Sabtu, 17 April 2021

 

Mendesak, Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu

Asvi Warman Adam ; Profesor Riset LIPI; Narasumber pada CAVR (2004) dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2008) di Dili

KOMPAS, 16 April 2021

 

 

                                                           

Terhitung April 2021 sampai pemerintahan Joko Widodo berakhir, tinggal tersisa waktu sekitar tiga tahun lagi. Apakah dalam waktu singkat itu masalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dituntaskan?

 

”Melalui Menko Polhukam, saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan, yang hasilnya bisa diterima semua pihak serta bisa diterima dunia internasional.” Demikian perintah Presiden Jokowi yang disampaikan dalam acara virtual peringatan Hari HAM Sedunia (Kompas, 11/12/2020).

 

Sebetulnya ini bukan hal baru karena sudah menjadi bagian dari program Nawacita, kampanye presiden tahun 2014. Namun, dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, ini belum terpenuhi. Pada 16 Desember 2020, Presiden menyerahkan bantuan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme Rp 39,2 miliar untuk 215 korban dan ahli waris dari 40 peristiwa.

 

Yudisial dan non-yudisial

 

Setelah melewati pemerintahan rezim otoriter menuju demokrasi, biasanya pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan HAM berat dan/atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang bersifat non-yudisial. Pengadilan HAM berat ad hoc pernah dijalankan dalam kasus Timor Timur walaupun tidak seorang pun yang dijatuhi hukuman dalam pengadilan pada tingkat banding.

 

Peristiwa Tanjung Priok juga pernah disidangkan dan hanya menghukum pelaku yang bukan berpangkat perwira. Setelah UU KKR dibuat pada 2004 dan seleksi komisioner dilakukan beberapa tahap, beberapa pihak mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 27 yang dipersoalkan mengaitkan kompensasi dengan amnesti. Kompensasi kepada korban baru diberikan setelah pelaku meminta maaf, lalu diberi amnesti oleh Presiden.

 

Jika pelaku tak meminta maaf, berarti kompensasi terhadap korban tak dapat diberikan. MK melakukan ultrapetita tahun 2006. Mengabulkan penghapusan pasal ini sekaligus membatalkan UU No 27/2004 karena jika pasal itu dihapus, akan hilang fungsi rekonsiliasinya.

 

Setelah itu masih sempat dibahas UU penggantinya oleh Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa LSM dilibatkan dalam pembahasannya, tetapi kemudian prosesnya mandek entah di mana. Betapa banyak waktu yang terbuang.

 

Dalam penyelesaian kasus Tanjung Priok muncul istilah islah (damai antara pelaku dan korban, sementara korban memperoleh santunan dari pelaku). Demikian pula wacana Dewan Kerukunan Nasional semasa Wiranto menjadi Menko Polkam juga tak dapat sambutan dari korban karena gagasannya tak jelas.

 

Beberapa waktu lalu muncul terobosan dari Kemenkumham dengan rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial (UKP-PPHB). Fokusnya pemulihan dan rekonsiliasi korban.

 

Menurut saya, lebih baik jika konsentrasi pada pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. Dalam hal ini, modelnya seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Komisi ini memeriksa beberapa kasus berdasarkan penyelidikan yang sudah dilakukan beberapa lembaga. Berdasarkan temuan itu, komisi itu turun ke lapangan mengumpulkan dokumen dan wawancara saksi dan seterusnya.

 

Dalam keputusan akhirnya, komisi ini menguraikan berbagai kasus tersebut, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat dan menyebutkan lembaga yang bertanggung jawab. Jadi, tak ada individu yang diadili. Untuk pemulihan korban, selama ini upaya yang telah dilakukan secara lokal ataupun sektoral terbatas pada bantuan kebutuhan dasar. Wali Kota Palu dalam Peraturan Wali Kota No 25/2013 (Rencana Aksi Nasional HAM Daerah) memberi bantuan kesehatan kepada korban peristiwa 1965 setelah secara terbuka meminta maaf.

 

Sejak 1966 sampai 1978, sebanyak 300 tahanan politik (tapol) 1965 ini melakukan kerja paksa membangun 17 proyek infrastruktur di Palu tanpa dibayar, antara lain proyek Kali Palu untuk mencegah banjir, pembangunan kantor korem, pengaspalan jalan, termasuk landas pacu bandara.

 

Tahun 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memberikan bantuan medis dan psikososial (BMP) untuk korban peristiwa 1965 (434 orang), korban penghilangan paksa (12 orang), dan kasus Tanjung Priok (6 orang). Tahun 2015, yang meminta bantuan ini 1.275 orang.

 

Makin lama makin banyak korban yang mendaftar dan belum dapat bantuan. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris sesuai kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan fisik dan mental (Pasal 1.6 UU KKR yang dibatalkan).

 

Dalam Prolegnas 2021, RUU KKR tak masuk di dalamnya. Jika UU KKR yang baru itu disusun, tentu akan memakan waktu. Belum lagi proses selanjutnya pembentukan panitia seleksi, proses penyaringan calon anggota KKR yang berlangsung berapa tingkat. Dan setelah itu akan memakan tempo pula bagi komisi untuk bekerja. Oleh sebab itu, tak cukup waktu tiga tahun untuk menyelesaikan semua tahapan ini sampai KKR mengambil keputusan.

 

Sementara, UKP-PPHB bisa dibentuk dalam waktu singkat. Yang dapat diperiksa UKP-PPHB adalah sekitar 10 kasus yang dipilih pada kurun 1945-2000. Jika penahanan terhadap tokoh Masyumi dan PSI tahun 1960-an (termasuk Hamka) dianggap pelanggaran HAM berat, kasus ini juga bisa dimasukkan.

 

Seyogianya UKP-PPHB tak meniadakan pengadilan HAM berat dengan pertimbangan bahwa kasus pelanggaran HAM berat itu tak mengenal kedaluwarsa. Dalam UU Pengadilan HAM Tahun 2000 memang disebut KKR sebagai alternatif KKR. Namun, karena KKR tak jadi terbentuk, UKP-PPHB bisa dianggap sebagai penggantinya.

 

Menurut hemat kami, kasus pembunuhan misterius 1982-1985 bisa diselesaikan secara non-yudisial. UKP-PPHB memeriksa kasus, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan menyebutkan instansi yang bertanggung jawab. Kemudian diberikan kompensasi kepada keluarga korban.

 

Mengenai kasus Timor Timur, Indonesia telah menyelenggarakan pengadilan HAM berat ad hoc Timor Leste sendiri telah membentuk dan menyelenggarakan CAVR tahun 2004 yang mencatat semua pelanggaran HAM pada 1979-1999. Setelah itu diadakan pula Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang disetujui dan melibatkan kedua negara. Apa kasus ini masih mau dibahas lagi?

 

Selain pembentukan UKP-PPHB, dapat diselesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Pengadilan HAM. Terkait berbagai kasus yang terjadi setelah Soeharto berhenti jadi presiden, Mei 1998, sampai UU Pengadilan HAM dikeluarkan, November 2000, UKP-PPBH dapat menemui para korban dan menanyakan apakah kasusnya akan diselesaikan secara non-yudisial atau melalui pengadilan HAM ad hoc. Peristiwa yang terjadi setelah pembentukan UU pengadilan HAM November 2000 ditangani pengadilan HAM berat.

 

Tragedi 1965

 

Menyangkut tragedi 1965, sebaiknya kasus itu dipilah-pilah. Peristiwa pembunuhan massal yang memakan korban 500.000 orang (termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida) sebaiknya diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc yang tak mengenal kedaluwarsa.

 

Ada dua kasus yang dapat diselesaikan lebih dahulu. Pertama, kasus pencabutan kewarganegaraan orang Indonesia yang berada di luar negeri tahun 1965/1966. Kedua, kasus pembuangan paksa ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Kedua kasus itu murni kebijakan negara, tetapi merugikan dan bahkan menghancurkan kehidupan warga negara Indonesia.

 

Terhadap kasus pertama, tinggal diakui bahwa terjadi kekeliruan pada masa lampau dan untuk itu pemerintah meminta maaf kepada para eksil tersebut. Dalam kasus Pulau Buru, Presiden dapat memberikan rehabilitasi. Syaratnya, rehabilitasi ini perlu disetujui Mahkamah Agung. Dulu, Ketua MA Bagir Manan pernah membuat surat mengenai ini.

 

Dengan pembentukan UKP-PPHB, terbuka peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini sekaligus menepati janji Presiden Jokowi dalam Nawacita. Dalam perspektif korban, tentu yang diharapkan kebenaran diungkapkan, pelaku dihukum, dan kompensasi diberikan. Dalam kenyataan, seiring waktu yang terus berjalan, tidak semua bisa terwujud. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar