DETIKNEWS,
22
April 2021 |
Menahan
diri untuk tidak mengkonsumsi milik sendiri sesungguhnya mengandung arti
bahwa kepemilikan manusia tidaklah hakiki. Selalu ada hak dan peran sesama
manusia dalam segala pencapaiannya . Pun selalu ada kesempatan bagi Tuhan
untuk mencabut dan mengambilnya. Karena itu, keangkuhan dan kesombongan
atasnya adalah sebentuk pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan
ciptaan-Nya. Ramadhan
sepertinya hendak menggugah sambil mempertanyakan sejauh mana kemanusiaan
kita dipandang penting dan penuh makna. Sebagai ritual tahunan, puasa acap
hanya menyisakan mereka yang lapar dan dahaga. Atau mereka yang hanya
menunaikannya sebagai sebentuk keyakinan tentang datangnya lipat ganda
pahala, tanpa disertai perhitungan dan evaluasi tentang sejauh mana kualitas
puasa memberi perubahan bagi kemanusiaan. Melalui
medium puasa, kita diberi pilihan antara kembali kepada eksistensi alamiah
(pra-manusiawi) atau "mengembangkan diri" hingga mencapai tingkat
"menjadi manusia". Hal itulah yang disinyalir dalam pernyataan
Tuhan: Mereka bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai (QS Al-A'raf: 179). Kecenderungan
akut pada perburuan jasmani tidak lebih seperti kelaziman kehidupan
pra-manusiawi. Selain karena entitas kemanusiaan dipandang sebelah mata,
manusia tidak lebih sebagai mangsa atas sesamanya (homo homini lupus). Mereka
yang kuat akan muncul sebagai pemenang dalam rantai "makanan"
hewani yang mendefinisikan relasi antarmanusia semata sebagai objek produksi
dan komoditas. Tidak ada "cinta" dan "kasih sayang" yang melatarinya. Relasi
kemanusiaan yang tandus dan kering mengabaikan tujuan "menjadi
manusia". Seperti yang disinggung oleh Erich Fromm (1955), kering dan
tandusnya hubungan tersebut disebabkan ketiadaan "cinta" yang mampu
menyatukan segala perbedaan dan kepentingan dalam sebuah rumusan "ke-kita-an". "Menjadi
manusia" berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dunia. Sebuah
hubungan yang dilandasi kesadaran bahwa manusia mengalami dunia sebagai
realitas objektif, bukan subjektif yang hanya mampu dimaknai oleh kepentingan
masing-masing individu. Kemanusiaan
dalam "ke-kita-an" pada dasarnya menegaskan tentang cara
ber-"ada" manusia di dunia. Manusia yang tidak hanya berarti
ada-dalam-dunia, tetapi sekaligus ada-bersama-dunia. Dengan kata lain,
seperti ditegaskan oleh Martin Heidegger (1953), ada-dalam-dunia bermakna ada
secara bersama. Dunia adalah tempat yang dimukimi bersama dengan orang-orang
lain. Hubungan terajut atas dasar eksistensi sebagai manusia semata, bukan
karena apa yang tersandang atau tersemat padanya. Pemaknaan
eksistensial (the meaning of life) tersebut menjadi penting untuk dipahami
demi menghasilkan efek ritualitas yang berdampak pada kehidupan. Kewajiban
berpuasa bukanlah sekadar pemenuhan rukun Islam sekaligus menegaskan jati
diri sebagai seorang Muslim. Lebih dari itu, untuk menunjukkan bahwa praksis
ajaran keagamaan yang ditunaikan secara individual akan dirasakan secara
bersama-sama. Bahkan sebagai solusi atas persoalan yang mendera kehidupan
kemanusiaan itu sendiri. Di
tengah pandemi Covid-19 yang belum juga berlalu, suasana kebersamaan itu
sedang berada dalam ujian. Setahun lebih aktivitas kemanusiaan kita cenderung
tertahan. Kita pun masih diperhadapkan pada dunia yang sedang menahan diri
dari segala kebiasaannya. Boleh jadi, kelaziman selama ini telah menodai nilai-nilai
keseimbangan. Kerumunan
bukan ihwal yang terlarang. Mobilitas interaktif tanpa jarak bukanlah
kebiasaan yang diharamkan. Memakai masker pun kiranya bukanlah pilihan di
tengah anjuran untuk menyebar senyuman sebagai bagian dari sedekah untuk
sesama. Bahkan mudik ke kampung halaman adalah perjalanan tradisional yang
mampu menggairahkan relasi kemanusiaan, bertemu dengan sanak saudara dan
handai taulan, bukanlah kebiasaan yang merugikan. Tapi,
boleh jadi kerumunan, mobilitas, dan kedekatan kemanusiaan kita selama ini
bersifat semu. Terpupuk saat dilatari kesenangan, keuntungan, dan
kepentingan. Senyuman yang merekah tidak lebih sebagai retorika dan hiasan
wajah, sementara di baliknya tersirat sinisme dan kebencian yang akut.
Suasana haru, canda, dan tawa di kampung halaman lebih diwarnai cerita
tentang kesuksesan ketimbang narasi tentang kehidupan kampung yang
membutuhkan uluran tangan. Kesemuan
inilah yang hendak ditepis melalui segala aktivitas kebajikan di bulan
Ramadhan. Upaya mengekang kelaziman jasmaniah dengan menggelorakan aktivitas
ruhaniah adalah salah satu cara memaknai eksistensi kemanusiaan. Manusia
membutuhkan oase yang dipenuhi ladang spiritual agar kesadaran tentang
"diri" dan sesamanya lahir dari ruang yang dirimbuni sebentuk
pengabdian. Bukan semata atas dasar kepentingan apalagi keuntungan material. Hakikat
pengabdian itulah yang terwujud dalam relasi manusia dengan Tuhannya. Semakin
erat hubungan itu, semakin manusia merasakan kedekatan dengan sesamanya. Pada
saat yang sama, manusia merasa terlibat dalam dunia dengan segala persoalan
yang melingkupinya. Dengan demikian, puasa akan melahirkan manusia-manusia
baru yang tidak lagi direduksi oleh kepentingan jasmaniah, tapi juga juga
spirit ruhaniah yang mengantarkannya menjadi "manusia" seutuhnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar