Kamis, 22 April 2021

 

Perkuat Inovasi Pendeteksi Tsunami Indonesia

Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan Kompas

KOMPAS, 21 April 2021

 

 

                                                           

Gempa bermagnitudo 6,1 mengguncang perairan selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021). Pada empat menit setelah gempa berlangsung, kantor Indonesia Tsunami Observation Center (InaTOC) di Jakarta menerima informasi dari buoy Malang (MLG) bahwa gempa tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami.

 

Dari kantor InaTOC, informasi itu dikirimkan ke Sistem Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika guna memverifikasi prediksi tsunami yang dibuat sebelumnya. Informasi inilah yang dipublikasikan kepada masyarakat untuk mengingatkan ada tidaknya potensi tsunami dari gempa yang sebelumnya terjadi.

 

Buoy MLG baru dipasang Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada awal Maret 2021. Buoy ini diletakkan pada 138 kilometer selatan Kota Malang, sedangkan perangkat pendeteksi tsunaminya, yaitu

Ocean Bottom Unit (OBU) ditaruh di dasar laut pada kedalaman 2.042 meter. OBU buoy MLG ini terletak 27 kilometer dari pusat gempa yang terjadi pada 10 April 2021.

 

Saat tsunami terjadi, perubahan tekanan air laut akan membuat OBU mengalami perubahan ketinggian. OBU yang bertindak sebagai tsunameter itu mampu mendeteksi perubahan tinggi hingga 3 sentimeter. Perubahan situasi di dasar laut itu dikirimkan ke buoy yang ada di permukaan laut setiap 15 detik. Kemudian, data buoy ditransmisikan ke Satelit Iridium untuk dikirimkan ke kantor Ina TOC,.

 

”Diterimanya data dari buoy MLG terkait gempa yang terjadi di daerah itu menunjukkan sistem pendeteksi tsunami buatan perekayasa Indonesia sudah mampu bekerja,” kata Manajer Umum Program Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS), yang juga Direktur Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT Muhammad Ilyas, Selasa (20/4/2021).

 

Awal tahun ini, BPPT memasang tiga buoy di selatan Jawa dan Bali. Selain buoy MLG, ada buoy SUN di selatan Selat Sunda dan buoy DPS di selatan Bali. Ketiga buoy itu merupakan bagian dari 13 buoy yang akan dipasang BPPT mulai dari barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, utara Papua, Laut Maluku dan perairan Talaud hingga tahun 2024.

 

Buoy SUN juga sudah bekerja. Buoy ini mampu mengirimkan informasi ke kantor Ina TOC sebagai respons dari gempa 5,1 magnitudo di barat daya Bayah, Lebak, Banten, pada 14 April 2021.

 

Buoy MLG dan SUN merupakan bagian dari Indonesia Buoy Generasi 3.1 (InaBuoy G3.1) yang dibuat perekayasa BPPT. Buoy ini dirakit di PT PAL Indonesia, Surabaya, Jatim, dengan sebagian besar komponen diimpor dari Amerika Serikat (AS). Dibandingkan generasi sebelumnya, buoy terbaru ini dilengkapi fitur maju yang menjamin keberlangsungan sistem lebih lama dan keamanan lebih baik.

 

Selain InaBuoy, BPTT juga mengembangkan sistem pendeteksi tsunami berbasis kabel atau Indonesia Cable Based Tsunameter (InaCBT) dan berbasis tomografi akustik atau Indonesia Coastal Acoustic Tomography (InaCAT).

 

Sebanyak dua InaCBT direncanakan dipasang di Rokatenda dan Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Pendeteksi tsunami berbasis kabel itu bisa lebih cepat menyampaikan informasi adanya tsunami ke masyarakat sekitar. Namun teknologi ini memiliki investasi yang besar walau biaya pemeliharaannya relatif lebih murah.

 

Adapun InaCAT yang mendeteksi tsunami berbasis data arus dan gelombang itu direncanakan di pasang di Selat Lombok. Sistem ini juga akan menghimpun data kelautan yang bisa dimanfaatkan untuk pelayanan transportasi laut serta pengumpulan data tentang perubahan iklim global.

 

”BPPT terus berburu inovasi untuk menerapkan teknologi dalam mitigasi bencana tsunami,” kata Kepala BPPT Hammam Riza.

 

Untuk teknologi buoy, saat ini AS menjadi penguasa pasar. Jika Indonesia bisa mengembangkan buoy secara mandiri, inovasi itu bisa diekspor ke berbagai negara yang juga rentan menghadapi tsunami, khususnya negara di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sementara untuk pendeteksi tsunami berbasis kabel ataupun tomografi akustik, Jepang memiliki keunggulan.

 

Meski buoy MLG dan SUN dalam InaBuoy G3.1 sudah berhasil,  Ilyas mengingatkan setiap produk teknologi buatan siapa pun memiliki keterbatasan. Buoy produksi AS pun tidak luput dari salah hingga keliru mendeteksi tsunami. Situasi itu membuat pemeliharaan buoy menjadi penting.

 

Berkaca pada rusak dan hilangnya buoy pendeteksi tsunami sebelumnya, sosialisasi kepada nelayan dan masyarakat di sekitar lokasi buoy harus dilakukan. Keterlibatan masyarakat dalam menjaga buoy mutlak diperlukan karena pemeliharaan buoy tidaklah murah dan mudah. Di sisi lain, perekayasa BPPT juga terus mengembangkan surveilens mandiri hingga bisa mendeteksi keberadaan buoy jika berpindah tempat.

 

Saat ini, tim BPPT sedang mengevaluasi berapa masa hidup InaBuoy yang sudah dipasang. Penyediaan buoy butuh keberlanjutan mengingat pemantauan tsunami itu tidak boleh terputus. Karena itu, keterlibatan industri sebagai bagian dari proses hilirisasi riset maupun komersialisasi produk inovasi mutlak diperlukan. Konsep pentaheliks akan membuat inovasi teknologi pendeteksi tsunami bisa dikembangkan lebih baik dan lebih cepat.

 

Kini, perekayasa Indonesia berharap dukungan penuh dari pemerintah hingga bisa mewujudkan buoy Merah Putih yang dicita-citakan selama ini. Kemampuan mereka makin berkembang seiring makin banyaknya pengetahuan yang dikuasai. Semangat mereka pun tinggi meski harus bekerja di laut lepas untuk memasang OBU dan buoy menggunakan kapal riset yang berumur lebih dari 25 tahun.

 

Inovasi sistem pendeteksi tsunami adalah inovasi teknologi tinggi yang bukan sekadar membeli atau memasang alat. Inovasi ini akan berkelanjutan jika ada keberpihakan yang jelas dari pemerintah. ”Perekayasa Indonesia mampu selama diberikan kesempatan untuk berinovasi,” kata Ilyas. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar