Sabtu, 17 April 2021

 

Riset dan Inovasi di Simpang Jalan

Yanuar Nugroho ; Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance; Anggota ALMI; Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019

KOMPAS, 15 April 2021

 

 

                                                           

Rapat Paripurna DPR (9/4/2021) menyetujui permintaan Presiden Joko Widodo lewat surat Nomor R-14/Pres/03/2021 tentang Pertimbangan Pengubahan Kementerian.

 

Hasilnya: selain membentuk Kementerian Investasi, sebagian tugas dan fungsi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) digabungkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Adapun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang selama ini menyatu dengan Kemenristek akan menjadi badan otonom.

 

Eksekusinya? Tinggal menunggu pengumuman Presiden.

 

Memang sejak dibentuk, kementerian yang menangani urusan riset berulang kali berubah. Pertama, Kementerian Urusan Riset Nasional (1962), lalu menjadi Kementerian Negara Riset (1973), Kementerian Negara Riset dan Teknologi (1986), Kemenristek (2004), Kemenristek dan Pendidikan Tinggi (2014), Kemenristek/BRIN (2019), dan akhirnya dibubarkan (2021).

 

Bubar? Iya. Karena praktis penggabungan fungsi ristek ke Kemendikbud berarti tak ada lagi kementerian yang secara khusus menangani urusan riset. Apalagi, jumlah kementerian dibatasi hanya 34 oleh UU Kementerian Negara. Kemenristek tampaknya ”dikorbankan” demi Kementerian Investasi.

 

Dinamika

 

Sebagian menanggapi positif perkembangan ini, sebagian lagi tak terlalu optimistis—jika bukan pesimistis, atau malah sinis. Bisa dimengerti: akarnya mungkin karena perubahan ini menunjukkan tiadanya, atau lemahnya, visi pemerintah tentang peran riset dan inovasi dalam pembangunan. Perkecualiannya, barangkali, hanya saat BJ Habibie menjadi Menristek di era Orde Baru.

 

Lalu, sejak Orde Baru tumbang, praktis wacana tentang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) absen dari ruang publik. Bahkan dalam rencana pembangunan sejak Reformasi hingga 2014 (artinya sejak Presiden Gus Dur, Megawati, hingga SBY), riset dan iptek—dan lalu inovasi—tidak pernah sungguh menjadi prioritas. Yang ada hanya perubahan nomenklatur kementerian.

 

Situasi ini ternyata juga relatif tak berubah hingga pemerintahan Presiden Jokowi. Padahal, saat Kabinet Kerja terbentuk, ada optimisme besar ketika fungsi pendidikan tinggi digabungkan ke dalam Kemenristek. Langkah ini dipandang tepat untuk kembali mengarusutamakan riset, teknologi, dan inovasi yang secara substansi memang lebih dekat pada pendidikan tinggi. Apalagi, rencana Presiden memajukan Indonesia lewat Nawacita dan visi Indonesia 2045 mensyaratkan riset dan inovasi.

 

Namun, barangkali harapan ini terlalu besar untuk disangga oleh realitas tata kelola riset dan inovasi kita. Jalannya riset lebih ditentukan oleh ad hoc-ism: serba mendadak, serba tergesa, impulsif, tidak berdasarkan rencana, apalagi strategi. Prioritas Riset Nasional (PRN) dan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) tidak pernah sungguh menjadi acuan. Akibatnya, Kemenristek-Dikti pun mengalami kesulitan.

 

Maka, pada periode kedua, Presiden Jokowi mengembalikan urusan Dikti ke Kemendikbud, sedangkan Kemenristek digabungkan dengan BRIN yang pembentukannya merupakan amanat UU No 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) menjadi Kemenristek/BRIN. BRIN diharapkan menjadi dirigen seluruh riset dan inovasi untuk pembangunan.

 

Namun, hingga 16 bulan sejak Kabinet Indonesia Maju dilantik, Kemenristek/BRIN tidak kunjung punya struktur. Rumornya: ia tersandera kepentingan politis yang menginginkan adanya Dewan Pengarah dan struktur yang masif, yang tidak bisa dipenuhi selama BRIN masih menyatu dengan Kemenristek.

 

Jadi, langkah Presiden yang didukung DPR untuk memisahkan Kemenristek dari BRIN, membubarkan Kemenristek dengan menggabungkannya ke dalam Kemendikbud, dan menjadikan BRIN badan otonom, seolah menegaskan dan membenarkan rumor itu.

 

Bagi mereka yang sungguh paham peran riset dan inovasi dalam pembangunan, langkah ini amat sulit diterima dan tidak masuk akal. Jelas, ini jalan keluar politis. Tapi, tentu kita tahu, meski tak bisa lepas dari politik, riset dan inovasi pertama-tama dan terutama justru bukan soal politik. Karena itu, daripada meratapi keputusan ini, lebih baik dipikirkan konsekuensi dan implikasinya agar bisa diantisipasi dan, jika perlu, dimitigasi dampaknya.

 

Konsekuensi dan tantangan

 

Prinsip mengelola konsekuensi dan implikasi ini adalah memastikan tata kelola riset, iptek, dan inovasi terbangun dan berjalan dengan baik. Dari kacamata kebijakan publik, tata kelola ini mensyaratkan pemisahan antara kebijakan dan implementasi. Dari sini, setidaknya dua konsekuensi segera terlihat.

 

Pertama, fungsi kebijakan riset dan inovasi yang dulunya ada di Kemenristek kini menjadi tanggung jawab Kemendikbud-Ristek. Tugas paling mendesak sebenarnya adalah menyelesaikan aturan turunan UU Sisnas Iptek, yang tenggatnya Agustus 2021 ini. Tugas berikutnya adalah menata kebijakan untuk mengorkestrasi riset dan inovasi sebagai tulang punggung pembangunan.

 

Memang, berbagai prioritas nasional dan rencana legacy Presiden Jokowi mesti ditata secara strategis riset dan inovasinya. Mulai dari infrastruktur, ibu kota negara baru, vaksin Merah-Putih dan Nusantara, peta jalan kendaraan bermotor listrik, hingga reformasi birokrasi. Mungkin masih banyak lagi. Tapi, yang terpenting, memastikan lewat kebijakan agar riset dan inovasi terencana dan punya strategi. Bukan sekenanya, apalagi seadanya, karena serba mau cepat dan tergesa-gesa.

 

Di sini, tugas mahaberat ada di pundak Kemendikbud-Ristek. Barangkali hanya di negeri ini ada kementerian dengan tanggung jawab kebijakan seluas ini: dari hulu (pendidikan usia dini, dasar, menengah, dan pembentukan karakter-budaya) sampai ke hilir (vokasi, pendidikan tinggi, riset, teknologi, dan inovasi). Tampaknya Presiden perlu memikirkan bagaimana semua kebijakan ini dikelola Kemendikbud-Ristek. Karena, risikonya, bisa-bisa pendidikan, ristek, dan inovasi berjalan setengah-setengah, atau malah berantakan.

 

Kedua, fungsi implementasi riset dan inovasi mesti menjadi fokus BRIN, yang menurut UU No 11/2019 tugasnya menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Karena itu, yang paling mendesak adalah segera menyusun organisasi BRIN, yang sejak dibentuk lewat Perpres No 74/2019 tak juga kunjung selesai.

 

Tantangannya besar. Karena, menurut rencana, semua lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) ristek, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), serta badan/unit penelitian dan pengembangan (litbang) di kementerian dan lembaga (K/L) akan diintegrasikan ke dalam BRIN sesuai Pasal 48 UU tersebut.

 

Tantangan ini perlu segera diatasi karena struktur BRIN mesti ditetapkan agar bisa beroperasi. Struktur ini harus mencerminkan profesionalisme dan mewadahi kepentingan riset dan inovasi. Misalnya, organisasinya harus lincah; para deputinya harus diisi profesional riset dan inovasi dari bidangnya, bukan semata PNS; mekanisme koordinasi harus efektif. Ini penting karena BRIN akan jadi ”rumah” bagi peneliti, akademisi, ilmuwan, dan inovator negeri ini.

 

Mesti diingat, BRIN adalah pelaksana. Jadi, jangan menambahkan fungsi kebijakan pada BRIN dengan alasan apa pun. Misalnya dalih karena terlalu banyak kebijakan di Kemendikbud-Ristek, atau karena kemungkinan adanya Dewan Pengarah yang santer dibicarakan. Sebab, penyatuan kebijakan dengan implementasi, apalagi ditambah pengawasan, melanggar prinsip tata kelola yang baik dan rentan penyelewengan kekuasaan.

 

Selain soal peran, tantangan di depan mata adalah administrasi. Belajar dari penggabungan atau pembentukan K/L baru selama ini, akan butuh waktu untuk menata anggaran dan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK).

 

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Restorasi Gambut (BRG), bahkan Kemenristek-Dikti butuh lebih dari setahun sebelum bisa beroperasi sepenuhnya. Nasib Kemendikbud-Ristek dan BRIN pun mungkin tidak akan jauh berbeda. Peleburan Kemenristek ke Kemendikbud pasti punya konsekuensi organisasi yang panjang. Selain itu, integrasi LPNK Ristek dan litbang K/L ke BRIN juga tidak gampang.

 

Situasi ini mesti diantisipasi sejak sekarang untuk menghindari kekosongan tata kelola ristek dan inovasi yang akan berdampak tidak hanya pada peneliti, ilmuwan, dan pelaku inovasi, tetapi juga pada seluruh kinerja riset dan inovasi negeri.

 

Riset dan inovasi bukan hanya sentral untuk menangani pandemi saat ini dan memulihkan ekonomi, ataupun mewujudkan visi politik Presiden Jokowi, melainkan kunci untuk menggapai mimpi Indonesia Maju yang dicita-citakan itu. Presiden sendiri, kalau perlu, mesti memastikan anggaran dan SOTK Kemendikbud-Ristek dan BRIN selesai tahun ini juga agar mereka bisa segera bekerja.

 

Ekosistem pengetahuan dan inovasi

 

Sepanjang 2020, Kemenristek/BRIN, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kemepan dan RB melibatkan lebih dari 15 kementerian/lembaga (termasuk Kemendikbud) menyusun dan merampungkan Cetak Biru Ekosistem Pengetahuan dan Inovasi (EPI, 2020).

 

Cetak biru ini bukan dokumen kebijakan publik dan tidak punya status hukum, melainkan disepakati menjadi salah satu referensi bagi pemerintah dalam membangun EPI. Dan memang diputuskan cetak biru ini diimplementasikan mulai 2021, dikomandani Kemenristek/BRIN didukung Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian PAN-RB.

 

Argumen utama cetak biru ini: satu-satunya jalan mewujudkan mimpi Indonesia 2045 adalah dengan transformasi ekonomi—dari ekonomi berbasis komoditas menjadi ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi—dan itu dilakukan dengan membangun EPI. Ini pun sejalan arahan Presiden Jokowi.

 

Maka, bersama Bappenas dan Kemenpan dan RB, Kemendikbud-Ristek dan BRIN bisa menjadi komandan ”baru-tapi-lama” implementasi Cetak Biru EPI, sekaligus menjadikannya salah satu rujukan menata riset dan inovasi di Tanah Air.

 

Karena, jika terwujud baik, EPI tidak hanya akan meningkatkan daya saing bangsa lewat komersialisasi dan hilirisasi riset dan inovasi, tetapi kebijakan publik juga akan makin berkualitas karena dibuat berdasar bukti dan pengetahuan. Kualitas ASN dan kinerja institusi pemerintahan makin baik karena kapasitas negara meningkat.

 

Memang mewujudkan EPI tidak gampang dan butuh waktu. Namun, itu prasyarat kalau Indonesia mau maju.

 

Sejarah sudah ditorehkan. Mungkin kita sedang ada di simpang jalan: entah seperti apa keputusan tentang ristek dan inovasi ini akan dikenang oleh anak cucu kita nanti. Yang kita tahu, negeri yang besar akan bertahan dengan ilmu; tanpa itu, ia sirna ditelan masa.

 

Semoga keputusan ini tidak menandakan matinya keberpihakan negara pada riset dan inovasi. Semangat peneliti dan ilmuwan kita mesti terus dirawat agar tidak berhenti mencintai negeri ini dan terus berkarya lewat ilmu dan inovasi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar