Sabtu, 17 April 2021

 

Komunikasi Kebajikan dalam Spirit Ramadhan

Widodo Muktiyo ; Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo

                                                         KOMPAS, 15 April 2021

 

 

                                                           

Sudah dua hari kita menjalani bulan suci Ramadhan. Keutamaan dan kemuliaannya membuat setiap Ramadhan selalu terasa istimewa. Di tengah pandemi dan upaya-upayanya, di tengah keriuhan/kegaduhan dan ketegangan, paradoks-paradoks, serta kelogisan nalar untuk tetap berjuang dalam mewujudkan cita-cita negara, sepertinya Ramadhan 1442 H adalah momen penting untuk menahan diri.

 

Tidak berkata-kata, kecuali yang baik-baik. Tidak pat gulipat dan manuver sana atau sini, yang memicu urat leher menjadi kencang dan panas. Pun kerumunan-kerumunan yang menimbulkan kluster penularan baru. Sebagai penghormatan terhadap kemuliaan bulan suci kali ini sudah sepatutnya kita menahan diri terhadap ucapan dan tindakan yang sia-sia dan tidak perlu.

 

Menahan diri di bulan Ramadhan berarti berinstrospeksi. Menanggalkan perkataan-perkataan yang sia-sia dan menjauhkan diri dari kebencian, pertengkaran, apalagi pertumpahan darah. Ia hadir untuk digunakan bermuhasabah, sebagai diri, bagian dari keluarga, dan menjadi bagian dari bangsa menuju ketakwaan individu dan sosial.

 

Dengan ketenangan jiwa dan kebersihan hati, kita dapat menanyakan: sudah seberapa baikkah kita? Sudah seberapa besarkah kemanfaatan dan sejauh mana sumbangsih kita bagi perjalanan bangsa? Refleksi yang tulus dan langsung ini tidak saja penting, tetapi sekaligus membawa kita kepada kesadaran horizon diri yang lebih tinggi.

 

Meskipun satu bulan dan hanya datang satu tahun sekali, jika dibandingkan dengan perjalanan bangsa kita, Ramadhan selalu dapat menjadi waktu bernilai untuk merenungkan setiap perjalanan dan perjuangan bangsa. Tujuh puluh enam tahun lalu, kemerdekaan bangsa kita, ada di bulan suci Ramadhan, menunjukkan bulan ini ada sesuatu yang sakral dan energi luar biasa yang kita isi dengan pembangunan dan perjuangan hingga kini.

 

Mengasah diri

 

Di dalam ajaran berpuasa di bulan Ramadhan termaktub, jika ada yang datang kepadamu untuk mendebat dan membuat kegaduhan, katakanlah saya sedang berpuasa. Maknanya berpuasa itu memiliki marwah dan adab. Ia sebuah ruang peribadatan dan kontemplasi tetapi dekat dengan Tuhan.

 

Di dalam Ramadhan, selama sebulan penuh, setiap diri menyibukkan untuk bertransendensi dan bertransformasi menemukan jati diri kembali, yang mungkin telah menyimpang terlalu jauh oleh ambisi dan keserakahan serta ketidakpercayaan karena pengaruh fitnah dan hasutan.

 

Dalam konteks diri, manusia sebagai makhluk komunikasi, yang berkata-kata dengan bahasa, melakukan pertukaran makna, dan hidup melalui tindakan-tindakan simbolik beserta implikasinya, mengasah diri sebagai komunikator bukan saja perlu, tetapi wajib, untuk sedapat mungkin menghindari terjadinya kesia-siaan dalam berkomunikasi.

 

Betapa banyak terjadi pertikaian, perselisihan, dan permusuhan karena kesia-siaan komunikasi di antara kita. Begitu seringnya, jika tidak dikatakan biasa, kita memoralisasi diri melalui kata-kata untuk menutupi niat buruk. Melalui tindakan simbolik, sebuah dongeng menjadi fakta, sedangkan fakta menjadi bisu. Argumentasi bukan didudukkan sebagai penghormatan nalar, tetapi lebih sebagai pemanis. Pada tingkat akut, permasalahan ini telah menjerat kita untuk tidak saling percaya dan curiga.

 

Bukan hal yang kebetulan jika di dalam kultur Jawa dan momentum Ramadhan ada titik temu. Ada pepatah Jawa yang mengatakan ngulat sarira hangrasa wani. Kita mesti memiliki keberanian menelisik diri, menemukan hambatan-hambatan, dan pada gilirannya mendapatkan kemampuan untuk melepaskan ketergantungan dan bayang-bayang ketakutan yang tidak perlu.

 

Di sisi lain, refleksi diri itu, ada pada ucapan. Ajining diri ono ing lathi. Di sinilah, dalam perspektif Aristotelian, ditunjukkan bahwa krediblitas seseorang dalam kedudukannya sebagai komunikator dapat diasah melalui tiga pendekatan, yakni karakter, intelektualitas, dan motivasinya. Semua pesan, sebenarnya adalah refleksi dari karakter, intelektualitas dan niatan penyampainya.

 

Dalam tataran moralitas bulan suci Ramadhan, ujung dari rangkaian peribadatan itu adalah ketakwaan yang sebenarnya di dalam terminologi takwa itu, dalam hemat pandangan saya, tercakup tiga dimensi, yang sejalan dengan apa yang dipersyaratkan untuk menjadi seorang komunikator yang disegani. Mereka yang memiliki kejujuran akan memproduksi pesan yang konsisten.

 

Sikap ketegasan lahir dari keberanian yang bersumber dari keadilan.

 

Kelapangan dada dalam menerima kritik tercipta karena sikap terbuka. Sikap tenang dan tidak emosional muncul karena daya tahan diri dan kesabaran. Pendek kata, mereka yang memiliki karakter yang baik, sudah barang tentu, tidak memiliki motivasi untuk mencederai atau mendustai ucapannya sendiri.

 

Obyek-obyek sentral karakter semacam itu, seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, dan kelapangan dada, merupakan tema-tema utama, yang menjadi sasaran terus-menerus, dalam setiap kali kita bertemu dengan Ramadhan. Di sanalah karakter yang berkarat, ditempa oleh panasnya lapar dan dahaga, dilembutkan dengan basuhan air wudhu, diperindah dengan ucapan-ucapan yang mulia dari Kitab Suci, dan mencerabut kedengkian serta keserakahan dengan mengeluarkan shodaqah dan zakat.

 

Secara intelektualitas, bulan suci Ramadhan kembali mengantarkan kita pada pencerahan pemikiran. Pesan-pesannya mengajarkan kepada kita agar dapat membedakan mana yang bersifat instrumental dan mana yang substantial, mana yang temporal dan mana yang abadi, serta mana yang hakiki dan mana yang fatamorgana. Kecerdasan yang bersih pula yang menuntun kemampuan dalam membedakan mana taktik dan mana yang licik. Karakter dan kecerdasan menuntun pada cara kerja yang menghasilkan legacy yang akan terus dikenang.

 

Belajarlah mendengar

 

Dalam kesibukan diri tidak berkata-kata yang sia-sia di bulan suci Ramadhan itu, cobalah belajar mendengar dari pemimpin dan sebaliknya. Sebab, salah satu dari mereka yang mendapatkan naungan Allah SWT di hari kiamat kelak adalah pemimpin yang adil. Dalam keheningan, merenungkan apa yang dilakukan para pemimpin, barangkali menghasilkan retrospeksi dan refleksi yang lebih mendekatkan daripada kecurigaan serta ketidakpatuhan.

 

Apa yang dipikirkan pemimpin yang adil pasti berbeda dengan apa yang dipikirkan mereka yang dipimpin. Apa yang dikatakan pemimpin dengan sendirinya berdampak luas di masyarakat. Beban pemimpin jauh lebih berat berlipat-lipat. Bisa jadi, beban yang sudah berat itu, ditambah, buruknya hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin.

 

Sosok pemimpin yang adil dan bijak, bagaimanapun ia menerima sikap-sikap dan cara-cara komunikasi rakyatnya, ia tetap menunjukkan kesantunan dan kelembutannya. Seperti Musa AS, yang tetap tenang dan lembut, ketika dituduh oleh pengikutnya telah mengada-ada. Konsistensi ketenangan dan kelembutannya ditunjukkan dalam berbagai situasi yang berbeda-beda.

 

Sebagian kecil atau sebagian besar pengikut yang tidak simpatik adalah merupakan keniscayaan bagi setiap perjalanan kepemimpinan seseorang. Bagi Musa AS, ia tetap merespons apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan skeptis dari pengikutnya sepanjang itu diperlukan, sedangkan di sisi lain, ia tunjukkan tindakan-tindakan konkret sebagai bukti kebenaran dari kepemimpinannya.

 

Bagi setiap pemimpin yang penting adalah bagaimana ia dapat menghantarkan apa yang menjadi visi dan misinya berdasarkan pada prinsip kebenaran, keadilan, kejujuran dan kemanfaatan. Sebab itu adalah catatan terbaiknya yang paling bernilai baginya.

 

Akhirnya, sejauh masih ada waktu dan bertemu dengan Ramadhan, masih ada kesempatan kembali dan mengambil kebajikan-kebajikan daripadanya. Kemuliaannya memberikan ruang dan cara untuk meluruhkan semua kesalahan, kealpaan, ketidakpedulian, dan kemudian terlahir kembali menjadi insan yang kalau berinteraksi dan berkomunikasi memiliki kesantunan dan budi pekerti yang terpuji.

 

Semua itu merupakan wujud kebajikan komunikasi dengan sesamanya, dengan pemimpin kita dan dengan rakyatnya. Karenanya pula, ini adalah modal kultural kita untuk mengatasi seberat apa pun persoalan yang menimpa bangsa kita. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar