Minggu, 25 April 2021

 

”Toxic Positivity”

Samuel Mulia ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu

KOMPAS, 25 April 2021

 

 

                                                           

Apakah sesuatu yang positif bisa begitu toksiknya? Rupanya bisa. Awalnya saya tak percaya. Tetapi untuk merasakan toksik yang dilahirkan dari kepositivan, Anda harus membutuhkan kesabaran dan kepekaan. Sebab pada awalnya, semua akan terasa baik-baik saja.

 

Positif

 

Apa saja yang termasuk hal-hal positif? Saya percaya Anda pasti sudah tahu. Mudah sekali, bukan? Tak membutuhkan IQ dan pendidikan yang tinggi untuk mengambil contoh atau kejadian yang positif. Menolong sesama manusia dan alam dalam berbagai bentuk, misalnya. Atau memberi waktu untuk mendengar dan juga memberikan jalan keluar jika diperlukan, atau diam saja menjadi pendengar yang baik, karena manusia acapkali hanya ingin didengar dan mereka sejujurnya sudah tahu solusinya.

 

Atau memberi sumbangan untuk membantu mereka yang tertimpa musibah, atau menemani orang terdekat untuk melakukan aktivitas sederhana seperti jalan kaki, menjenguk yang sedang sakit atau sekadar mengantar teman pulang ke rumah dari kantor atau dari sebuah acara. Tentu masih ada  sejuta contoh lainnya.

 

Sesuatu hal yang dilakukan dengan niat dan aktivitas yang positif, hasilnya pasti akan positif juga. Maksudnya, tidak hanya hasil yang akan dicapai berguna, tetapi memberikan dampak yang baik juga untuk yang melakukan dan yang menerima perlakukan positif itu. Bukankah katanya memberi itu memberi kebahagiaan jauh lebih besar dari pada menerima.

 

Meski tak dapat dipungkiri yang menerima juga pasti bahagia. Saya pernah memberi dan saya pernah menerima. Saya kok merasa derajat kebahagiaannya sami mawon. Waktu saya menerima pujian atas apa yang saya lakukan itu rasanya seperti melayang, memberikan energi untuk semakin yakin dengan apa yang saya pilih untuk dilakukan.

 

Saya juga pernah memberi pujian, meski kata teman-teman dekat mengatakan, saya kikir untuk memberi pujian. Kalau sampai seorang Samuel memberi pujian, wah…itu luar biasa. Perkataan itu benar adanya. Karena saya sejujurnya iri tak bisa sehebat mereka, makanya saya jadi kikir memberi pujian. Tapi di mata orang saya kelihatan sangat selektif dalam memberi pujian. Pandangan semacam itulah yang saya butuhkan. Padahal……

 

Melihat yang menerima pujian sangat bahagia, saya juga turut bahagia.  Sayang tak ada alat ukur yang telah teruji, apakah benar memberi akan jauh lebih membahagiakan daripada menerima, dan alat yang mampu memperlihatkan apakah saya tulus memberi pujian dari hati atau hanya basa basi.

 

Nurani saya yang sudah setahun ini mingkem, kembali bersuara. “Alat ukurnya sudah ada dari sejak dulu. Namanya nurani. Kamu aja yang gak peka”

 

Toksik

 

Cerita di atas adalah pemikiran saya jauh sebelum saya mengubah cara pandang saya itu. Ternyata dalam aktivitas positif yang dilakukan orang pada saya, mampu menimbulkan gangguan. Gangguan itu dalam derajat ringan sampai parah. Tentu derajat ini adalah ukuran untuk kemampuan diri saya sendiri menerima aksi positif itu.

 

Gangguan yang terparah adalah kebaikan yang ditunjukkan kepada saya yang berhasil membuat saya menjadi seperti mereka. Kebaikan yang ditujukan ternyata bisa membuat kesejahteraan batin hilang perlahan-lahan. Malah berakibat menjadi sebuah kejengkelan.

 

Contoh. Teman teman saya tahu kalau kesehatan saya itu yaa… gitu deh. Jadi mereka seringkali mengingatkan saya untuk berhati-hati, menjaganya harus ekstra teliti daripada orang yang sehat. Kalau saya sedang jalan-jalan dengan mereka, atau mendaki bukit, mereka akan selalu bertanya, kamu capek? Kalau capek bilang, ya. Pelan-pelan saja jalannya, gak usa terburu-buru.

 

Awalnya saya merasa itu sebuah perhatian yang sangat saya hargai. Tetapi lama kelamaan kebaikan yang dilontarkan berkali-kali itu mengecilkan keberadaan saya. Kalau saya sudah memutuskan berjalan kaki atau naik bukit, dan kalau saya sudah mengatakan saya tidak lelah, saya tak perlu diingatkan terus menerus untuk berhati-hati. Terus menerus dijejal dengan kalimat kalau capek bilang ya.

 

Saya memang goblok, tetapi saya tahu kekuatan dalam diri saya. Saya merasa bahwa perbuatan baik mereka lama-lama menjadi sebuah hal yang tidak menghargai kekuatan saya. Saya dibuat lemah karena perhatian yang tulus itu. Nasihat mulia itu sebaliknya mematahkan semangat untuk naik ke atas bukit.

 

Saya sempat berpikir, kalau mereka yang sangat khawatir dengan saya, kalau mereka adalah tipe orang yang pada kenyataanya panikan atau parnoan, mengapa kekhawatiran dan kepanikan itu ditularkan kepada saya yang tidak khawatir dan tidak panik, melalui perhatian yang super mulia itu? Mengapa mereka bercita-cita untuk mengubah saya jadi manusia yang seperti mereka?

 

Mengapa mereka tidak menghargai informasi yang saya berikan kalau saya itu tidak lelah? Berarti mereka tak menghormati informasi itu, bukan? Dan tetap kekeuh berpikir bahwa karena saya tidak sehat, itu sama dengan saya perlu dinasihati berulang kali seperti seolah olah saya ini gak punya otak dan nurani.

 

Maka peristiwa itu mengajarkan saya sesuatu. Cara paling efektif mengerdilkan sesama manusia, adalah dengan perbuatan baik yang toksik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar