Mendesak,
Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Asvi Warman Adam ; Profesor
Riset LIPI; Narasumber pada CAVR (2004) dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan
(2008) di Dili |
KOMPAS, 16 April 2021
Terhitung April 2021 sampai pemerintahan
Joko Widodo berakhir, tinggal tersisa waktu sekitar tiga tahun lagi. Apakah
dalam waktu singkat itu masalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu
dapat dituntaskan? ”Melalui Menko Polhukam, saya telah
menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan, yang
hasilnya bisa diterima semua pihak serta bisa diterima dunia internasional.”
Demikian perintah Presiden Jokowi yang disampaikan dalam acara virtual
peringatan Hari HAM Sedunia (Kompas, 11/12/2020). Sebetulnya ini bukan hal baru karena sudah
menjadi bagian dari program Nawacita, kampanye presiden tahun 2014. Namun,
dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, ini belum terpenuhi. Pada 16
Desember 2020, Presiden menyerahkan bantuan kompensasi kepada korban tindak
pidana terorisme Rp 39,2 miliar untuk 215 korban dan ahli waris dari 40
peristiwa. Yudisial
dan non-yudisial Setelah melewati pemerintahan rezim
otoriter menuju demokrasi, biasanya pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan
melalui pengadilan HAM berat dan/atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
yang bersifat non-yudisial. Pengadilan HAM berat ad hoc pernah dijalankan
dalam kasus Timor Timur walaupun tidak seorang pun yang dijatuhi hukuman
dalam pengadilan pada tingkat banding. Peristiwa Tanjung Priok juga pernah
disidangkan dan hanya menghukum pelaku yang bukan berpangkat perwira. Setelah
UU KKR dibuat pada 2004 dan seleksi komisioner dilakukan beberapa tahap,
beberapa pihak mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Pasal 27 yang dipersoalkan mengaitkan kompensasi dengan amnesti.
Kompensasi kepada korban baru diberikan setelah pelaku meminta maaf, lalu
diberi amnesti oleh Presiden. Jika pelaku tak meminta maaf, berarti
kompensasi terhadap korban tak dapat diberikan. MK melakukan ultrapetita
tahun 2006. Mengabulkan penghapusan pasal ini sekaligus membatalkan UU No
27/2004 karena jika pasal itu dihapus, akan hilang fungsi rekonsiliasinya. Setelah itu masih sempat dibahas UU penggantinya
oleh Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa LSM dilibatkan dalam pembahasannya,
tetapi kemudian prosesnya mandek entah di mana. Betapa banyak waktu yang
terbuang. Dalam penyelesaian kasus Tanjung Priok
muncul istilah islah (damai antara pelaku dan korban, sementara korban
memperoleh santunan dari pelaku). Demikian pula wacana Dewan Kerukunan
Nasional semasa Wiranto menjadi Menko Polkam juga tak dapat sambutan dari
korban karena gagasannya tak jelas. Beberapa waktu lalu muncul terobosan dari
Kemenkumham dengan rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan
Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat melalui Mekanisme Nonyudisial
(UKP-PPHB). Fokusnya pemulihan dan rekonsiliasi korban. Menurut saya, lebih baik jika konsentrasi
pada pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. Dalam hal ini, modelnya
seperti Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste. Komisi
ini memeriksa beberapa kasus berdasarkan penyelidikan yang sudah dilakukan
beberapa lembaga. Berdasarkan temuan itu, komisi itu turun ke lapangan
mengumpulkan dokumen dan wawancara saksi dan seterusnya. Dalam keputusan akhirnya, komisi ini
menguraikan berbagai kasus tersebut, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM
berat dan menyebutkan lembaga yang bertanggung jawab. Jadi, tak ada individu
yang diadili. Untuk pemulihan korban, selama ini upaya yang telah dilakukan
secara lokal ataupun sektoral terbatas pada bantuan kebutuhan dasar. Wali
Kota Palu dalam Peraturan Wali Kota No 25/2013 (Rencana Aksi Nasional HAM
Daerah) memberi bantuan kesehatan kepada korban peristiwa 1965 setelah secara
terbuka meminta maaf. Sejak 1966 sampai 1978, sebanyak 300
tahanan politik (tapol) 1965 ini melakukan kerja paksa membangun 17 proyek
infrastruktur di Palu tanpa dibayar, antara lain proyek Kali Palu untuk
mencegah banjir, pembangunan kantor korem, pengaspalan jalan, termasuk landas
pacu bandara. Tahun 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) telah memberikan bantuan medis dan psikososial (BMP) untuk
korban peristiwa 1965 (434 orang), korban penghilangan paksa (12 orang), dan
kasus Tanjung Priok (6 orang). Tahun 2015, yang meminta bantuan ini 1.275
orang. Makin lama makin banyak korban yang
mendaftar dan belum dapat bantuan. Kompensasi adalah ganti kerugian yang
diberikan negara kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris
sesuai kemampuan keuangan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk
perawatan fisik dan mental (Pasal 1.6 UU KKR yang dibatalkan). Dalam Prolegnas 2021, RUU KKR tak masuk di
dalamnya. Jika UU KKR yang baru itu disusun, tentu akan memakan waktu. Belum
lagi proses selanjutnya pembentukan panitia seleksi, proses penyaringan calon
anggota KKR yang berlangsung berapa tingkat. Dan setelah itu akan memakan
tempo pula bagi komisi untuk bekerja. Oleh sebab itu, tak cukup waktu tiga
tahun untuk menyelesaikan semua tahapan ini sampai KKR mengambil keputusan. Sementara, UKP-PPHB bisa dibentuk dalam
waktu singkat. Yang dapat diperiksa UKP-PPHB adalah sekitar 10 kasus yang
dipilih pada kurun 1945-2000. Jika penahanan terhadap tokoh Masyumi dan PSI
tahun 1960-an (termasuk Hamka) dianggap pelanggaran HAM berat, kasus ini juga
bisa dimasukkan. Seyogianya UKP-PPHB tak meniadakan
pengadilan HAM berat dengan pertimbangan bahwa kasus pelanggaran HAM berat
itu tak mengenal kedaluwarsa. Dalam UU Pengadilan HAM Tahun 2000 memang
disebut KKR sebagai alternatif KKR. Namun, karena KKR tak jadi terbentuk,
UKP-PPHB bisa dianggap sebagai penggantinya. Menurut hemat kami, kasus pembunuhan
misterius 1982-1985 bisa diselesaikan secara non-yudisial. UKP-PPHB memeriksa
kasus, menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan menyebutkan
instansi yang bertanggung jawab. Kemudian diberikan kompensasi kepada
keluarga korban. Mengenai kasus Timor Timur, Indonesia telah
menyelenggarakan pengadilan HAM berat ad hoc Timor Leste sendiri telah
membentuk dan menyelenggarakan CAVR tahun 2004 yang mencatat semua
pelanggaran HAM pada 1979-1999. Setelah itu diadakan pula Komisi Kebenaran
dan Persahabatan yang disetujui dan melibatkan kedua negara. Apa kasus ini
masih mau dibahas lagi? Selain pembentukan UKP-PPHB, dapat
diselesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Pengadilan HAM.
Terkait berbagai kasus yang terjadi setelah Soeharto berhenti jadi presiden,
Mei 1998, sampai UU Pengadilan HAM dikeluarkan, November 2000, UKP-PPBH dapat
menemui para korban dan menanyakan apakah kasusnya akan diselesaikan secara
non-yudisial atau melalui pengadilan HAM ad hoc. Peristiwa yang terjadi
setelah pembentukan UU pengadilan HAM November 2000 ditangani pengadilan HAM
berat. Tragedi
1965 Menyangkut tragedi 1965, sebaiknya kasus
itu dipilah-pilah. Peristiwa pembunuhan massal yang memakan korban 500.000
orang (termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida) sebaiknya
diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc yang tak mengenal kedaluwarsa. Ada dua kasus yang dapat diselesaikan lebih
dahulu. Pertama, kasus pencabutan kewarganegaraan orang Indonesia yang berada
di luar negeri tahun 1965/1966. Kedua, kasus pembuangan paksa ke Pulau Buru tahun
1969-1979. Kedua kasus itu murni kebijakan negara, tetapi merugikan dan
bahkan menghancurkan kehidupan warga negara Indonesia. Terhadap kasus pertama, tinggal diakui
bahwa terjadi kekeliruan pada masa lampau dan untuk itu pemerintah meminta
maaf kepada para eksil tersebut. Dalam kasus Pulau Buru, Presiden dapat
memberikan rehabilitasi. Syaratnya, rehabilitasi ini perlu disetujui Mahkamah
Agung. Dulu, Ketua MA Bagir Manan pernah membuat surat mengenai ini. Dengan pembentukan UKP-PPHB, terbuka
peluang untuk menyelesaikan sebagian pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini
sekaligus menepati janji Presiden Jokowi dalam Nawacita. Dalam perspektif
korban, tentu yang diharapkan kebenaran diungkapkan, pelaku dihukum, dan
kompensasi diberikan. Dalam kenyataan, seiring waktu yang terus berjalan,
tidak semua bisa terwujud. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar