Inovasi
Disrupsi dan Ikhtiar Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia Ari Probandari ; Guru
Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas
Maret; Koordinator Bidang Riset dan Inovasi, Komite Ahli Tuberkulosis,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia |
KOMPAS, 16 April 2021
Penyakit tuberkulosis (TBC) telah ada sejak
zaman Mesir kuno, namun penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di
berbagai negara. Indonesia merupakan negara ranking ke-2 beban penyakit TBC
tertinggi (WHO, 2020). TBC juga merupakan satu dari lima penyebab utama beban
penyakit di Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas Republik Indonesia, 2019).
TBC juga menyebabkan biaya katastropik pada 36% rumah tangga di Indonesia
(Fuady et al., 2018). Infeksi TBC tanpa gejala (TBC laten) merupakan
tantangan baru dalam memberantas penyakit ini. Upaya
pengendalian Prinsip pengendalian TBC adalah: temukan,
obati sampai sembuh dan cegah penularan. Indonesia telah mencatat peningkatan
penemuan kasus TBC yang signifikan, dari 331 ribu pada tahun 2015 ke 562 ribu
pada tahun 2019 (WHO, 2020). Namun demikian, diperkirakan masih banyak orang
dengan gejala TBC yang belum ditemukan karena belum terdiagnosis atau belum dilaporkan
pada program pengendalian TBC nasional. Cakupan pengobatan TBC di Indonesia sudah
mengalami peningkatan. Namun, cakupan pengobatan TBC kebal obat masih di
bawah 50%. Cakupan pengobatan pencegahan terutama bagi kelompok berisiko
seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan anak dengan kontak rumah tangga dari
kasus TBC masih relatif rendah, yakni sekitar 50% pada ODHA, dan 33% pada
anak (WHO, 2020). Beberapa kondisi lain seperti merokok,
malnutrisi dan konsumsi alkohol meningkatkan peluang penularan TBC. Ini
berarti, integrasi pengendalian TBC dengan upaya untuk menanggulangi
stunting, pengendalian perilaku merokok dan konsumsi alkohol perlu dimulai.
Kolaborasi multi-sektor sangat dibutuhkan untuk mengakhiri permasalahan TBC
di Indonesia. Di sisi lain, upaya pengendalian TBC
menghadapi tantangan di masa pandemi. Kegiatan penemuan kasus menjadi
terkendala karena tenaga kesehatan dikonsentrasikan untuk penanganan
Covid-19. Data dari sistem informasi TBC pada bulan Januari-Juni 2020
menunjukkan menurunnya jumlah penemuan kasus sampai sekitar 30%. Diperkirakan pandemi Covid-19 mempunyai
dampak jangka menengah pada program pengendalian TBC. Jika penemuan kasus TBC
menurun, maka laju penularannya dapat meningkat. Jumlah kasus TBC kebal obat
dapat meningkat pula karena cakupan pengobatan dan mutu pengawasan minum obat
yang menurun serta upaya pencegahan yang kurang intensif. Tekad
eliminasi Indonesia telah menetapkan tekad untuk
mencapai eliminasi TBC di Indonesia pada tahun 2030, dengan mencapai
penurunan jumlah kasus baru TBC sebesar 90% dan angka kematian akibat TBC
sebesar 95% dibandingkan kondisi pada tahun 2014. Untuk itu, dibutuhkan upaya
berdaya ungkit untuk mencapai status eliminasi. Pemodelan epidemiologi telah
mengidentifikasi lima intervensi kunci untuk menuju eliminasi TBC pada tahun
2030 (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Kelima intervensi tersebut adalah:
pengelolaan TBC laten, skrining pada kelompok dengan risiko tinggi TBC,
cakupan diagnosis TBC secara bakteriologis yang tinggi, ekspansi tes cepat
molekuler untuk diagnosis TBC dan investasi sumber daya untuk memperkuat
layanan TBC. Dengan penerapan lima intervensi kunci
tersebut secara optimal diperkirakan terjadi penurunan jumlah kasus baru TBC
sebesar 73% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2017 (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Inovasi
disruptif Situasi pandemi Covid-19 sebenarnya
merupakan kesempatan untuk mengimplementasikan inovasi disruptif untuk
mengungkit penemuan kasus, menjamin kelangsungan pengobatan dan pencegahan
TBC. Ikhtiar mencapai eliminasi TBC harus diwujudkan dengan pemanfaatan
inovasi disruptif. Saat ini, teknologi diagnosis TBC masih
mengandalkan pemeriksaan dahak. Sementara, proses pengambilan dahak tidak
selalu mudah terutama pada kasus HIV dan anak. Saat ini telah dimulai
berbagai riset untuk memudahkan diagnosis TBC misalnya melalui inhalasi
nafas, feses dan urine. Penapisan TBC dengan Digital X-Ray sebelum dilakukan
diagnosis tes cepat molekuler, akan meningkatkan temuan kasus. Dengan inovasi apps, pengawasan menelan
obat secara langsung dapat digantikan dengan pengawasan minum obat melalui
video. Inovasi seperti ini tentu berpotensi untuk meningkatkan ketaatan minum
obat. Dengan apps tersebut, penderita TBC kebal obat tidak perlu datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan setiap hari untuk minum obat dengan pengawasan petugas
kesehatan sehingga akan menurunkan biaya transportasi dan hilangnya
produktivitas karena proses pengobatan. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan
komitmennya untuk berinvestasi bagi riset dan inovasi untuk mengatasi
Covid-19. Maka, merujuk pada pernyataan dukungan Presiden Joko Widodo pada
akhir tahun 2020 untuk memberantas TBC di Indonesia, komitmen pendanaan
pemerintah untuk riset dan inovasi serupa perlu diduplikasi. Adanya komunitas peneliti dalam Jejaring
Riset Tuberkulosis Indonesia (JetSet TB) merupakan pemangku kepentingan yang
dapat diajak bergandengan tangan bersama pemerintah untuk membuat inovasi
disruptif yang telah ada menjadi ikhtiar eliminasi TBC di Indonesia pada
tahun 2030 sebagai keniscayaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar