Sabtu, 17 April 2021

 

Intelektual Organik

Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Ketua Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi 2020-2022

KOMPAS, 17 April 2021

 

 

                                                           

Ketimpangan relasi publik-republik dan tidak bekerjanya checks and balances dalam realitas demokrasi saat ini membutuhkan respons atau imbangan kuat dan memadai dari segenap kekuatan sipil mandiri.

 

Pembuatan kebijakan dan regulasi tanpa proses deliberasi publik yang sehat lambat laun akan memupuk katarsis negatif, menyulut apriori, dan menimbun residu kekecewaan. Krisis persabungan gagasan berkualitas dan pertukaran argumentasi konstruktif merupakan konsekuensi dari proses politik yang dapat dilacak jejak dan dampaknya.

 

Pertama, mayoritas partai politik (parpol) merupakan pendukung pemerintah. Setiap kritik terhadap kebijakan atau program pemerintah cenderung ditanggapi secara politis dan di luar substansi, seperti serangan pada pribadi pengkritik, stigmatisasi, atau argumentasi lain yang tidak relevan.

 

Kedua, pembelahan sosial dan fanatisme kelompok yang berkembang dan menyertai sentimen politik partisan sejak 2014 bukan hanya gagal dinetralkan begitu perhelatan pemilu usai, melainkan malah makin mengeras dan terus memantik perselisihan tajam di ruang publik. Pertentangan ini tidak paralel dengan langkah rekonsiliasi berupa koalisi gemuk di lapisan elite politik.

 

Segregasi sosial-politik semestinya diredam dan dikelola secara asertif dan persuasif. Bukan justru direspons oleh para pendengung (buzzer) yang membuat gaduh media sosial lewat narasi yang gencar menggerus persatuan, Alih-alih melibatkan tokoh-tokoh solidarity maker, kehadiran buzzer dalam riuh-rendah politik partisan sarat kepentingan golongan membuat demokrasi terjerembap ke kubangan fitnah dan hujatan tak berkeadaban.

 

Ketiga, hegemoni mayoritas sebagai buah konsolidasi eksekutif-legislatif melemahkan fungsi kontrol yang semestinya dijaga dan bekerja. Hampir separuh anggota parlemen berlatar belakang pengusaha sehingga cenderung pragmatis dalam membuat dan mengesahkan regulasi. Oposisi kritis dan artikulasi publik tidak mendapatkan resonansi setara, terganjal keputusan otoritatif lewat mekanisme voting.

 

Keempat, tujuan utama reformasi, yakni memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan membangun demokrasi substansial, semakin menjauh. Demokrasi kita mengidap tiga cacat serius: politik uang mewabah, oligarki merajalela, dan politik dinasti kian menjelma.

 

”Grand corruption”

 

Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020—terburuk sejak 2008—menjadi petunjuk jelas bahwa simbiosis korupsi dan politik semakin nyata. Lima indikator penilaian yang menyumbang memburuknya IPK Indonesia (skor 37 dan peringkat ke-102 dari 180 negara) menegaskan konstatasi itu.

 

Global Insight Country Risk Rating turun 12 poin, Political Risk Service dari International Country Risk Guide turun 8 poin, World Competitiveness dari International Institute for Management Development turun 5 poin, Asia Risk Guide dari Political and Economic Risk Consultancy turun 3 poin, dan Varieties of Democracy Project turun 2 poin.

 

Kita diingatkan bahaya grand corruption, tindak pidana korupsi yang memenuhi satu atau lebih karakteristik berikut: melibatkan pengambil keputusan yang membuat regulasi, melibatkan aparat penegak hukum, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan merupakan kejahatan sindikasi, sistemis, dan terorganisasi.

 

Terungkapnya banyak skandal korupsi di Tanah Air membuktikan tali-temali atau persekongkolan jahat pejabat-pengusaha-aparat.

 

Demikian pula, bertahan tingginya Incremental Capital Output Ratio juga menunjukkan bahwa proses produksi belum efisien alias berbiaya tinggi. Regulasi yang menafikan problem struktural investasi dan kegiatan ekonomi kelak hanya akan menuai serial kegagalan.

 

Kita perlu menghayati bahwa Indonesia yang maju, berdaulat, adil, dan makmur bermakna kerja membangun peradaban. Setiap rezim penyelenggara pemerintahan memikul tanggung jawab mewujudkan tujuan utama berbangsa dan bernegara seperti termaktub di Mukadimah UUD 1945.

 

Mandat mulia ini menghendaki visi besar dan kuat di atas landasan persatuan dan gotong royong seluruh anak bangsa. Ia menuntut kreativitas dan inovasi, membangun kualitas manusia dan tata kelola berintegritas tinggi, untuk meraih kemajuan dan membumikan keadilan.

 

Kegelisahan Ahmad Syafii Maarif (”Republik Sapi Perah”, Kompas, 27/2/2021) dan Haedar Nashir (”Mengurus Indonesia”, Kompas, 16/1/2021) atas situasi buram korupsi, perilaku business as usual, dan praktik ugal-ugalan dalam menjalankan kekuasaan pada sebagian elite layak menjadi renungan bersama. Keprihatinan dua tokoh Muhammadiyah itu menggedor kealpaan mewujudkan daulat rakyat untuk waktu yang lama.

 

Intelektual organik

 

Kita beruntung memiliki reservoir moral dan aneka teladan kebajikan di tengah cekaman krisis keadaban dan ketidakpatutan yang sering kali dipamerkan elite. Dalam situasi krisis akibat pandemi Covid-19, muncul simpul-simpul otoaktivitas dengan karakteristik kuat kohesi, kaya empati, dan gotong royong di berbagai jejaring komunitas.

 

Salah satu inisiatif yang inspiratif dan efektif membangkitkan kerja sama kolektif adalah Sambatan Yogya (Sonjo). Lewat aplikasi nirbiaya di dunia maya, mereka yang terdampak langsung dan tidak langsung pandemi Covid-19 terhubung satu sama lain dan bekerja sama mengatasi masalah.

 

Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan tujuan wisata sangat menderita terkena dampak pandemi. Ratusan hotel, rumah makan, tempat pemondokan, produsen, pedagang, dan jasa-jasa lainnya kehilangan pendapatan dan pekerjaan.

 

Sonjo yang diinisiasi pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, membangun platform digital untuk mempertemukan semua pelaku dalam komunitas Angkringan dengan moto: ora ono sing keri (tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan) sejak Maret 2020 ketika awal pandemi melanda Indonesia.

 

Dengan mempertemukan semua pegiat jasa itu dalam satu komunitas, beban berat berkurang dan muncul berbagai kreativitas baru untuk mengatasi masalah. Para penderita Covid-9, tenaga medis, rumah sakit, puskesmas, aparatur pemerintah daerah, pamong desa, sukarelawan, pemulasara jenazah, dan para pemangku kepentingan sejenis juga terhubung dalam komunitas Sonjo Tangguh.

 

Melalui aplikasi Shelter Tangguh, pasien penderita Covid-19 berikut orang-orang dalam riwayat kontaknya mendapatkan atensi prioritas untuk mendapat rujukan perawatan, isolasi, mendapatkan donor darah/plasma, pemakaman, dan sebagainya.

 

Rimawan mendapat dukungan koleganya di UGM dan universitas lain di Yogya, juga aktivis dari beberapa daerah. Sinergi akademisi, aparat pemerintah daerah, pelaku usaha, rumah sakit, tenaga medis, sukarelawan, dan banyak lagi lainnya mencerminkan kuatnya kepedulian dan perbuatan konkret menghadapi ”musuh bersama” Covid-19.

 

Eksekusi berbasis data, kajian ilmiah, konteks sosiologis, pelajaran dari banyak kejadian dan referensi pembanding membuat Sonjo sangat aktif berperan dan menjadi kanal penghubung aneka kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan dan ekonomi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

 

Eksperimen Sonjo yang kini dikenal meluas dan tepat guna mencerminkan salah satu bentuk keterpanggilan kaum intelektual organik, yakni kaum cendekia yang cerdas mempertautkan ide dan aksi, berimpitnya das sein dan das sollen. Teori, kajian akademik, pemanfaatan teknologi, sinergi antarprofesi dan antarmanusia, serta daya tanggap cekatan, mengejawantah ke tataran implementasi tanpa sekat.

 

Sonjo merupakan miniatur gotong royong komunitas heterogen yang dipersatukan dan berikhtiar membantu manusia dan kemanusiaan. Penggagasnya, kaum intelektual kampus yang memiliki kapasitas dan tidak melewatkan kesempatan untuk melakukan diseminasi aktivitas berbasis moral dan integritas.

 

Aktivitas dan inisiatif Rimawan dan koleganya itu memenuhi pernyataan Yudi Latif: ”Para cerdik-cendekia perlu menjadi intelektual organik dengan menjadi reservoir moral-ideologis komunitas untuk dipompakan ke jantung negara dan pasar”.

 

Dalam tataran negara, kaum cendekiawan ditantang mengisi kekosongan peran mediasi publik-republik akibat merajalelanya korupsi dan lunturnya semangat gotong royong bersendikan etika dan integritas. Idealisme membumi melalui aksi-aksi konkret dibutuhkan untuk merawat sukma peradaban dan turut serta menjawab berbagai persoalan bangsa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar