Kamis, 22 April 2021

 

Paradoks Ramadhan

Biyanto ; Guru Besar UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

KOMPAS, 21 April 2021

 

 

                                                           

Banyak pelajaran berharga yang dapat diperoleh selama kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Di antaranya, pembelajaran tentang nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesederhanaan, solidaritas sosial, serta pengharapan pada pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Allah SWT.

 

Namun, sayang sekali tak semua orang mampu menuai hasil dari pelatihan spiritual melalui ibadah Ramadhan. Bahkan ada sebagian umat yang menunjukkan perilaku bertentangan dengan nilai-nilai Ramadhan. Paling tidak ada tiga jenis perilaku sebagai paradoks Ramadhan yang bisa merusak nilai-nilai ibadah puasa.

 

Pertama, perilaku boros dan konsumtif. Perilaku boros dapat diamati melalui kebiasaan suka berbelanja secara berlebihan saat Ramadhan. Pola konsumtif biasanya kian meningkat jelang Idul Fitri. Sebagian umat berpikiran Idul Fitri harus disambut dengan pakaian dan perhiasan serba baru. Padahal, substansi Idul Fitri adalah bertambahnya ketakwaan kepada Allah sebagai hasil dari pendidikan selama Ramadhan.

 

Karena berperilaku konsumtif itulah, sebagian orang menyambut Ramadhan dengan ungkapan marhaban ya bulan belanja. Ungkapan ini antitesis marhaban ya Ramadhan. Anekdot ini menunjukkan betapa budaya konsumtif telah jadi gaya hidup sebagian umat selama Ramadhan. Budaya konsumtif jelas paradoks Ramadhan yang mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan. Apalagi dilakukan di tengah masyarakat yang sedang kesulitan akibat pandemi dan bencana.

 

Paradoks kedua, perilaku tidak sabar. Hal itu dapat diamati dari kegiatan sebagian kelompok masyarakat yang suka menempuh jalan anarkistis dengan alasan ingin menjaga suasana Ramadhan. Dengan mengatasnamakan dakwah untuk memerintah kebaikan dan melarang kemungkaran, mereka tak segan melakukan tindakan kekerasan.

 

Padahal, prinsip dalam berdakwah semestinya mengajak dan merangkul. Nabi Muhammad SAW berpesan agar dalam berdakwah selalu berpegang pada prinsip mempermudah dan tak mempersulit, menggembirakan dan tidak menakut-nakuti.

 

Ramadhan jelas mengajarkan nilai-nilai kasih sayang kepada sesama (rahmah). Ramadhan juga menekankan pentingnya kesabaran seperti tampak dalam ajaran untuk menjaga diri dari tindakan yang dapat membatalkan dan merusak ibadah puasa. Prinsip menjaga diri (imsak) itulah substansi dari ibadah puasa. Hal itu berarti setiap orang yang berpuasa tak boleh melakukan kekerasan kepada siapa pun dan atas nama apa pun.

 

Justru sikap berempati pada orang lain harus dikedepankan. Pihak-pihak yang berpotensi merusak suasana Ramadhan juga harus menunjukkan sikap empati kepada orang berpuasa.

 

Perilaku malas

 

Paradoks ketiga, perilaku bermalas-malasan. Jika sifat bermalas-malasan menjadi budaya selama Ramadhan, produktivitas kerja umat akan menurun drastis. Tak bisa dimungkiri, kondisi berpuasa dapat menimbulkan daya tahan tubuh menurun. Namun, itu bukan alasan mengurangi produktivitas.

 

Sifat malas merupakan paradoks Ramadhan yang harus dijauhi. Sifat bermalas-malasan juga bertentangan dengan Al Quran yang menegaskan bahwa Allah terus berada dalam kesibukan (QS Al-Rahman: 29).

 

Kalam Ilahi itu menekankan pentingnya spirit bekerja keras. Melalui kerja keras itulah kita menyaksikan banyak karya besar Nabi Muhammad dan sahabatnya lahir di bulan Ramadhan, seperti kemenangan pasukan Muslim dalam perang Badar dan penaklukan kota Mekkah.

 

Sejarah keemasan Islam juga diwarnai prestasi hebat yang diukir pada bulan Ramadhan, seperti keberhasilan menaklukkan Spanyol dan kemenangan dalam Perang Salib. Kemerdekaan RI juga diproklamasikan pada bulan Ramadhan.

 

Semua itu menunjukkan, Ramadhan tak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi kerja keras dan produktivitas. Bukankah Ramadhan secara bahasa berarti ’membakar’? Yang harus dibakar, karakter yang bertentangan dengan nilai-nilai Ramadhan.

 

Semoga kita mampu menghiasi Ramadhan tahun kedua pandemi ini dengan banyak beramal kebaikan dan menjauhi perilaku yang menjadi paradoks Ramadhan. Dengan cara itu, pasca-Ramadhan nanti kita akan terlahir kembali menjadi hamba yang lebih dekat dengan Allah. Karakter ini merupakan bagian dari nilai-nilai ketakwaan yang sangat penting sebagai capaian tertinggi dari seluruh rangkaian ibadah Ramadhan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar