Sabtu, 24 April 2021

 

Radhar Panca Dahana, Mewakafkan Hidup untuk Kebudayaan

Kenedi Nurhan ; Wartawan Kompas

KOMPAS, 22 April 2021

 

 

                                                           

Budayawan Radhar Panca Dahana telah berpulang, Kamis (22/4/2021) malam di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Untuk mengenang beliau, berikut ini adalah wawancara Kompas dengan Radhar yang diterbitkan Kamis (26/6/2014). Di hari itu pula, Radhar menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2014.

 

Entah oleh siapa dan kapan pertama kali sebutan ”budayawan” dilekatkan kepada lelaki bertubuh ringkih itu. Sebuah atribusi yang disematkan untuk mengukuhkan kerja-kerja kebudayaan yang dia geluti secara serius sejak usia sangat muda: 13 tahun!

 

Dia sendiri, sebagai pribadi, merasa risi atas pelabelan itu. Dalam beberapa kesempatan di hadapan banyak orang, semisal ketika tampil sebagai pembicara di satu seminar saat pemandu memperkenalkan para pembicara, ia bahkan kerap menyatakan penolakannya atas sebutan superlatif ”budayawan” itu.

 

Terlebih ketika kini banyak beredar ”budayawan-budayawan” salon, yang dalam kenyataan sesungguhnya tidak lebih hanya berperan sebagai joker alias badut untuk menghibur para elite atau pemegang kekuasaan. Para ”budayawan” semacam ini hanya memainkan elektisisme obskur dalam pelisanan yang diindah-indahkan, sekadar untuk membuat publik tercengang dan bahkan geli.

 

”Secara tidak bergurau saya lebih memilih posisi sebagai kuncen kebudayaan. (Semacam) anjing penjaga kebudayaan di mana orang datang hanya untuk berziarah, mengenang, mencari wangsit, atau malah mensyukuri bahwa kebudayaan (di negeri ini) telah terbujur seperti mayat, menjadi zombie,” kata lelaki, yang sejak 13 tahun terakhir harus bolak-balik ke rumah sakit —tiga kali seminggu—untuk menjalani hemodialisis (cuci darah) karena masalah gagal ginjal yang menderanya.

 

Dia, lelaki bertubuh ringkih itu, tak lain adalah Radhar Panca Dahana. Dalam jagat kebudayaan di Tanah Air, ia tak hanya dikenal sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, serta pekerja dan pengkaji teater.

 

Dia pun bukan sekadar inisiator berbagai kegiatan kebudayaan. Sebutlah seperti ketika ia menggagas penyelenggaraan debat capres dan cawapres dengan para budayawan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, menjelang Pemilu 2009. Bahkan, kalau mau jujur, Forum Kebudayaan Dunia (World Culture Summit) di Bali pada 2013 kiranya tak lepas dari gagasan yang ia usulkan kepada pasangan SBY/Boediono agar bila terpilih (saat itu) kiranya mempertimbangkan untuk menyelenggarakan KTT Kebudayaan Dunia, lengkap dengan berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya.

 

Lebih dari dari itu, alumnus FISIP UI yang kemudian memperdalam kajian bidang sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Perancis, ini adalah sosok pemikir lintas-disiplin ilmu. Namun, bagaimanapun, masalah-masalah kebudayaan selalu melapiki setiap kajian dan atau analisis yang ia dedahkan ke khalayak terhadap berbagai fenomena keindonesiaan kita hari ini.

 

Selalu mencari

 

Sebagai warga bangsa yang secara sadar memosisikan diri sebagai kuncen kebudayaan, mencoba hidup sedikit zumud atau asketis agar terhindar dari seretan arus kepentingan di pusaran kuasa pada berbagai bidang kehidupan, Radhar bahkan sampai pada pilihan hidup yang mungkin terdengar muskil sekaligus berlebihan: hidup dari dan untuk kebudayaan!

 

Alasannya sederhana. Bahwa, kebudayaan harus dijaga demi masih tegaknya maruah manusia dan realitas sebagai socius atau bangsa. Karena itu, kata Radhar, ”Saya secara spesifik mewakafkan seluruh daya kemanusiaan saya untuk menjaga, memelihara, dan—jika masih bisa—tetap mengembangkan kebudayaan. Karena dengannya sebuah bangsa, juga manusia dalam satuan terkecilnya, masih dapat mengalami perkembangan kualitas di semua dimensi kehidupannya.”

 

Dalam pandangan Radhar, kebudayaan Indonesia dalam arti yang sesungguhnya saat ini diperlakukan tidak sebagai organisme yang hidup. Banyak kalangan, terutama pemerintah (dan negara), hanya memperalat kebudayaan untuk kepentingan masing-masing. Bahkan makna kebudayaan dipersempit, disalahpahami, hanya sebagai pernyataan dan produk yang dapat teramati.

 

Kebudayaan di negeri ini mengalami apa yang ia sebut semacam materialisasi hingga ke tempat yang paling sempit: komodifikasi! ”Satu bentuk apresiasi kasar yang menempatkan kebudayaan lebih sebagai perangkat yang dapat dikooptasi atau diperalat untuk meneguhkan kekuasaan,” ujarnya.

 

Kebudayaan dalam pemaknaan semacam itulah yang merisaukan Radhar. Ketika hampir semua elemen bangsa bukan hanya tidak mengacuhkannya, tetapi juga menganggapnya secara keliru sebagai manekin di etalase peradaban, kata Radhar, kebudayaan kita sesungguhnya sudah dalam keadaan mati suri. Meski belum mati dalam arti yang sebenarnya, tetapi ia sudah terbujur bagai mayat dan tinggal menunggu waktu untuk dimakamkan.

 

Maka, di sanalah lelaki bertubuh ringkih itu memutuskan berdiri sebagai kuncen kebudayaan. ”Maka, dengan romantis murahan,” kata Radhar sambil terkekeh, ”saya tegas menyatakan kepada hampir semua elite negeri ini, termasuk ketika tampil di hadapan sejumlah petinggi satu partai besar: siapa pun yang masih berusaha mendekati makam itu dan mencoba memastikan kematian kebudayaan, ia harus melompati dulu tulang belulang kuncennya!”

 

Karena itu, Radhar tak pernah berhenti mencari di mana, kapan dan mengapa kebudayaan sejatinya bangsa ini terkubur, sebelum akhirnya diambilalih oleh model ”kebudayaan baru” yang kemudian membentuk peradaban kita hari ini. Sebuah ”peradaban baru” yang dalam pendekatannya berpotensi melahirkan konflik, antara lain karena kecenderungannya yang dominatif dan materialistik. Model kebudayaan semacam itu jelas kian menjauhkan kita dari model kebudayaan yang membentuk peradaban sejatinya manusia kepulauan seperti Indonesia.

 

Dalam proses pencarian itu, Radhar menelusurinya jauh ke belakang, bahkan hingga ke masa prasejarah. Ia tak tak pernah berhenti menggali berbagai sumber tertulis tentang peradaban awal bangsa ini lewat tulisan-tulisan hasil penelitian para ahli di bidangnya, juga menemui dan berdiskusi dengan mereka. Dan dalam pencarian itu Radhar semakin diyakinkan pada tesis awalnya: bahwa peradaban dan keadaban bangsa kepulauan ini sejatinya dilapiki oleh model kehidupan manusia sebagai individu yang komunal.

 

Mereka, kata Radhar, mengembangkan peradaban dan keadaban sebagai ”manusia maritim”, di mana keberadaan individu-individu yang komunal itu secara eksistensial berangkat dari pemahaman dan kesadaran—dari ontologis hingga kosmologis—pada tata cara hidup dan kebudayaan yang berbasis pada dunia laut dan pesisir. Dunia bersama, yang mengartikulasikan kepentingan individu dalam konteks komunitas. Sebuah ciri khas peradaban ”manusia maritim”.

 

”Manusia yang dibentuk oleh kultur laut dan pesisir adalah manusia yang membangun permukiman, sosial, ekonomi, dan politiknya dalam sebuah ’kota’ pantai atau bandar. Di sanalah manusia maritim Indonesia berkembang sesuai kondisi alamiah: menjadi masyarakat hibrid (melting pot society) yang berpikiran terbuka, adoptif, sekaligus adaptif,” tutur Radhar.

 

Kebudayaan dalam perspektif peradaban dan keadaban sebagai sebuah bangsa maritim—bukan bangsa agraris yang salah kaprah itu, berikut peradaban kontinental, ”peradaban daratan”, yang justru kini lebih mendominasi alam pikir dan alam tindak masyarakat di negeri kepulauan ini—jika dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa, diyakininya akan menjadi katalisator bagi perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik di masa depan. ”Manusia maritim, itulah jati diri sesungguhnya bangsa ini,” kata Radhar.

 

Manusia pemberontak

 

Radhar adalah tipikal manusia pemberontak. Pada usia 10 tahun ia sudah menulis cerpen (”Tamu Tak Diundang”), yang materinya ia ambil dari peristiwa di lingkungan terdekat: teror yang tiap hari dialami ibunya dari penagih utang. Sejak itu, memasuki usia pra-remaja, Radhar kecil sudah ikut sibuk berkesenian di berbagai tempat.

 

Takut pada ancaman sang bapak yang tak memperbolehkannya ikut berbagai kegiatan tersebut, pada usia 13 tahun ia memutuskan kabur dari rumah orangtuanya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. ”Pukul 10 malam, sehabis dihukum habis-habisan dengan pukulan rotan, dengan mulut masih menyimpan darah, saya berdiri di pintu belakang rumah dan berkata, ’tidak ada demokrasi di rumah ini’, lalu menghilang di gelap malam.”

 

Setelah itu pergi lagi, dan memulai apa yang ia sebut sebagai perantauan hidup. ”Sampai hari ini, merantau di tanah kelahiran sendiri,” ujarnya.

 

Sejak itu ia menjalani kehidupan bohemian di berbagai pusat kesenian, terutama di kawasan Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Sejak itu pula ia banyak bergaul dengan banyak seniman dan sesekali bertatap muka dengan mereka yang sudah ditasbihkan sebagai budayawan, seperti Rendra dan Umar Kayam, sambil tetap bersekolah.

 

Untuk hidup ia mengandalkan honor tulisan dari berbagai majalah anak dan remaja, sampai akhirnya ia mendapat kesempatan membantu Koma, koran remaja sisipan majalah Hai. Lebih dari itu, selama beberapa tahun Radhar kecil ikut membantu liputan untuk harian Kompas. Tak hanya liputan kebudayaan, ia juga kerap mendapat tugas liputan di bidang metropolitan (biasanya berita-berita kriminalitas) dan olahraga.

 

”Di Kompas saya tak hanya belajar segala hal, juga mendapat honor yang membuat saya merasa menjadi remaja terkaya di Bulungan. Agar tidak diketahui bapak, nama asli sengaja saya sembunyikan, lalu dipakailah nama Reza Morta Vileni sebagai nama pena untuk berita dan tulisan-tulisan kreatif saya di saat remaja,” kata Radhar sembari tertawa mengenang masa remajanya yang penuh warna.

 

Saat magang di Kompas, perhatian Radhar pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan diakuinya makin terasah. Lihatlah satu berita kecil pada edisi Kompas Minggu, 27 Februari 1983. Terselip di sela-sela komik strip dan rubrik ”Teka Teki Silang”, sebuah berita kriminalitas muncul di bawah judul: ”Surat cintanya dicolong maling”. Isi beritanya, rumah dramawan Putu Wijaya dibobol maling.

 

Alih-alih berfokus pada emas dan berlian bernilai sekitar Rp 1 juta (nilai saat itu) yang raib, Reza si penulis berita yang tak lain adalah Radhar Panca Dahana justru lebih memilih sudut pandang berbeda: segepok surat cinta Putu Wijaya dan istrinya yang ikut lenyap disambar maling yang justru jadi bahan cerita dalam berita kecil tersebut.

 

Kini, dalam kondisi sakit yang menderanya, semangat hidupnya lebih ditopang karena kecintaannya pada kebudayaan. Adapun aktivitas menulis menjadi semacam obat penyembuh. Sedikitnya sudah 20 buku ia terbitkan, beberapa lagi masih menunggu pihak penerbit untuk dibukukan.

 

”Sobat, tanpa bisa menulis, dan tanpa ada ruang untuk menampung tulisan-tulisanku, sebetulnya aku sudah bukan apa-apa lagi,” ujarnya sekali waktu, terdengar sangat memelas, ketika pada 2007 ia ”dihukum” tak boleh menulis selama tiga bulan di harian ini lantaran artikelnya yang dimuat Kompas juga dimuat di media lain. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar