Rabu, 14 April 2021

 

Pentingnya Kolaborasi dan Sinergi dalam Inovasi Desa

Martani Huseini ; Guru Besar Faklultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia; Ketua CIGO (Center for Innovative Governance)-Universitas Indonesia)

                                                         KOMPAS, 14 April 2021

 

 

                                                           

Presiden Jokowi berharap program transformasi desa melalui berbagai inovasi dapat berlangsung sesuai program. Undang-undang beserta produk turunannya Permendes No 6-2020 sangat rinci memberi panduan dan tujuan yang ingin dicapai. Juga dilengkapi panduang strategi pembangunan desa yang mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs). Rencana aksi pembangunan nasional berkelanjutan yang berisi 17 sasaran.

 

Ketujuh belas sasaran SDGs menjadi rujukan  program pembangunan nasional dalam upaya melaksanakan transformasi desa berbasis inovasi. Inovasi yang diterapkan meliputi pada aspek konten, konteks, proses maupun permodelannya. Penamaan program bisa menggunakan istilah Desa Digital, Desa SDGs, Ojek Desa, Desa  Wisata Ramah Lingkungan dan lain sebagainya. Bahkan, komunitas sipil ada yang memprakarsai pendirian Sahabat Desa SDGs.

 

Hal ini dimaksudkan supaya Gerakan Sosial menggerakkan aksi Inovasi Desa menjadi gerakan sosial yang kolaboratif. Program gerakan Inovasi Desa ini sudah menjadi cita-cita utama Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya. Oleh karena itu, program mulia ini patut didukung agar sukses.

 

Hanya mungkin, yang  belum terpikirkan, ruwetnya menyiapkan tata kelola yang kolaboratif mulai dari aturan tingkat perundangannya hingga juklak dan juknisnya agar interseksi dan sinergisitas antarlembaga tidak bertubrukan. Penyelarasan diperlukan  mulai dari tahap perencanaan, infrastruktur, suprastruktur, ekosistem, SDM hingga proses monitoring dan evaluasinya.

 

Kesulitan hilirisasi mulai dari ide, pembiayaan hingga aspek komersialisasinya tidak sederhana. Mengubah budaya kerja  dari rules driven menjadi mission driven bukan perkara mudah. Walaupun sasaran utama, maupun sasaran antara  sudah dirumuskan berbagai kementerian. Supaya sukses semua unsur actors & systems  harus diselaraskan dalam partitur yang terintegrasi.  Gerakan Inovasi Desa harus disiapkan matang, dilatih, mulai timing dan tempo sesuai komando dari sang ”konduktor”. Semua yang terlibat harus paham program aksi bersama.

 

Dilema implementasi program Inovasi Desa

 

Dalam praktik, implementasi program dari kementerian induk, misalnya Kemendes, Kemenristek-BRIN, Kemdagri, Kemenkominfo, atau kementerian teknis lainnya yang berkaitan dengan sektornya masalah membutuhkan keterlibatan kepala daerah tingkat provinsi hingga kabupaten agar sinkron. Tidak rancu aturan bertabrakan dengan program lain. Juga agar tidak mudah disalahgunakan oleh para rent-seekers.

 

Oleh karena itu, kejelian dalam pemetaan awal atas kemungkinan terjadi kemacetan disuatu simpul-simpul birokrasi sudah harus dipersiapkan opsi solusinya. Hilirisasi ide datang dari kampus, misalnya, yang menjadi wilayah Kemendikbud, maka arus hilirisasinya seperti program pemagangan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar membekali para mahasiswa magang agar mampu membimbing warga desa tempat magang untuk bisa berinovasi. Capaian kerja satuan desa dan anak didik yang sedang magang harus mengacu  standar ukuran yang jelas.

 

Pada dasarnya program Inovasi Desa yang lebih ideal merupakan hasil sentuhan kolaborasi triple helix (akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah). Namun, perlu juga memperhatikan tatanan komunitas adat desa mulai dari aspek ritual dan kearifan lokalnya yang bisa berbeda beda juga media (penta helix).

 

Komunikasi sosial yang sebelumnya menggunakan media lokal, yang kemudian akan diarahkan pada suatu platform digital atau internetisasi perlu dioptimumkan capaiannya. Program Rembug Desa, proses perencanaan akan  pilihan komoditas, hingga permodelannya perlu dibahas secara vertikal dan horizontal, lintas sektor. Agar supaya capaian dan pertanggungjawaban administratifnya tidak berbeli-belit.

 

Akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah merupakan tiga pilar utama yang bisa diharapkan menghilirisasi temuan-temuan para akademisi di kampus, atau temuan warga setempat untuk disosialisasi sampai ketingkat komunitas. Demikian juga para pebisnis juga diminta menyusun program Bapak dan Anak Angkat, dan CSR sampai ke tingkat desa.

 

Esensi program inovasi

 

Kata kunci program inovasi adalah kreativitas, invensi, komersialisasi/hilirisasi. Ketiga kata kunci itu bisa dilakukan pada aspek proses, konten, konteks, maupun model bisnis. Pemerintah diharapkan membantu dalam penggunaan teknologi, finansial, tata kelola administratif yang menggunakan platform teknologi digital.

 

Idealnya setiap kementerian memiliki panduan pengelolaan dan pemanfaatan big data sabagai basis penyusunan program yang dapat dipantau serta terukur. Demikian juga pelibatan kampus-kampus di daerah yang dalam program Inovasi Desa di wilayah perbatasan dari timur hingga ke barat Tanah Air.

 

Perlu pula melakukan pemetaan bertahap dan selektif terhadap desa-desa yang ada, yang jumlahnya lebih dari 71.000 desa, agar dapat melakukan program inovasi secara serempak. Pemetaan penting dilakukan untuk mengenali kondisi serta potensi masyarakat, alamnya, kearifan budaya lokal serta ketersedian infrastruktur pasti bervariasi.

 

Demikian pula terhadap kesiapan ekosistem inovasi yang harus dipersiapkan serius. Parameter VRIO (Valuable, Rare, Inimitable, dan Organized) dapat digunakan untuk menyusun tolok ukur sejauh mana keluaran program inovasi yang direncanakan sudah memenuhi harapan.

 

Apakah pilihan inovasi terhadap suatu obyek yang direncanakan, misalnya, nantinya memiliki nilai ekonomis atau sosial tinggi (valuable), unik (rare), tidak mudah ditiru (inimitable) dan merupakan hasil kerja bersama (organized). Parameter VRIO ini penting diterapkan  agar proses hilirisasi dan komersialisasinya tidak menjadi kendala dikemudian hari.

 

Dilema inovasi

 

Berdasarkan kenyataan tidak semua inovasi muncul secara terprogram. Ada inovasi yang dihasilkan oleh inovator mandiri (autopilot). Apa yang dilakukan Paidi, misalnya, seorang pemulung, yang karena memiliki kebiasaan berselancar di internet mendapat ide menanam porang, menggantikan kebiasaan menanam ketela dan tanaman lain yang biasa ditanam di desanya. Tanaman porang memiliki kandungan kalsium oksalat yang bisa diolah menjadi bahan baku lem/perekat, pangan, dan lain-lain yang bisa diekspor ke mancanegara dengan nilai jual tinggi.

 

Demikian juga  inisiatif pribadi Bupati Maluku Tenggara  M Taher Hanubun dibantu akademisi Dr Rahtika Diana dari Universitas Sahid melahirkan konsep Rembug Desa OVOI (One Village One Innovation) yang menggiatkan program inovasi di 191 ohoi (desa). Proses rembug  inovasi desa dilakukan secara daring dan terstruktur.

 

Melihat fenomena ini program inovasi desa sebenarnya harus diselenggarakan secara hibrida/blended antara guided oleh pemerintah seperti program-program ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), yang difasilitasi pemerintah pusat dan daerah, dengan kegiatan sektoral, seperti program OVOP (One Village One Product) yang awalnya diinisiasi  Pemerintah Jepang dan pernah direplikasi oleh Pemerintah Thailand dan Indonesia pada 1970-an.

 

Program-program ATM dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu disiarkan melalui radio ataupun televisi komunitas.

 

Tugas pemerintah

 

Lalu apa tugas pemerintah selanjutnya? Pertama, pemerintah melakukan pemetaan dengan basis big data.  Setiap desa seyogianya dipetakan oleh kampus-kampus daerah dibantu oleh tenaga ahli yang telah ditunjuk oleh Kemendes. Peta ini harus meliputi kepemilikan aset-aset daerah yang tangibles, intangibles, kondisi SDM daerah, serta kearifan lokal.

 

Kedua  menyiapkan infrastruktur dan suprastuktur termasuk jaringan yang dibutuhkan dalam program digitalisasi, mulai dengan ketersediaan internet di setiap desa. Target Kemenkominfo untuk pengadaan internet di seluruh desa termasuk 6.000 desa di wilayah perbatasan 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal) merupakan gagasan mulia.

 

Ketiga, memeriksa mata rantai value creation dari gagasan hingga sarana komersialisasinya yang berbasis daring. Keempat, mengarahkan pemilihan ekosistem desa (aktor dan faktor) sehingga inovasi bisa terwujud. Dukungan dari kementeriaan terkait harus dipilah dalam proses penentuan aktornya, seperti model A hingga  F dan kesiapan faktor-faktor pendukungnya.

 

Dalam model  A hingga F, siapa A (activator), B (browser), C (creator), D (developer), E (executor) dan F (facilitator). Konsep ini digagas tokoh inovasi pemasaran Philip Kotler (2014). Seandainya pemerintah dari kementerian mana pun bisa memerankan sebagai hub dan subhub utama  dalam sebuah orkestrasi Inovasi Desa, niscaya, keinginan Presiden Jokowi bisa terlaksana secara efektif dan efisien. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar