Selasa, 27 April 2021

 

Sejarah Kota dalam Lirik Lagu

Heri Priyatmoko ;  Dosen Sejarah, Fakultas Sastra,Universitas Sanata Dharma

KOMPAS, 26 April 2021

 

 

                                                           

Menunggu bedug Magrib di bulan Ramadan enaknya leyeh-leyeh seraya rengeng-rengeng (menyanyi lirih). Tembang lawas tak kalah larasnya dibandingkan lagu masa kini. Selain menumbuhkan ketentraman batin, seringkali tembang itu melemparkan ingatan kita pada sepotong masa. Kegembiraan merekah di palung hati tatkala lagu tersebut merekam kahanan (keadaan) daerah yang punya ikatan batin dengan kita.

 

Saya teringat syair lagu keroncong berkepala “Solo Diwaktu Malam“ anggitan Sri Widadi. “Gamelan penuh irama, Solo diwaktu malam hari, Suara seni jang meraju-raju, Meresap dan mendalam dihati, Menawan sanubari,” demikian cuilan syairnya. Ia bukan teks biasa, namun dokumen sejarah untuk melongok situasi Surakarta periode prakemerdekaan.

 

Sayangnya, tak banyak periset memosisikan lirik lagu sebagai sumber sejarah altenatif dalam berkarya. Mereka kadung memuja arsip maupun pengkisahan orang sebagai data sejarah. Bahkan, menguat adagium no documents, no history.

 

Seperti ujaran sejarawan mumpuni Sartono Kartodirdjo bahwa keotentikan suatu data sejarah bisa diuji melalui perbandingan dengan sumber sejarah lainnya. Asalkan menggunakan metodologi yang ketat dan tepat, maka lirik lagu dapatlah dipakai menunjang kerja ilmiah. Nah, di sini saya hendak mengombinasikan lirik lagu keroncong dengan sumber sejarah lainnya untuk melukiskan kembali kondisi Solo tempo doeloe.

 

Silam, kampung halaman Presiden Joko Widodo ini dijuluki “kota yang tak pernah tidur” dan “jantungnya Pulau Jawa”. Kala itu, kehidupan sosial kota begitu dinamis lantaran disokong suburnya kegiatan ekonomi. Tanpa kemapanan ekonomi, praktis dinamika budaya kota juga melambat.

 

Tak kurang Mangkunegara IV dan Mangkunegara VII mendulang sukses mengelola bisnis perkebunan, hingga praja Mangkunegaran dinobatkan sebagai kerajaan terkaya di Jawa. Ia kemudian leluasa menyolek kota. Ditinjau dari konsep arsitektur dan tata ruang perkotaan, kawasan kota Mangkunegaran yang disebut Kampung Lor lebih maju dibanding Kampung Kidul Kasunanan. Sebab, Mangkunegara VII mengadopsi konsep garden city yang terpengaruh pemikiran semasa bersekolah di Belanda.

 

Maestro keroncong Gesang terilhami akan keindahan serta kesejukan suasana salah satu taman itu. ”Tirtonadi yang permai, di tepi sungai. Suatu kebun yang permai, riuh dan ramai. Itu suaranya air, mendesir-desir. Darilah pintu air, terjun mengalir,” begitulah secarik syair lagu keroncong garapan Gesang yang mengumandang sampai di negara Jepang lantaran detik itu ”saudara tua” Jepang mengangkangi Indonesia.

 

Dari menyimak lirik lagu keroncong di muka, terbayang situasi Tirtonadi yang asri. Tirtonadi merupakan sepetak ruang publik indah yang dibangun Mangkunegara VII. Alkisah, banjir tahunan acap melumat Solo. Karena itu, dibikin Kali Anyar atau banjir kanal yang diarahkan ke timur menuju ke Bangawan Solo.

 

Dibangun pula tanggul dari utara Balekambang hingga Kandang Sapi. Guna memanfaatkan air Kali Pepe yang mengalir melalui pintu air Kali Anyar sekaligus memoles pemandangan, dibuat kolam kecil dan dihiasi bunga teratai.

 

Lalu, kolam itu diberi nama Tirtonadi. Mangkunegara VII menamainya Partimah Park, mengadopsi nama salah satu puterinya. Soeyadi (1983) menuturkan, banyak muda-mudi memadu kasih di taman pada malam hari dengan menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Suara gemericik sungai yang berada di timur taman dan adanya kreteg senggol, menambah warga kian betah berlama-lama di situ.

 

Fakta historis ini menjadi penting manakala Walikota Solo, Gibran Rakabuming bersama pemerintah pusat sedang menyiapkan revitalisasi kawasan taman Balekambang yang nantinya menyentuh Tirtonadi. Artinya, sudah ada gambaran yang disuguhkan lewat lirik lagu itu.

 

Sumber lain untuk mengecek validitas informasi yang terkandung dalam lirik lagu itu, yaitu novel sejarah ”Solo Di Waktu Malam”. Buah pena Kamadjaja (1950) ini merekam warga Solo benar-benar termanjakan oleh keberadaan Tirtonadi. Penduduk sekitar pun dapat mengais rejeki dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman.

 

Sesekali Mangkunegara VII meninjau taman yang biasa dilakukan antara pukul tujuh malam. Beliau 'mider praja' (kegiatan menyapa warga) mengevaluasi sarana dan prasarana apa yang sekiranya perlu ditambahi demi terpenuhinya kepuasan para kawula. Saking ramainya suasana pada malam hari, logis bila wanita susila juga tidak ketinggalan mencari rejeki dengan berburu ”mangsa” di situ.

 

Lagu ciptaan Mus Mulyadi ”Kota Solo” juga mengisahkan indahnya Solo, tempat kesenian asli, tarian yang indah dan lembut, banyak peziarah, banyak pemandangan. Termanggut setuju dengan apa yang dicitrakan Solo sebagai kota budaya karena dari sinilah lahir kesenian dan tradisi, terlebih kala itu eksis dua kerajaan sebagai pengembang peradaban Jawa.

 

Semua ini tentunya menjadi daya tarik wisatawan bertandang ke Kota Bengawan. Setiap orang yang hendak ke jurusan Batavia, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, terlebih dahulu berhenti di stasiun Balapan, Jebres dan Purwosari. Solo menjadi titik tengah pulau Jawa.

 

Waktu yang tersedia dimanfaatkan wisatawan berkeliling kota naik trem. Menikmati tontonan sekatenan, tayup, bioscoop, dansa di societiet harmony di Loji Wetan belakang Benteng Vastenburg, keraton, pasar tradisional, dan taman kota seperti Kebon Rojo (Sriwedari), Jurug, Tirtonadi, dan Minapadi. Masih ditambah pesona alam di Tawangmangu. Orang suka dan betah plesiran di kota ini, karena –seperti yang tertuang dalam bait terakhir lagu Kota Solo– dapat menghilangkan hati yang sedih dan duka.

 

Mengenai sisi kehidupan gender atau potret perempuan di kota ini terlukiskan dalam lagu ”Putri Solo”, yang keluar dari bibir mungil Sundari Soekotjo. Penyanyi cantik ini mendeskripsikan putri Solo yang lemah lembut, berjalan seperti harimau lapar, memakai sandal japit, kemerlap perhiasannya. Terus bait terakhir yang memikat: Jika tersenyum, dekik pipinya, hitam manis kulitannya, itulah putri Solo.

 

Lirik lagu ini walau lahir pasca kemerdekaan, tapi bisa dipercaya dengan membandingkannya melalui aneka foto lawas yang tersimpan di Perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran. Tergambar gaya wanita berpakaian, mengenal pendidikan, dan belajar kesenian tari serta membatik. Jadi, lirik lagu keroncong serta dokumentasi foto hitam putih itu menjadi modal berharga bagi ilmuwan maupun penulis novel mengkaji dinamika perempuan di tingkat lokal.

 

Demikanlah, syair lagu merupakan sumber sejarah dan penjaga ingatan. Selain itu, bait yang disenandungkan itu adalah kaca benggala bagi penguasa kota yang mencabik-cabik ruang publik demi nafsu ekonomi. Lihat saja taman Sriwedari yang pernah dibanggakan kini mengalami kehancuran. Kota tidak lagi molek serta menawarkan keindahan seperti setengah abad silam. Semoga Mas Gibran mampu menahkodai Solo dengan baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar