Kamis, 22 April 2021

 

Politisasi Vaksin

J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS

KOMPAS, 22 April 2021

 

 

                                                           

Mengikuti pemberitaan media arus utama dan informasi di media sosial, secara umum penyelenggaraan vaksinasi sangat diapresiasi publik. Pelayanan dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat dan para tenaga kesehatan serta sukarelawan melayani dengan hati dan penuh empati; hangat, ramah, serta tidak membedakan status sosial, suku, agama, dan sejenisnya. Semua diladeni dengan kualitas prima. Pelayanan yang bermutu mampu menebarkan getaran rasa persaudaraan yang bisa semakin meningkatkan kohesi sosial. Modal sangat potensial untuk membangun memori kolektif yang bisa menguatkan rasa-merasa sebagai bangsa.

 

Akan tetapi, vaksinasi sebagai agenda mulia menyelamatkan umat manusia selalu mendapat tantangan amukan nafsu kekuasaan. Fenomena politisasi vaksinasi adalah sejarah panjang melawan pandemi. Beberapa sejarawan menyusun studi komparasi gejala tersebut di Eropa, Asia Selatan, Asia Timur, Afrika Barat, dan Amerika Serikat dalam kurun abad ke-19 sampai dengan abad ke-21.

 

Dalam perspektif historis, kebijakan vaksinasi selalu mendapatkan tantangan dari kepentingan politik kekuasaan yang berpengaruh terhadap proses pembentukan negara, identitas nasional, kebangsaan, kohesi sosial, serta dinamika geopolitik (Christine Holmberg dkk, The Politics of Vaccination, A Global History, 2017). Politik vaksinasi cenderung dapat memperkuat kedaulatan negara, identitas nasional, dan solidaritas sosial. Namun, dapat terjadi hal sebaliknya apabila ada politisasi yang mengabdi pada kepentingan kekuasaan.

 

Mencermati perbantahan pro dan kontra soal validitas Vaksin Nusantara, menyembul pula fenomena politik kekuasaan. Adu argumen tentang validitas Vaksin Nusantara sesat nalar dan aroma politik kepentingannya menyengat. Salah satu indikasi dugaan tersebut adalah debat antara pemerintah, khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dengan para pemrakarsa dan pendukung Vaksin Nusantara. BPOM menuntut agar penggagas Vaksin Nusantara melakukan penelitian sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

 

Namun, responsnya sangat retorik dan bernuansa ideologis dengan mengibarkan idiom-idiom, antara lain, Vaksin Nusantara produksi dalam negeri dan hasil pengetahuan anak bangsa, mempresentasikan kemandirian dan kedaulatan rakyat, serta ungkapan-ungkapan patriotik lainnya. Bahkan, dengan gagah berani menuduh Ketua BPOM melakukan kebohongan publik.

 

Kontra-argumen sesat nalar (fallacy of logic) terjadi dalam dua aspek. Pertama, menyerang pribadi atau argumentum ad hominem. Kedua, argumen berdasarkan anggapan yang bersangkutan merasa kedudukan atau kekuasaannya lebih tinggi dari lawan bicaranya, argumentum ad verecundiam. Dalih tersebut juga mengandung tekanan agar lawan debat tunduk kepadanya. Politisasi semakin lebih terasa karena puluhan anggota DPR, termasuk salah satu pimpinannya serta beberapa tokoh pendukungnya, mengaku divaksin dengan Vaksin Nusantara.

 

Perdebatan seharusnya berfokus kepada isu-isu pada tataran teknis-akademis, tidak dijawab dengan semangat nasionalisme-ideologis. Debat sesat nalar ini apabila dilanjutkan sangat berpotensi membelah masyarakat, menjadi terpolarisasi, dan semakin berbahaya kalau disertai dengan hasrat politik yang membabi buta.

 

Debat kusir semacam itu mirip kisah puluhan tahun lalu dalam sidang hak asasi manusia di Geneva. Konon, Indonesia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, disertai data cukup rinci (meskipun belum tentu valid) di beberapa daerah tertentu. Akan tetapi, jawaban yang disampaikan bukan data faktual yang dapat membuktikan sebaliknya, melainkan hanya menyebutkan Indonesia tidak mungkin melanggar hak asasi manusia karena Indonesia punya ideologi Pancasila.

 

Sebaiknya diskursus dilakukan oleh para ahli yang mempunyai kompetensi pengetahuan dan moral yang tinggi karena risikonya sangat mematikan kalau dibiarkan berkembang dengan motivasi politik kepentingan. Dukungan lebih dari seratus tokoh masyarakat, termasuk para akademisi andal, diharapkan dapat menjernihkan nalar publik sehingga diskusi lebih produktif dan bermanfaat untuk masyarakat serta pengambil kebijakan publik.

 

Politisasi vaksinasi tidak boleh dibiarkan karena semakin mendekati pemilu akbar 2024, yang primadonanya adalah pemilihan presiden, sangat dikhawatirkan vaksinasi akan dijadikan obyek para bandar politik menguras kekayaan negara untuk biaya Pilpres 2024. Korupsi dapat sangat kolosal karena Pemilu dan Pilkada 2024 adalah pemilu ”bareng-bareng” yang memaksa rakyat memilih tujuh macam petinggi negara, mulai dari presiden sampai anggota DPRD kabupaten/kota. Rumor tentang pembiayaan pilpres sudah marak di kalangan elite politik. Kabarnya, hitungan kasar bagi mereka yang akan maju sebagai kandidat presiden memerlukan dana tujuh triliun sampai delapan triliun rupiah.

 

Pandemi terbukti tidak mengendurkan kohesi serta semangat solidaritas masyarakat. Kegairahan masyarakat berpartisipasi untuk divaksinasi membuktikan masyarakat optimistis dan percaya terhadap keseriusan pemerintah menangani pandemi. Dengan demikian, diharapkan kebijakan melarang warga mudik ditaati masyarakat. Tugas berat pemerintah adalah mengadakan kecukupan vaksin serta mempertahankan atmosfer kenyamanan dalam pelaksanaannya.

 

Pemerintah juga harus tetap tegas. Siapa pun yang berniat membuat vaksin mesti menerapkan standardisasi penelitian. Jangan sampai vaksin bodong diloloskan karena akibatnya sangat fatal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar