Jumat, 30 April 2021

 

Menatap Riset dan Inovasi Nasional

Tajuk Kompas ;  Dewan Redaksi Kompas

KOMPAS, 30 April 2021

 

 

                                                           

Tugas tak ringan di pundak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim serta Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.

 

Keduanya dilantik Presiden Joko Widodo untuk menduduki jabatan baru, Rabu (28/4/2021). Bagi Nadiem, penambahan fungsi ristek dalam kementeriannya tak disangsikan menambah beban sebab untuk dikbud saja sudah ada banyak inisiatif baru yang membutuhkan kerja keras agar berhasil, khususnya Program Belajar-Kampus Merdeka.

 

Dari konsep, kita mendukung, khususnya terkait dengan program mendekatkan riset kampus dan industri. Mahasiswa didorong untuk magang lebih panjang di industri, dan kalangan industriawan berbagi pengalaman di kampus.

 

Namun, pepatah mengatakan, ”the devil is in the detail”. Penghitungan angka penyetaraan kredit untuk program semacam ini masih perlu rincian lebih jauh. Lalu, dari sisi waktu, pandemi yang masih berlangsung entah sampai kapan membatasi waktu penerapan konsep ini. Menteri di pemerintahan berikutnya belum tentu mengadopsi program ini.

 

Selebihnya kita masih meraba bagaimana Mendikbud Ristek berbagi kerja dengan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kedua lembaga ini menyandang ”riset” dalam nomenklatur mereka. Apakah riset di Kemendikbud Ristek akan bersifat lebih riset hulu dibandingkan dengan riset di BRIN yang lebih ke hilir dan dekat dengan komersialisasi?

 

Jika melihat latar belakang Nadiem, kita membayangkan, ristek di Kemendikbud Ristek tak berorientasi riset murni, untuk kemajuan sains dan ilmu pengetahuan, tetapi juga condong diarahkan untuk lebih bersifat ke hilir, selaras dengan semangat Merdeka Belajar-Kampus Merdeka.

 

Di sinilah Mendikbud Ristek dan Kepala BRIN perlu menjelaskan kepada masyarakat mengenai program kerja masing-masing. Keduanya tetap perlu terus berkoordinasi untuk menghindari tumpang tindih dan duplikasi.

 

Kita juga ingat akan kendala lain, yakni anggaran. Negara lain di kawasan Asia ada yang mencapai 2 persen atau lebih dari produk domestik bruto (PDB). Indonesia masih di angka 0,25 persen PDB. Ini pun tersebar di berbagai lembaga yang kemungkinan besar memunculkan duplikasi dan inefisiensi.

 

Untuk BRIN, tantangan juga tidak ringan. Dalam edisi ke-13 Indeks Inovasi Global, September 2020, posisi Indonesia di peringkat ke-85, tak bergerak selama tiga tahun berturut-turut pada survei terhadap 131 negara. Faktor yang memengaruhi peringkat, antara lain, ialah institusi, sofistikasi bisnis, luaran pengetahuan dan teknologi, luaran kreatif, infrastruktur, serta modal sumber daya manusia dan riset.

 

Pandemi memunculkan sekitar 1.000 inovasi, tetapi hanya satu yang fenomenal, yakni GeNose untuk tes Covid-19 dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kita berharap kampus dan lembaga litbang pemerintah mengambil hikmah dari keberhasilan GeNose. Terkait dengan hal ini, kita juga perlu memberantas mentalitas ”kalau bisa beli, kenapa bikin sendiri”, yang memupus semangat inovasi nasional. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar