Pekerjaan
Tanpa Perlindungan Rekson Silaban ; Analis Indonesia
Labor Institute |
KOMPAS, 30 April 2021
Eskalasi pertumbuhan pekerja rentan
(precarious work) terus membesar seiring dengan membesarnya bisnis digital
daring. Bahkan, menurut McKinsey Global Institute,
tahun 2021, peristiwa pandemi Covid-19 telah membuat bisnis e-dagang
(e-commerce) bertumbuh 2-5 kali lebih cepat dibandingkan sebelum pandemi di
semua negara. Memang, jika hanya melihat tampilan data
statistik, orang bisa salah paham karena data kuantitatifnya seolah membaik
dengan adanya pertumbuhan penyerapan lapangan kerja. Padahal, faktanya
sebagian besar pekerja hanya terserap sebagai pekerja rentan, kerja jangka pendek,
dan upah tidak layak. Proporsi pekerja rentan ini akan terus
membengkak seiring meluasnya kebutuhan pekerja bagi hasil (sharing-economic
workers) atau pekerja aplikasi digital (PAD). Fenomena di atas disebut
sebagai konsekuensi tak terelakkan dari globalisasi dan Revolusi Industri
4.0. Pemerintah negara berkembang seperti
Indonesia menyambut dengan antusias kehadiran PAD dengan menyediakan berbagai
kemudahan infrastruktur investasi digital karena terbukti bisa mengurai
sebagian masalah kelangkaan kesempatan kerja, khususnya untuk pekerja dengan
keahlian rendah (low-skilled), setengah menganggur, dan pekerja informal.
Sebab, sudah jadi ciri umum di negara berkembang akibat kelebihan pasokan
kerja, miss-match sistem pendidikan, jutaan pekerja tidak bisa diserap di
pasar kerja. Jadi, kehadiran pekerja digital (platform
workers) telah memberikan kesempatan kepada pekerja yang selama ini tak
memiliki pekerjaan, bahkan seseorang bisa memiliki lebih dari satu pekerjaan.
Ternyata, tak ada peluang tanpa risiko. Kesempatan kerja baru yang diciptakan
teknologi digital ini menghadirkan sebuah masalah besar atas perlindungan
kerja. Terutama dalam perlindungan upah, pengaturan jam kerja, perlindungan
jaminan sosial, serta kebebasan berserikat dan berunding. Kehadiran pekerja digital memicu munculnya
dekonstruksi hubungan kerja industrial konvensional karena terjadi kekosongan
aturan hukum kepada PAD akibat tak jelasnya hubungan kerja majikan dan buruh.
Aturan yang sejauh ini tersedia hanya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12
Tahun 2019 tentang Keselamatan Pengguna Sepeda Motor dan Peraturan Dirjen
Perhubungan Darat tentang batas tarif atas dan bawah. Kekosongan
regulasi Sebagai akibat tak adanya aturan yang
jelas, relasi kerja antara pemilik aplikasi dan PAD hanya terjadi dalam
bentuk pengaturan sepihak oleh pemilik aplikasi. Sebab, seperti disebutkan
dalam Pasal 15 Permenhub di atas, hubungan antara perusahaan aplikasi dan
pengemudi merupakan hubungan kemitraan. Bukan hubungan kerja industrial
sebagaimana selama ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dari pengalaman negara lain, sudah beberapa
negara yang melakukan pengaturan kepada pekerja digital. Indonesia termasuk
yang belum siap mengubah peraturan perundang-undangannya. Keengganan ini
ditengarai akibat kontribusi bisnis aplikasi digital yang cukup memadai
memberikan kesempatan kerja. Jika diatur ketat, dikhawatirkan bisa menghambat
kreativitas pertumbuhannya. Bisnis pekerja digital yang paling besar
bertumbuh saat ini terjadi pada pekerja transportasi digital (PTD). Menurut
perkiraan Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua (Garsa) Indonesia
Igun Wicaksono, saat ini ada 3,9 juta PTD di Indonesia. Terdiri dari 2,9 juta
pengemudi Gojek dan 1 juta pengemudi Grab. Memang data ini hanya angka perkiraan
akibat tiadanya data yang tersedia secara baik dari pengelola digital dan
pemerintah, tetapi dari seluruh pekerja ini, sesuai data BPJS Ketenagakerjaan
2020, yang sudah terdaftar sebagai peserta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
(Jamsostek) hanya 95.766 orang (3,3 persen), terdiri dari 93.118 pengemudi
Gojek dan 2.648 pengemudi Grab. Ini hanya salah satu contoh rendahnya
perlindungan jaminan sosial. Masih ada kasus upah, jam kerja, dan sebagainya.
Siapa yang patut disalahkan atas persoalan ini? Karena pemilik aplikasi
digital tak menganggap melakukan penyimpangan hukum atas praktik bisnisnya.
Secara definisi hukum mereka bukan pengusaha atau majikan pekerja. Mereka hanya penyedia aplikasi kepada
pengemudi dengan kesepakatan bagi hasil. Tidak ada hubungan kerja! Sebab,
dalam Pasal 1 angka 15 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
disebutkan, ”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja
atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur-unsur pekerjaan,
upah, dan perintah”. Salah satu unsur yang tak terpenuhi dalam
definisi ini adalah PAD tak mendapatkan upah dari pemilik aplikasi, tetapi
dari konsumen yang menggunakan jasa mereka. Pengelola digital hanya penyedia
fasilitas teknologi yang membantu pengemudi mendapatkan penumpang dan
menyediakan pembayaran secara digital dengan kesepakatan bagi hasil. Cegah
dehumanisasi Tidak bisa dimungkiri teknologi telah
mengganti banyak pekerja terhindar dari pekerjaan berat (heavy), berbahaya
(hazardous), dan kerja berulang (repetitive). Karena itu, upaya mencegah
dehumanisasi untuk tingkat tertentu bisa dihindari. Kehadiran teknologi kecerdasan buatan,
teknologi algoritma, dan mesin pembaca memungkinkan pemilik aplikasi bisa
memonitor aktivitas pekerja melebihi akurasi pengawasan manajer SDM
konvensional. Teknologi bisa mengawasi pergerakan pekerja
setiap detik, mengetahui lokasi keberadaannya, memberikan peringatan dini
atas target yang tak tercapai. Berdasarkan skor data inilah nasib pekerja
digital umumnya diputuskan. Misalnya, siapa pengemudi yang bekerja tak
efisien, pekerja tepat waktu, pekerja yang melewati target. PHK tidak lagi
terjadi dalam sebuah mekanisme konsultasi sebagaimana diatur oleh UU
Ketenagakerjaan, tapi didasarkan atas input yang didapat dari teknologi. Begitu juga dalam hal upah, tak lagi
merujuk ke aturan upah minimum. Yang ada adalah target harian sebagai dasar
penetapan pendapatan. Jika pekerja bisa melebihi target, diberikan bonus
tambahan. Beberapa pekerja transpor digital yang penulis wawancarai umumnya
mengeluh atas minimnya pendapatan mereka akhir-akhir ini. Di masa awal bekerja sebagai pengemudi
aplikasi digital pendapatan sangat tinggi, tetapi kemunculan beberapa
kompetitor lain telah menurunkan pendapatan. Pengemudi yang mengalami
kecelakaan kerja harus membayar sendiri pengobatannya karena bukan peserta
Jamsostek. Dalam situasi ini mereka inilah pekerja yang paling cepat terjatuh
ke jurang kemiskinan absolut. Data BPJS Ketenagakerjaan mengonfirmasi
fakta di atas, dengan data tingginya tingkat kecelakaan kerja setiap tahun.
Tahun 2020, jumlah kasus kecelakaan kerja terjadi pada 350.000 orang. Ini
berarti rata-rata 300 orang per hari. Data ini tentu masih lebih tinggi dari
realitas tingkat kecelakaan kerja yang sebenarnya, karena angka tadi hanya menghitung
dari peserta aktif Jamsostek yang berjumlah 19 juta orang. Di luar peserta Jamsostek, masih ada
puluhan juta pengemudi yang belum terdaftar di Jamsotek. Untuk PAD, hanya
95.766 yang memiliki perlindungan Jamsostek. Di luar masalah di atas, dimensi
lain dehumanisasi juga melanda pekerja PAD dalam proses perekrutan, promosi,
pemutusan kerja, upah, dan lainnya, karena selanjutnya penetapan atas hal-hal
itu tak lagi oleh manajer SDM, tapi oleh program algoritma yang secara
otomatis diinput sistem aplikasi. Survei kantor Organisasi Buruh
Internasional (ILO) tahun 2019 menunjukkan, proporsi pekerja yang dilindungi
jaminan sosial masih kecil. Di Afrika 45 persen, Amerika Latin 38 persen,
Asia 38 persen. Masih dengan survei ILO, 65 persen pekerja
bekerja setidaknya enam hari per minggu, dan 44 persen bekerja tujuh hari per
minggu. Sebanyak 56 persen bekerja pada malam hari sampai pagi, dan 68 persen
bekerja malam hari mulai pukul 18.00 sampai 22.00. Tingginya volume kerja
yang dihadapi pekerja digital ini membuat konsep kerja fleksibel dan
work-life balance menjadi ilusi. Solusi
global dan nasional Akhir-akhir ini ada perdebatan
internasional atas sebuah ide baru yang dikenal dengan istilah pendapatan
dasar universal (universal basic income). Inti gagasannya adalah nantinya
pemerintah menyediakan pendapatan dasar kepada setiap orang yang menganggur
pada usia kerja, sebagai mitigasi hilangnya pekerjaan akibat Revolusi
Industri 4.0. Beberapa ahli ekonomi menyebutnya ”a
post-capitalist economic system”, sebuah arah menuju konsep berbasis negara
kesejahteraan. Sumber dananya diambil dari dua sumber: pengenaan pajak dari
gas emisi (emission tax) dan dari pengalihan iuran jaminan sosial yang
dipungut selama ini (ending social security pay roll). Masalahnya, konsep ini masih sangat rumit
untuk diimplementasikan. Sepertinya hanya cocok untuk negara kaya dengan
penduduk kecil. Negara miskin dengan penduduk besar akan diperhadapkan dengan
minimnya kemampuan fiskal pendanaannya. Ekonom lain penentang gagasan ini menyebutkan
kebijakan perlindungan kerja (protection of work) lebih penting diatur
dibandingkan perlindungan pendapatan (income protection). Alasannya, dalam
konsep perlindungan kerja tersedia mekanisme perundingan upah dan syarat
kerja lain, sebagai salah satu hakikat penting hubungan industrial. Sementara jika prioritasnya hanya
perlindungan pendapatan, pekerja yang mendapat santunan bisa menurunkan
motivasi mereka mencari pekerjaan, seperti pengalaman yang dicoba di
Finlandia. Indonesia yang menghadapi pertumbuhan pesat
sektor PAD mendesak adanya pengaturan. Prioritas pertama yang harus
ditetapkan adalah kepastian status hukum PAD karena saat ini ada beberapa
kategori yang ditetapkan sesuai tafsir hukum masing-masing. Ada yang
menggolongkannya sebagai pekerja penerima upah; bukan penerima upah (pekerja
tanpa majikan); pekerja bebas kontraktor, pengusaha mikro kecil. Beberapa negara sudah berhasil menetapkan
status PAD dalam regulasi resmi. Pengalaman tersebut bisa dijadikan rujukan
Indonesia untuk menetapkan status hukum PAD. Perancis, misalnya, melalui perdebatan
panjang di Mahkamah Konstitusi selama empat tahun, akhirnya berhasil
menelurkan UU The Mobility Law yang memuat aturan untuk PAD, walau hanya
berlaku kepada pengemudi mobil dan sepeda motor. Dalam UU ini, status pekerja PAD ditetapkan
sebagai pekerja kontrak. Jadi, seluruh aturan hukum yang melindungi pekerja
kontrak berlaku untuk PAD. Termasuk hak membentuk serikat buruh, berunding
secara kolektif, upah minimum, hak jaminan sosial, dan hak pemogokan. Pengaturan sama juga terjadi di Afrika
Selatan, yakni pengemudi Uber berhak berserikat, berunding, dan mogok, karena
statusnya adalah pekerja, bukan kontraktor independen. Pemerintah India, Inggris, dan China juga
sudah membuat aturan atas status hukum PAD yang jelas. Bahkan di China ada
aturan pemilik aplikasi harus menjamin pengemudi dilindungi jaminan sosial. Argumentasi umum atas penetapan status
hukum ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemilik bisnis aplikasi digital
memiliki kekuasaan memberikan perintah kerja, memonitor pekerjaan pekerja,
bahkan bisa memberikan sanksi apabila ada kesalahan pekerja. Jadi, sebuah hubungan kerja subordinat
jelas terlihat yang menjustifikasi adanya persetujuan kontrak pekerjaan. PAD
tak bisa dijadikan sebagai pekerja bebas/mandiri karena dalam kenyataannya
mereka tak bebas memilih siapa penumpang, jumlah bayaran, area kerja, jam
kerja, dan sebagainya. Itulah sebabnya, Pemerintah Belgia mengenakan pajak
atas bisnis pekerja digital yang hasilnya diperuntukkan bagi pendanaan iuran
jaminan sosial PAD. India juga membuat regulasi pajak yang
hampir sama, tetapi mekanisme pungutan pajak dilakukan oleh pemilik bisnis
aplikasi dengan menambah ”service taxes” kepada setiap penumpang, untuk
membiayai iuran jaminan sosial PAD. Di Indonesia pemilik bisnis aplikasi secara
sporadis dan minimalis melakukan pelindungan hanya kepada sebagian kecil PAD
untuk program BPJS Ketenagakerjaan, tetapi tidak dalam sebuah aturan yang
jelas, sehingga tidak banyak PAD yang bisa dilindungi. Pada prinsipnya, semua pekerja —apa pun
status kerjanya—harus dilindungi dalam sebuah aturan tertulis yang jelas.
Tidak boleh ada diskriminasi perlindungan kerja, apa pun status pekerjaannya.
Namun, saat tulisan ini terbit, ada ribuan PAD yang saat ini terbaring sakit
akibat kecelakaan kerja, terempas dalam kemiskinan, tanpa pemerintah, tanpa
serikat buruh. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar