DETIKNEWS,
21
April 2021 |
Saya
suka membaca kisah para sufi, baik sufi dari luar seperti Jalaluddin Rumi,
Rabi'ah Al Adawiyah, maupun sufi dalam negri seperti Sunan Kalijaga dan Syeh
Siti Jenar. Kisah-kisah mereka menginspirasi perenungan saya akan keilahian. Bagi
saya, pendapat mereka menarik justru karena perbedaan sudut pandang dengan
apa yang selama ini berlaku di masyarakat umum. Kenapa pendapat mereka
berbeda? Apa yang membuat pandangan mereka berbeda? Itulah pertanyaan yang
sering mampir di kepala saya. Karena
tak terlalu sibuk, Ramadhan memberi saya lebih banyak waktu untuk merenungi
kisah dan quote para sufi itu. Kali ini saya merenungi makna puasa di mata
Rabi'ah Al Adawiyah. Bersama Jalaluddin Rumi, Rabi'ah Al Adawiyah adalah
peletak mazhab cinta, mazhab yang tak banyak dikenal karena biasanya kita
hanya mengenal empat mazhab. Rabi'ah
Al Adawiyah adalah sufi wanita yang melegenda karena keikhlasan ibadahnya.
Dia berpendapat, selama ini orang-orang beribadah karena keinginan meraih
surga dan menghindari neraka saja, bukan karena Allah semata. Itu sebabnya
dia pernah berkata, "Aku ingin membakar surga dengan api dan menyiram
api neraka dengan air, agar orang-orang tidak mengharapkan surga dan
menakutkan neraka dalam ibadahnya." Syairnya
yang terkenal adalah: Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena
takut neraka Bukan pula karena mengharap masuk
surga Tetapi aku mengabdi, karena cintaku
pada-Nya Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena
takut neraka, bakarlah aku di dalamnya Dan jika aku menyembah-Mu karena
mengharap surga, campakkanlah aku darinya Tetapi, jika aku menyembah-Mu demi
Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan
keindahan wajah-Mu yang abadi padaku Bagi
Rabi'ah Al Adawiyah, tujuannya beribadah bukanlah untuk meraih surga dan
menghindari neraka. Dia beribadah hanya untuk Allah semata, karena cintanya
kepada Allah begitu besar sehingga dia ikhlas menyerahkan seluruh ibadahnya
untuk Allah semata. Ramadhan
dikenal sebagai bulan ketika pintu surga dibuka dan pahala ibadah
ditingkatkan berkali-lipat. Ramadhan juga dikenal sebagai bulan ketika setan
dibelenggu dan pintu neraka ditutup agar tidak mengganggu manusia selama
beribadah. Hal ini tentu saja membuat orang berlomba-lomba melakukan ibadah
karena meyakini amalan di bulan Ramadhan akan mengantarkan kita ke surga dan menghindarkan
kita dari api neraka, terutama amalan di sepuluh hari terakhir. Menjadi
menarik ketika Rabi'ah Al Adawiyah malah seperti ingin menghancurkan janji
akan surga dan ketakutan pada neraka. Lantas apa makna Ramadhan bagi Rabi'ah
Al Adawiyah kalau dia tidak mengharapkan surga dan menghindari neraka seperti
yang didengungkan selama ini? Kekurangan Apa
sih yang membuat kita berharap? Karena kita merasa kekurangan. Kita miskin
akan hal yang kita harapkan. Kita berharap harta karena merasa kekurangan
harta, miskin harta. Kita berharap cinta dari orang lain karena kita merasa
diri kita kekurangan cinta. Kita berharap perhatian dari orang lain karena
kita merasa diri kita kekurangan perhatian. Kita berharap kebahagiaan surga
karena kita tidak merasa hidup di surga saat ini. Coba
kita renungkan. Jika kita sekarang sudah diberi harta berlimpah, kehidupan
keluarga yang tenang, anak-anak yang baik, masihkah kita berharap kebahagiaan
surga? Tentu saja kita akan menjawab iya. Kenapa begitu? Karena kita merasa
semua itu belum cukup. Ketika tidak ada rasa berkecukupan, kita akan selalu
merasa kurang. Sebanyak
apapun yang sudah kita miliki sekarang, kita akan selalu kekurangan. Ini
artinya kita tidak merasa benar-benar bahagia saat ini. Kita masih
mengharapkan kebahagiaan ultimate, kebahagiaan yang lebih tinggi lagi. Kita
berharap ada kehidupan yang tak mengenal penderitaan (neraka) dan hanya
berisi kebahagiaan saja seperti di surga. Kalau kita berpikir seperti itu, di
mana makna ikhlas sebenarnya? Saya
malah merasa kita tidak ikhlas dengan kehidupan yang dihadirkan Allah
sekarang. Kita tidak rida pada takdir yang diberikan Allah kepada kita. Kita
tidak bisa benar-benar bersyukur atas semua ketentuan Allah. Semua
ketidakikhlasan itu membuat kita masih menginginkan kehidupan yang jauh lebih
membahagiakan lagi. Ketidakikhlasan itu juga membuat kita ingin melarikan
diri dari neraka yang sangat kejam. Itulah sebab kita beribadah selama ini
--menginginkan kebahagiaan surga dan melarikan diri dari ketakutan akan neraka. Bahagia
saat ini artinya kita tidak mengharap lagi sesuatu yang lebih membahagiakan.
Bahagia saat ini artinya kita juga tidak menghindari sesuatu yang menjadi
sebab kita tidak bahagia. Ikhlas adalah ketika kita bisa bahagia saat ini,
apapun yang terjadi pada hidup kita. Di
dalam rasa ikhlas itu, ada rasa cukup. Kita telah merasa terpenuhi
sepenuhnya. Kita tidak butuh apa-apa lagi karena semua sudah terpenuhi
sehingga kita tidak berharap apa-apa lagi. Bahkan kita tidak berharap surga
karena kita sudah menikmati surga sekarang. Seorang Pecinta Membaca
kalimat yang diucapkan Rabi'ah Al Adawiyah di atas, saya bisa menyimpulkan
ada keikhlasan yang dalam pada diri Sang Sufi kharismatik tersebut. Dia
ikhlas pada apapun yang diberikan Allah. Apapun! Dia tidak lebih memilih
surga daripada neraka. Dia tidak peduli pada kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan karena dia benar-benar bahagia dalam keikhlasannya. Hal ini
membuat saya mempertanyakan satu hal lagi, yaitu rida. Rida
berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan
lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah,
rida adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada,
menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa rida
berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, rida
Allah kepada hamba-Nya dan rida hamba kepada Allah. Ini
sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, "Allah rida terhadap
mereka dan mereka pun rida kepada-Nya." (QS 98: 8). Ada
dua rida, yaitu rida Allah kepada hamba-Nya dan rida hamba kepada Allah.
Selama ini kita diajari untuk selalu mengharap rida Allah. "Apapun yang
kita lakukan, lakukanlah untuk mendapat rida Allah," kata seorang ustadz
dalam sebuah ceramahnya. Tetapi
Rabi'ah Al Adawiyah justru mengajarkan hal lain. Seorang sufi, karena
cintanya kepada Allah, sudah yakin bahwa Allah pasti rida kepadanya. Allah
adalah sang maha pemilik segala sesuatu, termasuk rida. Tidak mungkin Allah
yang maha pengasih dan penyayang tidak rida kepada manusia. Karena
Allah sudah rida, maka yang belum bisa rida adalah diri kita sendiri.
Manusialah yang perlu belajar rida pada apapun yang diberikan Allah dan
ikhlas menjalani semuanya, tidak peduli apakah itu kebahagiaan atau ketidakbahagiaan,
surga atau neraka. Bagaimana
rida kita kepada Allah itu? Kalau
mengacu pada Rabi'ah Al Adawiyah, maka rida kita kepada Allah adalah kita
rida pada surga dan nerakanya Allah. Kalau Allah memberi kita surga, kita
rida. Kalau Allah memberi neraka, kita juga rida. Kita rida pada apapun yang
diberikan Allah. Maka
makna puasa seorang sufi tidak lagi mengharap rida Allah pada ibadahnya,
melainkan menjadi latihan baginya untuk rida kepada Allah. Puasa adalah
latihan bagi kita untuk bisa ikhlas pada semua ketetapan Allah, latihan untuk
mengikhlaskan pahala, hukuman, surga dan neraka Allah, agar kita bisa melihat
wajah Allah yang abadi, seperti kata Rabi'ah. Ramadhan
kali ini bisa menjadi starting point untuk mulai mengizinkan diri kita
berlatih puasa seperti puasanya para sufi, para pecinta Allah. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar