Menelisik
Vaksin Nusantara Iqbal Mochtar ; Dokter
dan Pengamat Masalah Kesehatan |
KOMPAS, 19 April 2021
Vaksin Nusantara tiba-tiba menjadi isu
kontroversial. Awalnya sederhana. Mantan Menteri Kesehatan Agus Terawan dan
timnya mengadakan uji coba vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik di
Indonesia. Saat ini, uji coba telah masuk tahap 2 dan dilakukan pada sejumlah
terbatas subyek. Sejumlah pihak mengklaim vaksin ini karya anak bangsa. Mungkin karena namanya vaksin Nusantara.
Antara lain karena alasan ini, sejumlah pihak mendukung penuh, termasuk
beberapa tokoh publik. Berita dukungan mereka tersebar ke media massa dan
media sosial. Beberapa anggota DPR ikut berpartisipasi sebagai subyek uji
coba. Alasannya, nasionalisme; produk anak bangsa harus didukung maksimal.
Dukungan mengalir. Di sisi lain, BPOM sebagai regulatory body
bahan obat dan makanan di Indonesia tidak atau belum memberi izin melanjutkan
penelitian. Alasannya tegas; hingga saat ini penelitian ini tak memenuhi
standar pengujian vaksin yang tepat dan baik. BPOM pun jadi bulan-bulanan sebagian pihak.
Dianggap tidak nasionalis. Tidak mendukung karya anak bangsa. "Dendritic-based
vaccine" Secara sederhana sel dendritik adalah sel
dalam tubuh manusia yang dapat menginduksi, mengoordinasi dan mengatur
respons imun. Karenanya, dinamakan juga antigen presenting cell. Sel ini
terdapat pada kulit, hidung, paru-paru dan darah. Secara fungsional, sel
dendritik dikategorikan atas dua jenis, yaitu yang mature dan immature. Sel immature berfungsi mengambil dan
memproses antigen yang masuk ke tubuh. Sedangkan sel mature berfungsi
mempresentasikan antigen. Dengan kerja sel dendritik ini, tubuh
mengidentifikasi dan meregulasi antigen dan selanjutnya merangsang timbulnya
antibodi, termasuk limfosit T. Selain itu, respons imun yang dibentuk
dapat mencakup Th1, Th2, Treg atau Th17. Mengutak-atik sel dendritik
diharapkan dapat membangun respons imun dan antibodi. Dan prinsip ini yang
menjadi basis studi vaksin Nusantara. Sel dendritik sejatinya bukan isu baru di
dunia kedokteran. Ralph Steinmann dan Zanvil Cohn dari Universitas
Rockefeller pada 1973 pertama kali menemukan adanya sel yang bentuk dan
gerakannya aneh pada limpa tikus. Sel ini menyerupai pohon, karenanya
dinamakan sel dendritik. Dalam bahasa Yunani, dendritik berarti pohon. Pada manusia, Paul Langerhans yang pertama
kali mengidentifikasi sel ini pada kulit manusia. Sebelum ditemukannya sel
dendritik, penelitian imunologis penyakit lebih banyak terfokus pada antigen
dan limfosit. Setelah penemuan bersejarah ini, sel dendritik menjadi
alternatif obyek studi. Banyak penelitian yang mempelajari peranan sel
dendritik terhadap penyakit, terutama kanker dan infeksi. Salah satu di antaranya
adalah studi vaksinasi kanker. Penelitian ini mempelajari bagaimana
menggunakan respons imunitas, terutama sel dendritik, dalam mengobati kanker.
Sel dendritik, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan obat kanker
lainnya, dihipotesiskan dapat menghentikan laju penyakit kanker. Namun
studi-studi pada berbagai jenis kanker ini belum memberikan hasil yang
meyakinkan. Sebagian dianggap berpotensi bermanfaat dan sebagian lagi tidak
bermanfaat. Kasarnya, belum memuaskan. Diilhami hipotesis peranan sel dendritik
dalam meningkatkan antibodi, beberapa ahli kemudian melakukan ekstrapolasi
hipotesis. Bahwa sel dendritik juga bisa bermanfaat sebagai vaksin Covid-19.
Hipotesis ini muncul sejalan dengan merebaknya pandemi. Sejumlah penelitian mempelajari pembuatan
vaksin Covid-19 dengan menggunakan sel dendritik. Salah satu pionernya
Celartics Biopharma di China. Pada 20 Mei 2020, perusahaan ini diberitakan
telah mematenkan vaksin mereka yang memakai sel dendritik, yang dinamai
Cov-DCVax. Namun berita perkembangan vaksin ini
menjadi tak jelas saat ini. Selain Celartics, perusahaan AS, Aivita
Biomedical juga meneliti pembuatan vaksin Covid-19 dengan sel dendritik. Karya
anak bangsa? Potensi vaksin yang sementara diteliti oleh
tim Terawan tercatat di US Clinical Trial Government. Meski demikian,
disclaimer pencatatan ini menyatakan bahwa ketercantuman dalam daftar ini
bukan berarti bahwa penelitian ini telah disetujui pemerintah AS atau US
Federal Government. Penelitian ini juga tercatat di Kementerian Kesehatan RI.
Meski tercatat, nama vaksin yang diteliti bukan vaksin Nusantara tetapi
Cov-DCVax. Entah nama Nusantara muncul dari mana. Pada kedua registrasi itu disebutkan bahwa
kolaborator vaksin ini adalah Aivita Biomedical Inc Amerika, PT Aivita
Biomedikal Indonesia, Kementerian Kesehatan RI, RSUP Kariadi Semarang dan
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Jadi penelitian ini legal. Bukan
kucing-kucingan. Aivita Biomedical sendiri adalah sebuah perusahan Amerika
yang fokus dalam pembuatan vaksin untuk kanker dan Covid-19. Dalam situs mereka disebutkan, vaksin yang
diujicobakan di Indonesia adalah buatan mereka. Proyek mereka. Vaksin mereka
ini menggunakan sel dendritik autologous yang telah diisi spike protein
Covid-19. Uji coba dilakukan di Indonesia. Mereka sementara menjajaki
kemungkinan melakukan uji serupa di AS. Jadi konsep vaksin, bahan, alatnya dan
sebagian peneliti yang terlibat dalam vaksin ini berasal dari perusahaan AS
ini. Indonesia hanya jadi tempat uji coba. Maka terdengar aneh bila vaksin
ini dianggap karya anak bangsa. Apalagi dihubungkan dengan nasionalisme. Dalam rilis informasi per 25 Februari,
Aivita mengklaim mereka telah sukses menyelesaikan fase 1 uji vaksinnya di
Indonesia. Uji tahap 1 ini memakan waktu lebih dari sebulan. Dengan menggunakan
27 orang coba, mereka menyebutkan hasil uji klinik tahap 1 berjalan baik,
bisa ditoleransi, tak menimbulkan efek samping serius dan orang yang
menjalani uji coba terbukti telah memproduksi antibodi. Mereka merencanakan
uji vaksin ini akan berlangsung setahun, hingga 31 Januari 2022. Rilis ini tampaknya tak sesuai dengan
catatan BPOM. BPOM awalnya telah memberikan izin pelaksanaan uji klinik fase
1 sambil terus melakukan pemonitoran dan pendampingan. Namun dalam
perjalanannya, BPOM mencatat sejumlah hal ganjil terkait uji klinis ini.
Karena itu, BPOM tidak atau belum memberikan izin untuk melanjutkan ke fase
2. Dianggap belum layak masuk fase 2.
Alasannya, penelitian tak penuhi berbagai syarat penting yang diperlukan, di
antaranya cara uji klinik yang baik (good clinical practice), pembuktian
konsep studi (proof of concept), praktik laboratorium yang baik (good
laboratory practice) dan cara pembuatan bahan yang baik (good manufacturing
practice). Lebih dari itu, jenis bahan vaksin yang
digunakan dianggap tak memenuhi derajat memuaskan dari bahan (pharmaceutical
guide) dan karena itu tak memenuhi kriteria pembuktian konsep yang baik. BPOM
juga mencatat beragam efek samping dan menganggap penelitian ini tak penuhi
kaidah medis karena terkait persoalan komite medik. "Evidence-based
medicine" Bidang kedokteran adalah bidang sains yang
presisi. Bukan mengawang-awang. Semua hipotesis dan konsep yang digunakan
atau dipraktikkan mesti diuji dan dikalibrasi dengan standar uji ketat,
diakui dan terstandarisasi. Memenuhi standar evidence-based medicine.
Termasuk persetujuan penggunaan obat dan vaksin. Ini penting karena
menyangkut hayat hidup orang banyak. Dapat memberi efek serius dan bahkan
mematikan. Untuk persetujuan vaksin, keterpenuhan evidence-based medicine
diukur dengan pelaksanaan uji vaksin yang terstandarisasi secara
internasional. Standar ini universal; semua negara menganutnya. Fase uji
vaksin standar terdiri atas fase pre-klinis (percobaan binatang) dan fase
klinis (percobaan pada manusia). Fase klinis terdiri atas 3 fase utama, yang
tiap-tiap fase memiliki tujuan dan standar berbeda terkait tujuan, jumlah
orang yang diuji, kriteria keamanan dan sebagainya. Fase-fase ini sangat
ketat standarnya. Pada setiap fase ada indikator yang harus dipenuhi dan tak
bisa ditawar-tawar. Sebelum memberikan persetujuan uji dan
penggunaan vaksin, regulatory body setiap negara wajib mempelajari, mengawasi
dan memantau uji vaksin. Uji vaksin harus benar dan sesuai standar. Bila ada
hal-hal yang tak bersesuaian atau bertentangan dengan kriteria standar,
regulatory body berhak menegur, tak melanjutkan atau bahkan mencabut izin
penelitian. Ini tugas dan domain mereka. Sebagai regulatory body di Indonesia, BPOM
tentu harus bekerja profesional. Menegakkan prinsip-prinsip evidence-based
medicine dan standar sains yang berlaku. Prinsip ini absolut dan tidak bisa
ditawar-tawar. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak boleh
neko-neko dan menoleransi praktik yang tidak bersesuaian demi kepentingan
tertentu. Dan ini berlaku universal. Semua obyek harus diperlakukan sama.
Termasuk proyek vaksin Nusantara. Harus dikawal dan dievaluasi agar proses
uji klinik yang dilakukan benar-benar memenuhi standar. Proses sama juga
terjadi saat pengajuan persetujuan vaksin Sinovac sebelumnya. Persetujuan
vaksin ini sempat tertunda beberapa waktu karena ada beberapa hal yang perlu
diperjelas dan dilengkapi dari uji vaksin ini. Nasionalisme
versus sains? Kalau dilihat secara utuh, sejatinya vaksin
Nusantara ini bukan karya anak bangsa. Ini adalah proyek yang dilahirkan dan
dikembangkan oleh perusahaan vaksin AS, Aivita. Mulai dari konsep, hipotesis,
bahan dan alatnya, punya mereka. Sebagian peneliti juga adalah orang mereka.
Ini proyek mereka. Indonesia hanya menjadi tempat uji coba penelitian ini.
Plus iming-iming transfer teknologi tentunya. Jadi secara kasar, proyek vaksin ini tak
beda dengan vaksin Sinovac. Konsep, bahan dan kits-nya semua dari China.
Indonesia jadi tempat uji coba. Kalaupun kita mengotot mencari perbedaan,
maka perbedaannya hanya terletak pada bahan yang digunakan. Vaksin Sinovac menggunakan kuman Covid-19
yang dimatikan, sedangkan vaksin Nusantara menggunakan sel dendritik. Dengan
kondisi demikian, terlalu berlebihan bila vaksin ini digembar-gemborkan
sebagai karya anak bangsa. Apalagi sampai menghubung-hubungkan semangat
nasionalisme dengan vaksin ini. Sel dendritik sendiri bukan barang gaib
atau imajinasi. Ini sebuah konsep medis modern yang sementara berkembang dan
sementara banyak diteliti. Ini saintifik. Jadi wajar bila ada pihak-pihak
tertentu yang ingin mempelajari dan menggali lebih dalam konsep ini, termasuk
dalam bidang vaksin Covid-19. Tak ada yang keliru. Yang perlu dipahami,
penelitian sel dendritik vaksin Covid-19 ini masih penelitian tahap awal.
Konsepnya masih berupa hipotesis yang masih harus dibuktikan. Bisa saja nanti
terbukti bahwa sel dendritik ini jadi bahan vaksin Covid-19 yang hebat dan
berguna. Bisa juga sebaliknya. Hanya uji vaksin yang ilmiah dan standarlah
yang mampu membuktikan apakah sel dendritik vaksin ini nanti bermanfaat atau
tak berguna (useless). Tak ada cara lain. Karena itu, tim peneliti sudah
selayaknya menghargai, memenuhi dan menjalankan standar dan protokol uji
vaksin yang benar. Termasuk memerhatikan dan memenuhi catatan atau
rekomendasi BPOM. Bukan melanjutkan penelitian sesuai keinginan. Pihak peneliti dan BPOM mesti duduk satu
meja. Melakukan komunikasi lebih intens dan profesional. Melihat celah untuk
membuat penelitian lebih baik dan bermanfaat. Sejumlah tokoh publik perlu
menahan diri untuk tak berpihak. Apalagi memberi image prematur bahwa vaksin
ini baik, sukses dan bermanfaat. Padahal vaksin ini sendiri masih dalam taraf
awal penelitian dan ujung penelitiannya masih setahun lagi. Semua bidang memiliki domain spesifik.
Vaksin adalah domain kedokteran dan kesehatan. Maka biarkanlah orang-orang
profesional di bidang ini yang menjadi penentu. Tidak perlu diintervensi.
Mungkin masih ingat sebuah pesan : bila engkau menyerahkan sebuah urusan
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar