Senin, 26 April 2021

 

Ekonomi Kreatif dan Pasar Berjejaring Sosial

Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Deputi Ekonomi Setwapres

KOMPAS, 26 April 2021

 

 

                                                           

Diksi ”perubahan” menjadi mantra anyar kehidupan, terutama di bidang ekonomi. Lanskap ekonomi makin cepat mengalami perubahan, baik dari jenis usaha, pelaku, instrumen kebijakan, pranata organisasi, maupun perkakas produksi/distribusi.

 

Jika di masa silam untuk membuat korporasi menjadi kekuatan konglomerasi dibutuhkan waktu hingga 30 tahun, sekarang proses tersebut bisa dilipat hanya dalam tempo di bawah 10 tahun (bahkan kurang dari lima tahun).

 

Teknologi informasi menjadi cagak pokok perubahan ini. Namun, hulu dari keseluruhan perubahan tersebut tak lain adalah ekonomi yang basisnya pengetahuan. Hilirnya, ekonomi dan industri kreatif menjadi ladang ”baru” yang menonjol karena sebagian besar bahan bakunya bertumpu pada pengetahuan tersebut.

 

Pada aras yang lain, dunia sedang ditindih dengan traktat SDGs (Sustainable Development Goals) yang berisi 17 tujuan dan 169 target pembangunan yang mesti dicapai pada 2030. Waktu kian memburu.

 

Perkara laten pembangunan

 

Isu SDSs perlu diangkat sejak dini dalam arus perubahan ini karena di dalamnya terkandung mandat dasar kehidupan, seperti kemiskinan/kelaparan, ketimpangan, lingkungan, pendidikan, kesetaraan jender, permukiman, pekerjaan yang layak, serta air dan energi bersih. Sepanjang Republik berdiri, dimensi persoalan tersebut selalu menjadi medan pertempuran pembangunan dari periode ke periode.

 

Isu kemiskinan, misalnya, telah dikawal secara sistematis via aneka kebijakan dan program dengan hasil yang lumayan menggembirakan. Namun, salah satu perkara yang muncul ialah dinamika kemiskinan saat terjadi instabilitas ekonomi (krisis).

 

Ketika muncul krisis besar pada 1998 dan pandemi setahun terakhir ini, jumlah penduduk miskin sontak melonjak. Tanggul hidup kaum papa roboh diterjang resesi meskipun pemerintah telah menyiapkan ragam program permanen maupun respons baru setelah pandemi. Pola yang sama terjadi pada dimensi permasalahan yang lain.

 

Hal yang sama terjadi pada soal permukiman warga, di mana masih banyak penduduk yang belum memiliki rumah laik. Pada 2018, masyarakat perdesaan yang bisa menikmati air minum layak hanya 64,1 persen dari populasi (BPS, 2019), bahkan di perkotaan pun jumlahnya juga masih besar. Akses kaum perempuan terhadap pendidikan lebih rendah dari laki-laki (terpantul dari IPM). Upah tenaga kerja laki-laki lebih tinggi sekitar 21 persen dari perempuan pada jenis pekerjaan yang sama periode 2015-2019 (BPS, 2020).

 

Ketimpangan enam tahun terakhir juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah sehingga rasio gini bisa diturunkan secara perlahan. Namun, lagi-lagi pandemi membuat ikhtiar itu mengalami gangguan sehingga ketimpangan kembali naik tipis.

 

Bencana silih berganti, seperti banjir dan longsor, akibat destruksi lingkungan yang telah dimulai puluhan tahun lalu. Daya dukung ekologi terhadap pembangunan lemah sehingga berpotensi memunggungi capaian yang sudah diperoleh.

 

Tentu saja Indonesia tidak sendirian. Secara umum, negara lain mengalami pula situasi yang sama meskipun dengan ragam dan tensi masalah yang berbeda. Pesan dari deskripsi tersebut adalah: masalah inti masih sama di tengah gemuruh perubahan ekonomi yang berlangsung.

 

Jadi, terdapat ”dua dunia” aktivitas kehidupan yang berjalan berdampingan. Pertama, sebagian besar negara menghadapi perkara laten pembangunan yang sama sejak puluhan tahun lalu, seperti kemiskinan, ketimpangan, delusi lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Jumlah komunitas ”tertinggal” celakanya masih sangat besar (mayoritas warga negara dunia). Kedua, ekonomi kian dikemudikan oleh teknologi dan informasi yang berhulu pengetahuan.

 

Sektor ini hanya bisa diisi oleh lapis kecil masyarakat sehingga berpotensi mengeluarkan banyak orang dari arena pembangunan. Di titik inilah dibutuhkan akurasi dalam penyusunan peta kebijakan dan program ekonomi dalam arus perubahan tersebut.

 

Jangkar ekonomi kreatif

 

Dunia yang makin padat pengetahuan inilah yang menjadi hulu dari pergeseran pembangunan menuju ekonomi kreatif. Informasi, internet, digitalisasi, dan aplikasi merupakan sebagian perkakas yang memungkinkan pengetahuan menjelma menjadi komoditas/jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh massa.

 

Konsep ekonomi kreatif sendiri sebagian diturunkan dari praksis industri kreatif, yang dalam beberapa hal merujuk pada budaya industri. Setidaknya terdapat lima jangkar yang bisa dikaitkan dengan konsep ekonomi kreatif tersebut (Moore, 2014), yakni: (i) aplikasi yang diharapkan mempercepat pertumbuhan pendapatan, penciptaan lapangan kerja, ekspor; serta promosi inklusi sosial, budaya, dan pembangunan manusia.

 

Kemudian; (ii) interaksi antara aspek ekonomi, budaya, dan sosial dengan teknologi, kekayaan intelektual, dan tujuan pariwisata; (iii) ekonomi berbasis pengetahuan yang menyambungkan level mikro dan makro perekonomian; (iv) pembangunan yang lebih fisibel sehingga responsif terhadap kebijakan multidisipliner dan koordinasi yang efektif; dan (v) jantung ekonomi kreatif adalah industri kreatif.

 

Ekonomi kreatif merupakan perayaan bagi rumah besar Indonesia karena keberpihakannya terhadap komitmen menjaga relasi sosial yang inklusif, menumbuhkan keragaman budaya, dan menguatkan literasi manusia. Tiap gerak kegiatan ekonomi kreatif tidak cuma memberi nilai tambah atas aktivitas ekonomi karena munculnya induksi teknologi dan injeksi pengetahuan, tetapi kesanggupannya secara total melayani kepentingan yang lebih luas tersebut.

 

Dengan demikian, wajah pembangunan ekonomi jauh lebih beradab dari praktik sebelumnya. Lebih penting dari itu, bidang besar dari ekonomi kreatif disatukan dengan instrumen penyangga nilai tambah, yaitu teknologi, kekayaan intelektual, dan pariwisata.

 

Sektor pariwisata tidak lagi dikemas sekadar kerumunan orang yang melihat indahnya panorama alam atau kreativitas buatan, tetapi dimasuki oleh gagasan yang tumbuh dari kekuatan budaya/sosial dan teknologi. Ujungnya, pariwisata menjadi gerak ekonomi yang beralas kekayaan pengetahuan dan kebudayaan.

 

Berikutnya, kegiatan ekonomi yang merelasikan antara level makro-meso-mikro selama ini direkatkan melalui proses input-nilai tambah-output (antarlevel usaha). Kebijakan transformasi ekonomi, misalnya, didekati dengan pemikiran menghasilkan produk nilai tambah di sektor tertentu sesuai sumber daya yang dimiliki.

 

Pandangan ini tidak salah, tetapi luput menyasar vitalitas pengetahuan sebagai tali yang melingkari keseluruhan proses sehingga pendekatan mikro-meso-makro dibingkai oleh pendalaman pengetahuan.

 

Proses ini bila diamalkan dalam ruang pengambil kebijakan akan memberi faedah munculnya kolaborasi yang lebih fleksibel di antara pemangku kepentingan sehingga kerja multidisipliner dan koordinasi yang tidak tersekat bidang menjadi titik tumpu gerakan.

 

Keseluruhan interaksi ini yang menumbuhkan industri kreatif: sebuah sikap ekonomi yang bergerak memperkuat hulu pengetahuan, bertumpu inklusi sosial/budaya, serta kebijakan yang tidak tersekat dalam bidang sempit. Inilah etalase ekonomi kreatif.

 

Pasar berjejaring sosial

 

Bagaimana memastikan agar kemajuan ekonomi dan industri kreatif tidak berpunggungan dengan ikhtiar membangun pemerataan pembangunan sehingga semua warga ikut dalam gerbong ekonomi? Modal apa yang dimiliki bangsa? Sekurangnya tiga kapital inti dimiliki bangsa pada aras ini.

 

Pertama, kekayaan sistem nilai telah membentuk aneka kebudayaan sehingga mosaik pengetahuan tidak pernah kehilangan pasokan. Mainan anak-anak yang dibuat dari sumber daya sekitar (pelepah pisang, bambu, buah jeruk, batang kelapa, dan lain-lain) merupakan sebagian replika kecil betapa pengetahuan lokal berkembang dan berpijak di bumi.

 

Pendidikan formal mungkin terbatas, tetapi pengetahuan bisa berpuncak dari kreativitas setempat. Kecerdasan tersebut tentu tersambung dari pintu budaya, seperti yang tersembul dari ritual saat menanam atau memanen, arsitektur rumah tradisional, atau kecantikan motif wayang dalam desain batik. Sepanjang ragam budaya itu tidak redup, industri kreatif akan terus hidup.

 

Kedua, pendalaman akses informasi (internet, digitalisasi, aplikasi) telah menjangkau sekitar 70 persen populasi. Artinya, sekitar 200 juta penduduk terpapar dalam jejaring besar dan global perekonomian. Mereka tidak saja memiliki makna sebagai ceruk pasar yang gigantik, tetapi juga produsen gagasan yang dapat dikonversi menjadi pemasok (barang/jasa) otentik.

 

Sumber pengetahuan saat ini diperoleh dari akses dan jejak digital tersebut. Kemajuan aktivitas ekonomi di lokasi/negara lain secara cepat bisa dipelajari dan dimodifikasi. Demikian pula, ekonomi kreatif yang dikembangkan di dalam negeri secara gegas dapat dipajang di etalase aplikasi yang bakal ditengok oleh warga dunia.

 

Jika akses tersebut diimbangi dengan literasi pemanfaatan dan pengolahan informasi menjadi kegiatan produksi, maka berpotensi menjadi ledakan ekonomi yang bersumber dari kekuatan jejaring pengetahuan. China adalah teladan konkret dalam melakukan mobilisasi digitalisasi menjadi hegemoni ekonomi.

 

Ketiga, tanpa disadari secara penuh sekarang telah berjalan proses perpindahan kultur secara masif di Indonesia karena adanya pergerakan: tenaga kerja-standardisasi-urbanisasi-komersialisasi. Selama 40 tahun terakhir eskalasi peningkatan kapasitas pengetahuan tenaga kerja terus berlangsung, baik lewat pendidikan formal maupun informal, sehingga standardisasi keterampilan (sertifikasi) jadi identitas baru ekonomi.

 

Kelompok warga ini yang memimpin urbanisasi sehingga jumlah penduduk di kota sudah lebih banyak dibandingkan dengan di desa. Mereka ini pula yang mendikte pasar dalam banyak sisi: jenis produksi, mekanisme distribusi, dan metode konsumsi.

 

Berita bagusnya, kaum inilah yang menjadi pasar gurih dari komoditas ekonomi/industri kreatif. Maknanya, bila pasar ini saja dikelola dengan baik, skala ekonomi dari industri kreatif telah terpenuhi (apalagi ditambah gelanggang internasional). Jangan alpa, hal ini mesti diintegrasikan pula dengan ”pasar berjejaring sosial” agar sepadan dengan upaya pemberdayaan warga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar