadi permasalahan penting dalam proses komunikasi seni, bahkan sejak zaman lampau. Ruang dan medium menjadi bukti proses kreativitas yang berlangsung dalam karya seni. Dan kini, persoalan ini bukan satu-satunya yang mampu melahirkan pengalaman estetik, tetapi membuka pemahaman dan konsepsi baru bagi berbagai bentuk ekspresi seni serta mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang lain, yang baru.

 

Untuk itu, kita membutuhkan imajinasi budaya untuk menumbuhkan daya adaptasi dan kreasi ekspresi dan moda yang dibutuhkan dalam berekspresi, dalam banyak ruang virtual yang menjadi moda interaksi antarpelaku tari melalui kreasi konten karya.

 

Dengannya kehadiran tari bisa dibaca bukan hanya sebagai dokumentasi sajian dan penyebarluasan informasi tari, tetapi hadir dalam berbagai konteks dengan membuka kemungkinan yang lebih luas dalam sebuah kerja dialog peradaban yang lebih terbuka dan kontekstual.

 

Pandemi ini memberi ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan hibernasi dengan memberi ruang pembacaan yang lebih kritikal untuk menafsir dan menafsir ulang secara kritis, mencipta dan mencipta ulang berbagai pengertian mengenai tubuh, identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah tari itu sendiri.

 

Dengannya dapat ditunjukkan dampak positif tari bagi masyarakat sebagai praktik seni yang memanfaatkan dan mengembangkan kekayaan budaya lokal dan nilai lama menjadi lebih adaptif terhadap situasi dan kondisi, mampu mendorong penemuan ekspresi dan artikulasi artistik yang adaptif terhadap laju zaman. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar