Selasa, 20 April 2021

 

”Blockhain” Sebuah Terobosan dalam Pemerataan Kelistrikan di Indonesia

Faisal Yusuf ; Head of Research Energy and Environment, Blockchain Climate Institute, London- UK; Chairman Yayasan BENIH; Mahasiswa Program S-3, Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia

KOMPAS, 19 April 2021

 

 

                                                           

Akses untuk energi, dalam konteks pembangunan manusia, tidak hanya terkait cakupan rasio elektrifikasi. Yang juga penting adalah harus melihat bagaimana kualitas akses energi, keandalannya, kecukupannya, keterjangkauannya, penerimaan masyarakat, kelayakan lingkungan, dan manfaat sosial ekonomi berganda yang diciptakan oleh akses energi.

 

Bayangkan, jika di Pulau Aru, Maluku, akses listrik yang ada hanya 6 jam sehari, bagaimana kualitas kehidupan di sana? Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membeli solar sebagai pengganti listrik? Berapa banyak emisi CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya yang akan ditimbulkan dari efek samping bahan bakar fosil?

 

Beberapa penelitian dan praktik di sejumlah negara menyarankan mungkin ini saatnya kita beralih ke sistem perdagangan peer-to-peer (P2P) berbasis teknologi blockchain sebagai salah satu inovasi pemerataan kelistrikan di Indonesia.

 

Distributed Ledger Technologies (yang lebih dikenal dengan nama Blockchain, Holochain) semakin dikenal oleh organisasi internasional, pemerintah, dan sektor swasta sebagai teknologi pendukung utama yang dapat mengubah cara kita mencapai Sustainable Development Goals.

 

Blockchain adalah database terdistribusi dengan karakteristik unik yang membuatnya sangat cocok untuk memfasilitasi jaringan energi berkelanjutan yang kaya teknologi di masa depan. Hal ini dapat terjadi melalui komponen pendukung dan kapabilitas utama untuk jaringan energi tersebut, seperti perdagangan energi terbarukan, penyeimbangan jaringan, desentralisasi (dan peningkatan kompleksitas) aliran energi, adopsi inovasi digital, dan penerapan respons sisi permintaan.

 

Solusi pemerataan kelistrikan di Indonesia

 

Salah satu hak asasi bagi seluruh warga Indonesia adalah akses untuk energi yang berkelanjutan. Selain itu, telah dinyatakan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) nomor 7 (tujuh) bahwa pengentasan rakyat dari kemiskinan dan kebodohan dapat dilakukan dengan memastikan akses pada energi yang terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan, dan modern untuk semua.

 

Solusi kelistrikan di Indonesia yang diadopsi oleh PLN saat ini, yakni pembangunan pembangkit listrik berskala menengah-besar, berbiaya besar dan tidak efektif dalam hal pemerataan kualitas listrik. Dengan lebih dari 17.500 pulau dan lebih dari 6.000 pulau yang dihuni, membuat jaringan listrik di setiap pulau adalah hal yang hampir dipastikan mustahil dari sisi biaya, ekosistem, dan teknologi. Hal ini juga yang menyebabkan Indonesia disebut sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia.

 

Bank Dunia pada tahun 2015 mengembangkan model pengukuran multi-tier framework untuk mengukur akses listrik rumah dengan fokus durasi ketersediaan listrik, kecukupan listrik, dan kegunaan listrik. Model pengukurannya dibagi lima tingkatan, dengan semakin tinggi tingkatan semakin baik pula kualitas akses.

 

Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa kualitas akses kebanyakan desa di Nusa Tenggara Timur dan wilayah Indonesia bagian timur lainnya ada di Tier 2 dan Tier 1. Sementara itu, sebagai perbandingan, sebagian besar desa dan kota di Jawa menikmati Tier 5 atau minimum Tier 4.

 

Berdasarkan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2018, hampir 30 persen desa di seluruh Indonesia atau lebih dari 25,000 desa masih menggunakan kayu bakar, karena desa-desa tersebut tidak memiliki akses energi bersih, misalkan untuk beralih ke listrik, gas, ataupun biogas.

 

Salah satu cara efektif dalam pemerataan listrik di Indonesia adalah membuat jaringan pembangkit listrik yang kecil (microgrid) yang banyak di setiap daerah dengan didukung oleh penggunaan energi terbarukan, dalam hal ini panel surya.

 

Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), energi surya diharapkan akan digunakan dalam skala yang signifikan pada tahun 2030 dengan tiga cara: skala utilitas besar, di atap perumahan dan komersial, dan di luar jaringan PLN (off-grid) untuk menggantikan pembangkit tenaga diesel yang mahal. Potensi ini diasumsikan akan dikembangkan pada tahun 2030 melalui upaya pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

 

Dalam hal ini, sebuah penelitian program studi doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia berencana untuk menganalisis secara mendalam terhadap aspek sosial, teknologi, ekonomi, lingkungan, dan peraturan terhadap prototipe jual beli listrik pintar secara P2P berbasis teknologi blockchain di luar dari sistem PLN yang akan berkontribusi untuk menjawab kebutuhan penggunaan energi (terbarukan) yang terjangkau.

 

Targetnya adalah masyarakat perkotaan yang berpenghasilan rendah, warga perdesaan, dan penduduk pulau terpencil yang tidak mendapatkan akses listrik secara merata dan optimal sekaligus ikut serta dalam menurunkan emisi CO2 dan gas-gas berbahaya lainnya.

 

”Blockchain” untuk masa depan sistem energi

 

Blockchain dapat menghapus perantara (intermediaries) dan menggantinya dengan jaringan terdistribusi para pengguna yang bekerja dan berkolaborasi dalam kemitraan untuk memvalidasi, mengonsolidasikan, dan menyinkronkan salinan data dalam buku besar melalui mekanisme konsensus.

 

Struktur digitalnya dikumpulkan menjadi blok-blok yang diberi cap waktu dan secara kriptografi terkait dengan blok sebelumnya (membentuk rantai). Struktur blockchain yang kokoh tidak bisa diedit, dihapus, atau ditambah. Jika pun bisa, sistem akan secara otomatis menandai bagian yang sudah diganti.

 

Penggunaan blockchain dengan teknologi smart contract dan teknologi pintar lainnya, seperti artificial intelligence (AI) dan internet of things ( IoT), akan memperlihatkan jual beli listrik secara P2P dengan membentuk microgrid antar-rumah tangga dan komunitas yang dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

 

P2P pertama kali diluncurkan dan dipopulerkan oleh aplikasi-aplikasi ”berbagi-berkas” (file sharing), seperti Napster dan KaZaA pada tahun 1999. P2P merupakan jaringan komputer, di mana setiap komputer yang terhubung dalam jaringan tersebut merupakan klien sekaligus juga server.

 

Jaringan ini dibentuk tanpa adanya kontrol terpusat dari sebuah server yang terdedikasi. Setiap komputer memiliki kedudukan yang sama. Pertukaran data antarkomputer serta penggunaan fasilitas komputer yang terhubung pada jaringan P2P dapat dilakukan secara langsung, tidak ada pengendali dan pembagian hak akses.

 

Sistem P2P ini menggunakan teknologi blockchain, yakni basis data terdistribusi dengan karakteristik unik yang membuatnya sangat cocok untuk memfasilitasi jaringan energi berkelanjutan yang kaya teknologi di masa depan.

 

Hal ini dapat terjadi melalui komponen pendukung dan kapabilitas utama untuk jaringan energi tersebut, seperti perdagangan energi terbarukan, penyeimbangan jaringan, desentralisasi (dan peningkatan kompleksitas) aliran energi, adopsi inovasi digital, penerapan respons sisi permintaan, dan lain-lain.

 

Perdagangan P2P dapat sangat mengurangi operasi keseluruhan biaya sistem tenaga dan akhirnya mengurangi tagihan listrik konsumen. Konsumen bisa berhemat dengan berbagai cara, sementara prosumers (produsen sekaligus konsumer) dapat menghasilkan uang dari produksi berlebih energi terbarukan.

 

Di samping itu, konsumen tanpa kapasitas pembangkitan bisa memanfaatkan listrik dari energi terbarukan lokal berbiaya rendah. Contoh negara-negara yang melibatkan institusi negara maupun swasta dalam uji coba skema perdagangan listrik pintar P2P adalah Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Jepang, Kolombia, Malaysia, dan Bangladesh.

 

”Regulatory sandbox”

 

Kantor Kabinet Jepang pada 2018 memperkenalkan regulatory sandbox yang memungkinkan terciptanya model bisnis baru yang menggunakan teknologi inovatif seperti blockchain, AI, dan IoT. Berfokus pada layanan keuangan, perawatan kesehatan, energi, privasi, dan transportasi, antara lain, regulatory sandbox di Jepang terbuka untuk organisasi lokal dan asing (misalnya swasta, publik, atau LSM).

 

Teknologi berinovasi dengan cepat seiring dengan waktu. Hal yang cukup sulit diimbangi dengan regulasi yang ada. Pemerintah harus selalu siap dalam era pertukaran informasi seperti saat ini. Bank Indonesia dan Ototitas Jasa Keuangan saat ini telah membuka regulatory sandbox model dan memfokuskan diri untuk layanan teknologi finansial beserta produk dan layanannya.

 

Alangkah baiknya jika pemerintah memperluas akses regulatory sandbox kepada bidang yang lain, seperti kesehatan, energi, transportasi, dan lingkungan. Regulatory sandbox akan menjadi forum yang ideal untuk memulai dialog dan berekperimen antara regulator maupun inovator untuk belajar dari satu sama lain dan bertukar wawasan tentang uji coba sebuah produk sebelum layak dipakai oleh masyarakat luas.

 

Teknologi blockchain yang disandingkan dengan penggunaan panel surya dalam jual beli listrik secara P2P akan berkontribusi langsung terhadap penurunan CO2 sesuai dengan target pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dan 29 persen pada 2030. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar