Jumat, 30 April 2021

 

Perjuangan Kartini Melintas Batas Identitas

Misiyah ;  Direktur Institut KAPAL Perempuan

KOMPAS, 27 April 2021

 

 

                                                           

Kartini selalu diperkenalkan sebagai sosok pahlawan yang identik dengan perjuangan pendidikan perempuan karena Kartini mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan untuk pertama kalinya di Hindia Belanda. Inilah yang ada dalam ingatan saya tentang pelajaran sejarah tentang Kartini di sekolah. Setelah mendalami sejarah Kartini, akhirnya menemukan lebih dari itu bahwa Kartini sangat kritis melawan budaya patriarki di berbagai lini kehidupan.

 

Pemikirannya melampaui sekadar masalah pendidikan. Perhatiannya sangat besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, kesetaraan, isu-isu kesehatan, kemiskinan dan kolonialisme.

 

Di pengujung abad XIX, Kartini sudah mengobarkan api perlawanan, sebuah perjuangan luar biasa dilakukan oleh perempuan pada zamannya. Kartini perempuan muda pemberani meski ada dalam lingkaran kuasa tradisi feodal yang membelenggu perempuan, ia tetap melawan pingitan, perkawinan anak, perdagangan perempuan dan anak, poligami, dan pembatasan terhadap ruang gerak perempuan di segala lini kehidupan.

 

Di antara peliknya situasi perempuan, ia juga memikirkan kesejahteraan rakyat bumiputera, kesehatan maupun pendidikan. Ia tak pernah menyerah untuk mengajarkan cara berpikir kritis terhadap ketidakadilan oleh siapa pun dan alasan apa pun.

 

Kartini memperjuangkan pemikiran dengan penuh tantangan dan rintangan, tanpa iklim yang mendukung kebebasan berekspresi ataupun keterbukaan politik seperti sekarang. Jika pada masa sekarang komunikasi lintas negara dapat dilakukan dalam hitungan menit saja, saat itu Kartini membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk berkorespondesi dengan sahabat-sahabatnya di Eropa.

 

Kartini harus menerabas perizinan ketat jika ingin dilibatkan dalam pertemuan publik, jauh berbeda perempuan sekarang dapat melakukannya kapan saja. Kartini berjuang dalam situasi tekanan politik penjajahan yang mengeksploitasi, membodohkan dan memiskinkan rakyat bumi putera.

 

Penghayatan Kartini terhadap kemiskinan

 

Dalam buku yang ditulis oleh Pramodya Ananta Toer yang judulnya Panggil Aku Kartini Saja (2003), Kartini, sebagai keturunan ningrat anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Sosroningrat, harus hidup berjarak dan terpisah dengan rakyat jelata. Namun, ia berusaha melepas batas identitas kelas ini dengan cara mencintai, menghargai, memikirkan kesulitan, menghayati kemelaratan dan penderitaan rakyatnya.

 

Meski Kartini ada dalam kungkungan tradisi feodal yang keras dan tidak memungkinkan dapat bergaul dengan rakyat jelata, suatu saat Kartini masih sanggup menemukan seorang bocah umur 6 tahun yang sedang berjualan rumput. Bocah ini diikuti hingga sampai rumahnya dan Kartini menemukan dua adik si bocah yang diurus karena emaknya pergi bekerja. Mereka belum makan dan hanya makan nasi sehari satu kali ketika emaknya pulang mendapatkan upah.

 

Kartini melihat diluar dirinya begitu banyak derita dan kemelaratan yang dialami rakyatnya. Ia menuliskan ”seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang sekelilingku. Dan lebih keras lagi daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar begitu jelas, tampak tertulis di depan mataku…”.

 

Meretas sekat agama

 

Sebagai gadis Muslim, ia berusaha menghayati ajaran dengan cara meminta terjemahan Al Quran dalam bahasa Jawa. Penghayatannya terhadap praktik beragama Islam adalah untuk berbuat kebaikan tanpa kebencian terhadap pemeluk kepercayaan dan agama yang berbeda. Ia juga melakukan penerimaan dan penghormatan kepada yang berbeda, ia tidak menolak ketika mendapat sebutan sebagai anak Buddha. Ia juga menerima Pandita Ramabai, seorang Protestan dari India menjadi pahlawan bagi jiwanya sendiri.

 

Ia mengajarkan hidup yang sarat dengan penghormatan, mengutamakan nilai kemanusiaan dan menepis fanatisme terhadap identitas keagamaan. Bahkan, ia mengkritik pihak yang mengatasnamakan agama dan menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan.

 

Dalam suratnya 6 November 1899 kepada Nona Estella H Zeehandelaar itu, secara keras ia melawan poligami. Ia tidak akan dapat menghormati seseorang yang sudah kawin dan sudah menjadi bapak, yang apabila sudah bosan kepada ibu anak-anaknya, kemudian membawa perempuan lain ke dalam rumahnya dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam.

 

Kartini tidak akan menerima ajaran yang mengizinkan laki-laki melakukan poligami karena poligami menyebabkan manusia lain menderita. Apa pun yang menyebabkan penderitaan bagi manusia lain adalah dosa. Ia menentang dan mempertanyakan, dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang dengan wanita lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Dan semua itu menguntungkan laki-laki dan tak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan.

 

Kartini juga bicara tentang bahaya fanatisme dalam beragama karena dapat menyebabkan orang saudara kandung saling berlawanan hanya karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pasangan yang saling mengasihi akhirnya bercerai-cerai akibat berlainan tempat menyembah Tuhan.

 

Pembunuhan pun juga dapat terjadi dengan mengatasnamakan agama. Dalam kebimbangan, ia mempertanyakan benarkah agama itu restu bagi manusia. ”Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!”

Inspirasi pergerakan

 

Pada zaman diberlakukannya pingitan terhadap anak perempuan yang dimulai sejak usia 12 tahun untuk menunggu perjodohan, Kartini mampu bertahan hingga usia 23 tahun tidak menikah. Sebuah ketidaklaziman pada masa itu terlebih bagi Kartini yang lahir sebagai keluarga ningrat. Namun, pada akhirnya ia dinikahkan dengan Bupati Rembang Djoyoadiningrat pada 1903. Setahun kemudian pada 13 September 1904 Kartini melahirkan RM Soesalit dan belum seminggu setelah melahirkan tepatnya 17 September 1904 adalah akhir dari hidupnya.

 

Empat tahun sebelumnya Kartini menuliskan surat yang berat sekaligus penting untuk perjuangan perempuan. Ia mengatakan bahwa ”jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak dan lubang; jalan itu berbatu-batu, terjal, licin... belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab, jalan tersebut sudah terbuka dan saya turun membantu menerabas jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Bumiputera”.

 

Perjuangan Kartini menginspirasi gerakan perempuan dan lebih jauh menginspirasi dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang memiliki keprihatinan terhadap kesehatan rakyat Bumiputera yang terjajah. Para siswa STOVIA menghidupkan pikiran-pikiran Kartini dengan cara mendirikan Raden Adjeng Kartini Club oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pelopor gerakan antikolonialisme yang radikal.

 

Sudah lebih seabad Kartini meninggal, tetapi jiwa juangnya tetap membara dan menjadi tanggung jawab kita untuk melanjutkannya. Memerdekakan perempuan dari belenggu patriarki, membebaskan perempuan yang dijadikan obyek dengan mengatasnamakan agama, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender, membawanya pada kehidupan yang sejahtera, terbebas dari segala bentuk kekerasan berbasis jender. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar