Sabtu, 17 April 2021

 

Puasa Lintas Tradisi

Ahmad Najib Burhani ; Profesor Riset di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

KOMPAS, 17 April 2021

 

 

                                                           

Puasa merupakan praktik menahan atau membatasi diri, seperti dari makanan dan minuman, yang dilakukan oleh berbagai tradisi dalam masyarakat dunia sejak dulu kala. Puasa bisa bermotif agama, budaya, kesehatan, politik, atau lainnya.

 

Di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz (1964), puasa merupakan ritual yang banyak dilakukan masyarakat dari seluruh tingkatan kelas dengan tujuan ”untuk kekuatan dan intensitas spiritual”. Melalui ritual puasa, seseorang akan bisa meningkatkan kesaktian, kekuatan spiritual, atau kemampuan supranaturalnya.

 

Pada masyarakat kuno tertentu, puasa dilakukan sebagai cara untuk membersihkan diri, sebagai persiapan untuk menerima kekuatan gaib, atau cara agar kekuatan atau potensi yang sudah ada pada diri seseorang bisa lebih kuat dan bisa dibangkitkan atau ditampilkan keluar (Tamney 1980). Puasa jenis ini biasanya dilakukan oleh seorang pangeran beberapa waktu sebelum dinobatkan atau dikukuhkan menjadi raja.

 

Puasa, dalam konteks di atas, dipandang sebagai simbol kematian dan kelahiran kembali. Pada saat pelaksanaan puasa akan terjadi proses purifikasi terhadap berbagai kotoran dan keburukan yang ada pada diri manusia sehingga seusai puasa orang tersebut seperti terlahir kembali di dunia dalam kondisi bersih. Pada saat puasa pula, kekuatan positif dan berbagai potensi diri akan dibangkitkan sehingga pelakunya akan siap dengan tanggung jawab dan beban baru seusai puasa, seperti menjadi raja atau pimpinan masyarakat.

 

Meski ada beberapa irisan, makna puasa dalam tradisi masyarakat kuno dan masyarakat Jawa di atas tak sepenuhnya sama dengan tradisi puasa yang dilakukan pada beberapa agama besar. Dalam tradisi agama-agama, puasa kadang dimaknai sebagai upaya pertobatan terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan atau sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan atau sebagai upaya mengontrol diri dan hawa nafsu.

 

Dalam Islam, misalnya, banyak orang melakukan puasa, termasuk di luar bulan Ramadhan, dengan tujuan untuk kesalehan atau mendekatkan diri kepada Allah. Dalam bahasa Al Quran, tujuan diwajibkan melaksanakan puasa adalah agar para pelakunya mencapai derajat takwa atau menjadi muttaqin (Q 2:183).

 

Selain beberapa bentuk pemaknaan di atas, masyarakat modern akan memberikan pemaknaan yang berbeda lagi terhadap puasa. Umumnya, pemaknaan ini lebih bersifat rasional ataupun sekuler. Puasa dilakukan agar pelakunya, misalnya bisa mengontrol diri, nafsu, dan fisiknya secara lebih baik. Oleh karena itu, kemudian dikenal adanya jenis puasa dalam tradisi kesehatan dengan sebutan ”diet”. Kadang, puasa dimaknai secara sosial sebagai upaya agar pelakunya bisa merasakan penderitaan atau kelaparan yang dialami oleh orang fakir miskin.

 

Puasa bisa juga dilakukan dengan tujuan politik tertentu. Ini, misalnya, terjadi dengan hunger strike atau puasa sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil atau tak bisa diterima. Melakukan protes dengan cara berpuasa ini kadang dilakukan ketika protes dengan suara sudah tak lagi didengarkan. ”Menyiksa diri” dengan melakukan puasa menjadi lebih ekspresif dan kadang memiliki appeal yang lebih tinggi daripada doa atau protes dengan cara berteriak.

 

Selain ragam makna dan tujuan dari puasa, pola dan durasi pelaksanaan puasa juga bervariasi berdasarkan tradisi dan model yang diikuti. Puasa Ramadhan, misalnya, dilakukan selama sebulan penuh. Pelakunya dilarang makan, minum, berhubungan seksual, dan hal-hal lain yang membatalkan sejak subuh hingga maghrib.

 

Berbeda dari puasa yang dilakukan umat Islam, umat Yahudi berpuasa di Yom Kippur, yang merupakan hari kesepuluh dari bulan ketujuh dalam kalender Yahudi. Lamanya berpuasa adalah sepanjang 25 jam nonstop yang dimulai sebelum matahari terbenam. Dalam puasa ini, mereka tak makan, minum, bekerja, menyopir, berbelanja, dan menghindari kesenangan fisik. Selama 25 jam ini hidup akan diisi dengan beribadah.

 

Umat Kristiani melakukan puasa pada Jumat Agung, saat peringatan wafatnya Jesus. Kristen Orthodox Yunani melakukan puasa 40 hari sebelum Natal dan 48 hari sebelum Paskah. Puasa ini dilakukan dengan menahan diri dari makanan tertentu, seperti telur, daging, dan alkohol. Ada lagi puasa Daniel dilakukan sebagian umat Kristiani. Puasa ini mirip vegan diet karena hanya makan sayuran, buah, gandum, dan biji-bijian. Biasanya dilakukan sepanjang 21 hari selama setahun (Venegas-Borsellino, Sonikpreet, dan Martindale 2018).

 

Dalam tradisi Buddha, puasa disebut dengan istilah ”Vassa”. Puasa umumnya hanya dilakukan oleh para biksu. Secara umum, umat Buddha berpuasa sepanjang tahun dalam bentuk diet dari makanan tertentu, seperti daging, keju, susu, dan alkohol. Namun, ada beberapa perbedaan dalam berbagai tradisi di Buddha. Theravada berpuasa tiga bulan pada musim hujan. Puasa ini dilakukan selama 12 jam. Vajrayana di Tibet melakukan puasa selama dua hari penuh sebagai bagian dari perayaan Nyungne. Pada saat berpuasa, pelakunya bahkan dilarang berbicara (Gaikwad 2017).

 

Dalam Hindu, puasa disebut dengan istilah upawasa. Umat Hindu di India berpuasa pada hari-hari besar tertentu, seperti Maha-Shivaratri dan puasa sembilan hari pada festival Navaratri. Puasa pada Shivaratri juga dipraktikkan di Bali dengan tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit sampai dengan matahari terbenam. Pada Hari Nyepi, umat Hindu Bali juga berpuasa sejak fajar hingga fajar berikutnya.

 

Meski ada beragam makna dan tradisi dalam melaksanakan puasa, ritual ini secara umum dilakukan agar manusia mampu memperbaiki dirinya, ”fortify the body, purify the spirit, and elevate consciousness” (membentengi tubuh, penyucian jiwa atau ruh, dan meningkatkan kesadaran). Secara kesehatan, ia memberikan waktu bagi organ-organ pencernaan dalam tubuh untuk beristirahat sehingga bisa menghindarkan diri dari penyakit yang diakibatkan oleh proses metabolisme.

 

Tentu saja, karena beragamnya jenis puasa, masing-masing memiliki analisis yang berbeda dari segi kesehatan. Demikian pula dengan pencapaian tujuan puasa, tak semuanya bisa dipastikan tercapai. Bahkan, Buddha pun merevisi praktiknya berpuasa secara eksesif yang dilakukannya sebelum mencapai pencerahan (enlightenment). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar