Senin, 19 April 2021

 

Humor di Mata Daniel Dhakidae

Darminto M Sudarmo; Pemerhati Humor dan Co-Founder Institut Humor Indonesia Kini (Ihik3)

KOMPAS, 17 April 2021

 

 

                                                           

Sejujurnya, tak banyak cendekiawan Indonesia yang memiliki perhatian serius pada humor. Berbeda dengan Daniel Dhakidae (22 Agustus 1945 - 6 April 2021). Sebagai ilmuwan sosial, ia juga menyisakan sebagian waktunya untuk mempelajari humor secara ilmiah. Sebagaimana yang dilakukan Arwah Setiawan, Jaya Suprana, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan beberapa peminat studi humor lainnya.

 

Di mata Daniel humor itu sebuah fenomena yang khas. Karena itu ia punya rasa kepenasaran besar untuk menyingkap misteri di baliknya. Ia pelajari batang tubuh humor secara seksama. Kemudian, tak lupa ia cermati juga dahan ranting, daun, bunga dan buahnya.

 

Humor sebagai induk seni lelucon yang anak-cucu-cicitnya cukup banyak itu sangat menarik perhatiannya, seperti: lelucon tulis/ucap (joke), pertunjukan (lawak/stand up comedy,pembicara publik, teater, musik, pantomim, film/animasi), gambar (kartun, karikatur, meme) dan beberapa lainnya telah merasuk dalam peta pemahamannya.

 

Pendek kata Daniel terus berburu pengetahuan tentang humor hingga paham anatomi, ruas-ruas persendian, bahkan proses kerja julur-julur saraf dan metabolisme, hingga aliran darah.

 

Sebagai cendekiawan, Daniel punya perhatian besar pada masalah politik dan kekuasaan. Begitu juga selera humornya. Lebih banyak mengerucut ke sana.

 

Di mata Daniel (2016), kaum pelawak, penulis lelucon, justru berada di dalam dunia: serius dan main-main. Tanpa bermain-main mereka tidak bisa bersungguh-sungguh. Mereka hanya bisa bersungguh-sungguh ketika mereka bermain-main.

 

Paada saat yang sama, mereka berada di tengah modal, money capital, dan social capital, dan knowledge, pengetahuan. Dalam posisinya mereka menggabungkan beberapa perkara berbeda yaitu pengetahuan, modal, dan kekuasaan. Hampir semua kaum pekerja humor adalah mereka yang berkecimpung dengan pengetahuan dalam arti seluas-luasnya, dalam science dan humanities, sejarah, musik, olahraga, dan lain-lain.

 

Dunia Antara

 

Di tengah dunia antara itulah, menurut Daniel, kaum pekerja humor, dengan kata-kata, gerak, lukisan, drama dan lain-lain menjadi intelektual/cendekiawan yang mempermainkan fakta untuk mencari makna di baliknya. Mereka membawa hidup ke titik ekstrim untuk menemukan sesuatu yang tidak terduga. Inilah suatu kerja kaum cendekiawan sesungguhnya.

 

Daniel melihat kaum pekerja humor sebagai kelas sosial. Tidak mudah mengatakan bahwa kaum pekerja humor itu adalah suatu kelas tersendiri di dalam masyarakat sebagaimana buruh, dan kaum kapitalis.

 

Namun, bila diperhatikan posisinya yang unik dalam hubungan dengan kapital, mereka dibayar untuk membanyol, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kapital pertelevisian, seperti dalam kasus kelompok pembanyol seperti kelompok “Srimulat”, “Warung Kopi, Warkop Prambors, DonoKasino- Indro” hampir tidak mungkin membayangkan mereka bukan sebagai suatu kelas tertentu yang dibentuk dalam hubungannya dengan modal, pengetahuan, dan kekuasaaan.

 

Munculnya istilah “Tukang Insinyur” dalam Film Si Doel Anak Sekolahan, juga contoh bagaimana “realitas” sindiran dimunculkan sebagai paradoks antara sistem nilai yang rendah (tukang) dan insinyur (tinggi) agar terjadi silang persepsi yang mengapung dan terus-menerus menggelitik rasa humor masyarakat.

 

Kelas Baru - Sekutu Lama

 

Di mata Daniel, cendekiawan, termasuk kaum pelawak, pekerja humor, sebagai kelas baru, juga bisa dilihat sebagai suatu momen baru dalam suatu rentetan panjang sirkulasi elite historis. Kelas baru cendekiawan tersebut bisa juga muncul sebagai aliansi kelas lama, as old class ally, seperti para punakawan istana dalam tradisi Jawa. Mereka terdiri dari kaum “profesional” penuh dedikasi yang akan mengangkat kelas berharta lama, old moneyed class, menjadi elite yang berorientasi kolektif.

 

Kelas baru kaum cendekiawan tersebut dalam pandangan kritis Daniel bisa juga terdiri dari mereka yang menjadi budak kekuasaan. Kelas baru ini berada di bawah kelas berharta yang masih ingin mempertahankan hartanya dan hanya memakai kaum cendekiawan itu untuk mempertahankan dominasinya di dalam masyarakat.

 

Bagi Daniel, posisi mereka benar-benar berada “in the eyes of the beholder” dengan alasan yang sekiranya sudah jelas, karena critical discourse yang dipakainya tidak pernah netral. Mereka membagi dua masyarakat ke dalam kelompok yang pro dan anti, suka dan benci; meski dalam kebencian selalu ada senyum di ujung mulutnya.

 

Bagi yang tidak terkena sindiran mereka adalah pahlawan karena mengangkat soal yang tidak biasa, yang orang biasa tidak lihat maupun berpikir tentangnya, ujar Daniel menjelaskan. Dalam alur diskursusnya mereka selalu mampu “menelikung” audiens, berbelok ke wilayah yang tidak pernah terduga sebelumnya sehingga semuanya “aneh”, “lucu”, “menggelikan”.

 

Mereka meloncat masuk ke dalam akar-akar soal. Bagi politisi dan kaum birokrat yang sering menjadi sasarannya, mereka adalah momok dan terutama bagi rezim otoriter mereka adalah “setan” yang harus dihabisi hidupnya.

 

Daniel mencontohkan, Uni Soviet membuat undang-undang menghukum para pekerja humor dengan hukuman yang bervariasi dari 10/15 tahun sampai 25 tahun. Setiap lelucon yang menertawakan dan menghina Lenin mendapat hukuman mati, vishki.

 

Pandangan Daniel yang sebenarnya tajam dan esensial ini memang sulit untuk ditarik dalam diskusi yang lebih holistik dan komprehensif, karena faktanya sejak era tahun 1950-an (awal debut “Srimulat”, karya tulis, gambar, ucap dll dibuat) hingga hari ini, nyaris belum ada “humoris” yang berurusan dengan pihak otoritas karena gagasan humor perlawanan politik maupun satire-nya membuat ia harus digelandang ke meja hijau atau dijebloskan ke penjara (kecuali kasus Augustine Sibarani-- kemudian cair setelah ia mendapat penghargaan budaya beberapa tahun lalu -- dan pehumor lain yang terimbas karena haluan politik kiri) .

 

Kalau ada dari mereka yang kemudian berurusan dengan pihak berwajib, lebih karena kasus-kasus non-politis/ideologis, seperti narkoba, disalahpahami sebagai SARA dan sebagainya.

 

Sebagian besar sinyalemen Daniel nyaris terbukti sesuai fakta, bahwa “kelas baru” para pekerja humor itu, juga bagian dari agen pendukung kemapanan, kelompok yang lebih memilih jalan selaras dengan garis-garis elit penguasa sampai akhir hayat mereka.

 

Berikut sebagian contoh lelucon politik yang disenangi Daniel baik yang terjadi di Uni Soviet maupun di Indonesia pada masa Orde Baru.

 

Central Planning yang dijalankan Uni Soviet tidak pernah memberikan hasil selayaknya bagi kemakmuran rakyat. Yang makmur dan hidup bermewah-mewah adalah elite partai komunis Uni Soviet.

 

Di tengah ketidakmampuan mengurus ekonomi Ketua Brezhnev mendapat pertanyaan yang tidak terduga dari tamu seorang menteri RRT tentang bagaimana keadaan ekonomi bangsanya.

 

Sebaiknya saya jawab begini saja, kata Breznev: “Reagan punya 100 penasihat ekonomi dan salah satunya adalah seorang agen mata-mata (Soviet, DD), tapi dia tidak tahu yang mana. Mitterand punya 100 kekasih selingkuhan, dan salah satunya mengidap AIDS tapi dia tidak tahu yang mana. Saya punya 100 ekonom dan salah satunya brilian; tapi saya tidak tahu yang mana.”

 

Namun, ketika Gorbachev mengumumkan “Glasnost dan Perestroika”/Keterbukaan dan Restrukturisasi keadaan menjadi kacau-balau. Ketergantungan kepada negara dihilangkan dan ekonomi dikembalikan menjadi pekerjaan individu. Semuanya menghasilkan frustrasi sosial yang dengan gamblang dilukiskan sebagai berikut:

 

Dua orang antre membeli Vodka. Setelah satu jam, dua jam, baris antrean tidak bergerak. Semua menjadi tidak sabaran. Akhirnya salah satunya tidak kuasa menahan diri: “Sudah cukup! Saya muak dengan hidup begini. Di mana-mana orang antre, tidak ada yang bisa dibeli, laci toko kosong-melompong. Semua ini gara-gara Gorbachev dengan perestroika konyol itu. Sekarang saya akan ke Kremlin untuk membunuhnya.”

 

Sesudah dua jam orang itu kembali, dan masih marah-marah, dan berkata:

 

“Bangsat! Di Kremlin baris antrean orang untuk membunuh Gorbachev lebih panjang lagi dari ini.”

 

Menurut penulis Nikolai Zlobin, Gorbachev sangat suka dengan lelucon di atas tentang dirinya, yang selalu diceritakannya sendiri dalam berbagai pertemuan, dan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan.

 

Menurut Daniel, tidak banyak humor terbuka yang bisa dikumpulkan tentang

 

Orde Baru. Butet pada saat-saat terakhir ketika Orde Baru sudah hampir jatuh membuat banyolan dengan meniru suara Soeharto dalam monolog yang memukau. Namun, humor tertulis sebagaimana di Uni Soviet tidak banyak bisa ditemukan; kalaupun ada banyak yang dibuat, setelah Orde Baru jatuh.

 

Jenderal Soeharto tanpa mengumumkan dirinya menjadi presiden seumur hidup menjalankan kepresidenan seumur hidup dan tidak pernah diprotes kecuali oleh mahasiswa 1974-1978; dan terakhir ketika menjatuhkannya pada tahun 1998.

 

Alkisah, Cak Lontong dalam suatu pertemuan ketika Presiden Gus Dur hadir di gedung pusat NU di Kramat, Jakarta Pusat, membanyol sebagai berikut.

 

+ Gus Dur itu Presiden RI kesembilan kan ...?

 

- Presiden keempat---sela tamu-tamu secara serempak

 

sambil tertawa.

 

+ Oh bukan ... Presiden pertama kan Soekarno; kedua

 

Soeharto, ketiga Soeharto, keempat Soeharto, kelima

 

Soeharto, keenam Soeharto, ketujuh Soeharto, kedelapan

 

Soeharto! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar