Intelektual
Organik Suwidi Tono ; Koordinator
Forum ”Menjadi Indonesia”, Ketua Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi
2020-2022 |
KOMPAS, 17 April 2021
Ketimpangan relasi publik-republik dan
tidak bekerjanya checks and balances dalam realitas demokrasi saat ini
membutuhkan respons atau imbangan kuat dan memadai dari segenap kekuatan
sipil mandiri. Pembuatan kebijakan dan regulasi tanpa
proses deliberasi publik yang sehat lambat laun akan memupuk katarsis
negatif, menyulut apriori, dan menimbun residu kekecewaan. Krisis persabungan
gagasan berkualitas dan pertukaran argumentasi konstruktif merupakan
konsekuensi dari proses politik yang dapat dilacak jejak dan dampaknya. Pertama, mayoritas partai politik (parpol)
merupakan pendukung pemerintah. Setiap kritik terhadap kebijakan atau program
pemerintah cenderung ditanggapi secara politis dan di luar substansi, seperti
serangan pada pribadi pengkritik, stigmatisasi, atau argumentasi lain yang
tidak relevan. Kedua, pembelahan sosial dan fanatisme
kelompok yang berkembang dan menyertai sentimen politik partisan sejak 2014
bukan hanya gagal dinetralkan begitu perhelatan pemilu usai, melainkan malah
makin mengeras dan terus memantik perselisihan tajam di ruang publik.
Pertentangan ini tidak paralel dengan langkah rekonsiliasi berupa koalisi
gemuk di lapisan elite politik. Segregasi sosial-politik semestinya diredam
dan dikelola secara asertif dan persuasif. Bukan justru direspons oleh para
pendengung (buzzer) yang membuat gaduh media sosial lewat narasi yang gencar
menggerus persatuan, Alih-alih melibatkan tokoh-tokoh solidarity maker,
kehadiran buzzer dalam riuh-rendah politik partisan sarat kepentingan
golongan membuat demokrasi terjerembap ke kubangan fitnah dan hujatan tak
berkeadaban. Ketiga, hegemoni mayoritas sebagai buah
konsolidasi eksekutif-legislatif melemahkan fungsi kontrol yang semestinya
dijaga dan bekerja. Hampir separuh anggota parlemen berlatar belakang
pengusaha sehingga cenderung pragmatis dalam membuat dan mengesahkan
regulasi. Oposisi kritis dan artikulasi publik tidak mendapatkan resonansi
setara, terganjal keputusan otoritatif lewat mekanisme voting. Keempat, tujuan utama reformasi, yakni
memberantas korupsi, kolusi, nepotisme, dan membangun demokrasi substansial,
semakin menjauh. Demokrasi kita mengidap tiga cacat serius: politik uang
mewabah, oligarki merajalela, dan politik dinasti kian menjelma. ”Grand
corruption” Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020—terburuk
sejak 2008—menjadi petunjuk jelas bahwa simbiosis korupsi dan politik semakin
nyata. Lima indikator penilaian yang menyumbang memburuknya IPK Indonesia
(skor 37 dan peringkat ke-102 dari 180 negara) menegaskan konstatasi itu. Global Insight Country Risk Rating turun 12
poin, Political Risk Service dari International Country Risk Guide turun 8
poin, World Competitiveness dari International Institute for Management
Development turun 5 poin, Asia Risk Guide dari Political and Economic Risk
Consultancy turun 3 poin, dan Varieties of Democracy Project turun 2 poin. Kita diingatkan bahaya grand corruption,
tindak pidana korupsi yang memenuhi satu atau lebih karakteristik berikut:
melibatkan pengambil keputusan yang membuat regulasi, melibatkan aparat
penegak hukum, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan merupakan
kejahatan sindikasi, sistemis, dan terorganisasi. Terungkapnya banyak skandal korupsi di
Tanah Air membuktikan tali-temali atau persekongkolan jahat
pejabat-pengusaha-aparat. Demikian pula, bertahan tingginya
Incremental Capital Output Ratio juga menunjukkan bahwa proses produksi belum
efisien alias berbiaya tinggi. Regulasi yang menafikan problem struktural
investasi dan kegiatan ekonomi kelak hanya akan menuai serial kegagalan. Kita perlu menghayati bahwa Indonesia yang
maju, berdaulat, adil, dan makmur bermakna kerja membangun peradaban. Setiap
rezim penyelenggara pemerintahan memikul tanggung jawab mewujudkan tujuan
utama berbangsa dan bernegara seperti termaktub di Mukadimah UUD 1945. Mandat mulia ini menghendaki visi besar dan
kuat di atas landasan persatuan dan gotong royong seluruh anak bangsa. Ia
menuntut kreativitas dan inovasi, membangun kualitas manusia dan tata kelola
berintegritas tinggi, untuk meraih kemajuan dan membumikan keadilan. Kegelisahan Ahmad Syafii Maarif (”Republik
Sapi Perah”, Kompas, 27/2/2021) dan Haedar Nashir (”Mengurus Indonesia”,
Kompas, 16/1/2021) atas situasi buram korupsi, perilaku business as usual,
dan praktik ugal-ugalan dalam menjalankan kekuasaan pada sebagian elite layak
menjadi renungan bersama. Keprihatinan dua tokoh Muhammadiyah itu menggedor
kealpaan mewujudkan daulat rakyat untuk waktu yang lama. Intelektual
organik Kita beruntung memiliki reservoir moral dan
aneka teladan kebajikan di tengah cekaman krisis keadaban dan ketidakpatutan
yang sering kali dipamerkan elite. Dalam situasi krisis akibat pandemi
Covid-19, muncul simpul-simpul otoaktivitas dengan karakteristik kuat kohesi,
kaya empati, dan gotong royong di berbagai jejaring komunitas. Salah satu inisiatif yang inspiratif dan
efektif membangkitkan kerja sama kolektif adalah Sambatan Yogya (Sonjo).
Lewat aplikasi nirbiaya di dunia maya, mereka yang terdampak langsung dan
tidak langsung pandemi Covid-19 terhubung satu sama lain dan bekerja sama
mengatasi masalah. Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan
tujuan wisata sangat menderita terkena dampak pandemi. Ratusan hotel, rumah
makan, tempat pemondokan, produsen, pedagang, dan jasa-jasa lainnya
kehilangan pendapatan dan pekerjaan. Sonjo yang diinisiasi pengajar Fakultas
Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, membangun
platform digital untuk mempertemukan semua pelaku dalam komunitas Angkringan
dengan moto: ora ono sing keri (tidak ada yang tertinggal atau ditinggalkan)
sejak Maret 2020 ketika awal pandemi melanda Indonesia. Dengan mempertemukan semua pegiat jasa itu
dalam satu komunitas, beban berat berkurang dan muncul berbagai kreativitas
baru untuk mengatasi masalah. Para penderita Covid-9, tenaga medis, rumah
sakit, puskesmas, aparatur pemerintah daerah, pamong desa, sukarelawan,
pemulasara jenazah, dan para pemangku kepentingan sejenis juga terhubung
dalam komunitas Sonjo Tangguh. Melalui aplikasi Shelter Tangguh, pasien
penderita Covid-19 berikut orang-orang dalam riwayat kontaknya mendapatkan
atensi prioritas untuk mendapat rujukan perawatan, isolasi, mendapatkan donor
darah/plasma, pemakaman, dan sebagainya. Rimawan mendapat dukungan koleganya di UGM
dan universitas lain di Yogya, juga aktivis dari beberapa daerah. Sinergi
akademisi, aparat pemerintah daerah, pelaku usaha, rumah sakit, tenaga medis,
sukarelawan, dan banyak lagi lainnya mencerminkan kuatnya kepedulian dan
perbuatan konkret menghadapi ”musuh bersama” Covid-19. Eksekusi berbasis data, kajian ilmiah,
konteks sosiologis, pelajaran dari banyak kejadian dan referensi pembanding
membuat Sonjo sangat aktif berperan dan menjadi kanal penghubung aneka
kebutuhan yang berkaitan dengan kesehatan dan ekonomi masyarakat Yogyakarta
dan sekitarnya. Eksperimen Sonjo yang kini dikenal meluas
dan tepat guna mencerminkan salah satu bentuk keterpanggilan kaum intelektual
organik, yakni kaum cendekia yang cerdas mempertautkan ide dan aksi,
berimpitnya das sein dan das sollen. Teori, kajian akademik, pemanfaatan
teknologi, sinergi antarprofesi dan antarmanusia, serta daya tanggap cekatan,
mengejawantah ke tataran implementasi tanpa sekat. Sonjo merupakan miniatur gotong royong
komunitas heterogen yang dipersatukan dan berikhtiar membantu manusia dan kemanusiaan.
Penggagasnya, kaum intelektual kampus yang memiliki kapasitas dan tidak
melewatkan kesempatan untuk melakukan diseminasi aktivitas berbasis moral dan
integritas. Aktivitas dan inisiatif Rimawan dan
koleganya itu memenuhi pernyataan Yudi Latif: ”Para cerdik-cendekia perlu
menjadi intelektual organik dengan menjadi reservoir moral-ideologis
komunitas untuk dipompakan ke jantung negara dan pasar”. Dalam tataran negara, kaum cendekiawan
ditantang mengisi kekosongan peran mediasi publik-republik akibat
merajalelanya korupsi dan lunturnya semangat gotong royong bersendikan etika
dan integritas. Idealisme membumi melalui aksi-aksi konkret dibutuhkan untuk
merawat sukma peradaban dan turut serta menjawab berbagai persoalan bangsa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar