Minggu, 11 April 2021

 

Ketika Umbu Pergi, Apakah Kewingitan Puisi Masih Tersisa

 Agus R. Sarjono ; Penyair, esais, penulis lakon. Peraih Sunthorn Phu Award dari Thailand ini, mengajar di Jurusan Teater ISBI Bandung

                                                         KOMPAS, 10 April 2021

 

 

                                                           

Olideli! Olideli, Kudaku Janggi

 

Umbu Sumba Landu Paranggi

 

Umbu menderu Umbu berlari

 

Di baris hening nyanyi puisi.

 

Mahwi Air Tawar

 

Umbu Landu Paranggi, sosok terkenal yang tak kenal viral. Ia adalah the last of the mohicans poet yang menghidupi abad pra-google. Tidak berurusan dengan like dan subscriber, tapi jejaknya menggores dalam di batin sastra Indonesia.

 

Ada suatu masa dimana beberapa seniman memilih menikah dengan seni. Umbu memilih menikah dengan puisi, terus berdua sehidup semati. Bagi Umbu, urusannya dengan puisi adalah urusan cinta, dan bahkan dengan ketenaran pun ia—meminjam ungkapan Chairil Anwar—Ia enggan berbagi.

 

Alhasil, saat menjadi penjaga rubrik puisi, Umbu senantiasa berlaku seperti penjaga taman puisi, jeli melihat benih puisi dan memisahkannya dengan semak-semak puisi. Tidaklah mengherankan ketika menjadi Ki Juru Taman (puisi) di Yogyakarta beragam jenis puisi bisa tumbuh dengan beragam kecantikannya. Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi, Iman Budhi Santosa, Suminto A. Sayuti—untuk menyebut beberapa nama—tumbuh di taman puisinya.

 

Umbu kemudian pindah ke Bali, dan tak lama kemudian taman puisi di Bali terbentuk, lahirlah Putu Fajar Arcana, Oka Rusmini, Warih Wisatsana, Mas Ruscitadewi, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Wayan Jengki Sunarta, Tan Lioe—untuk menyebut beberapa—menyeruak dengan tegas ke dunia perpuisian Indonesia. Sebagaimana jebolan Persada di Yogyakarta, jebolan Sanggar Minum Kopi dengan mahaguru Umbu Landu Paranggi ini semuanya bertahan lama dalam jagat sastra Indonesia.

 

Adalah suatu fenomena luar biasa bagaimana satu sosok pendiam, demikian hemat kata, dapat menginspirasi begitu banyak orang dengan begitu mendalam. Nyata Umbu Lambu Paranggi adalah seorang guru besar. Seorang pendekar dalam dunia silat dikenal luas dengan sepak terjang dan jurus-jurusnya, sementara seorang guru besar dikenal luas lewat sepak terjang murid-muridnya.

 

Tidak setiap pendekar bisa menjadi guru besar, tapi jelas seorang guru besar adalah pendekar. Ingin tahu mutu kependekaran Umbu? Silahkan jajal saja murid-muridnya, mulai dari Emha Ainun Nadjib, Suminto A. Sayuti, Putu Fajar Arcana, Oka Rusmini, Cok Sawitri, atau Wayang Jengki Sunarta.

 

Umbu tampaknya tidak tertarik mengklaim maupun mensertifikatkan lahan subur Persada Studi Klub di Jogya maupun Sanggar Minum Kopi di Den Pasar atas namanya. Dia juga tidak terlihat mendefinisikan diri sebagai komandan Persada maupun Sanggar Minum Kopi dan memulai pertarungan dengan komunitas lain.

 

Ia tidak jatuh cinta pada lembaga. Baginya puisilah cinta sejati. Ia dapat tergetar seminggu lamanya membaca puisi yang indah meskipun bukan karya penyair komunitas binaannya. Baginya, puisi yang indah adalah anugerah, dari manapun ia datangnya. Dan cintanya yang enggan berbagi dengan puisi inilah yang menjadi kekuatan besar tak ternafikan bagi orang di sekitarnya.

 

Saya tidak mengenal Umbu secara pribadi dan tidak pernah masuk perguruan Umbu, namun namanya sudah saya kenal sejak saya belia. Nama besar Umbu sudah menggema di telinga saya jauh sebelum saya dapat membaca puisi-puisinya (yang memang tidak mudah ditemukan karena Umbu seperti enggan menerbitkan karya-karyanya). Dari mana saya mengenalnya? Tentu dari kiprah murid-muridnya. Lagi pula, Umbu bukan orang yang gampang ditemui.

 

Pertemuan dengan Umbu tidak dapat dilakukan dalam janji temu, melainkan berdasar “jodoh” seperti di dunia Kang Ouw. Beberapa nama terkenal pernah membuat janji temu, tapi pada akhirnya hingga mereka kembali ke kotanya masing-masing tidak pernah berhasil ketemu Umbu.

 

Suatu hari saya mendapat kabar bahwa Umbu—Umbu Landu Paranggi yang itu—akan bikin acara pembacaan puisi-puisi saya dan Umbu sendiri akan membaca sejumlah sajak-sajak saya. Saya tidak diundang dengan resmi, boleh datang boleh tidak. Bagi Umbu, sajak-sajak saya tidak ada kaitannya dengan penyair yang menuliskannya. Dan dia benar.

 

Kalau seseorang jatuh cinta pada sajak-sajak seorang penyair, mengapa pula harus repot-repot berkenalan—apa lagi jatuh cinta—dengan penyairnya? Dan saya? Tentu saja saya geres semua kegiatan, pesan tiket, dan terbang ke Denpasar. Semua urusan bisa dijadwal ulang, tapi Umbu baca puisi saya, walau ditodong dengan senjata belum tentu sudi dia ulangi.

 

Di malam itulah saya berjumpa untuk pertama dan terakhir kali dengan Umbu Landu Paranggi. Beberapa teman penyair Bali ganti berganti membaca puisi saya. Saya didaulat juga. Dan akhirnya, Umbu himself baca puisi saya. Dia sudah merencanakan untuk membaca cukup banyak puisi saya, tapi karena puisi pilihan dia dipilih juga oleh saya dan Wayan Jengki Sunartha, maka tinggal sebagian lagi yang dia baca.

 

Saya agak menyesal mengapa memilih untuk membaca puisi-puisi liris saya, padahal saya bisa memilih puisi-puisi yang “seru” kalau saya bacakan di depan publik. Tapi entah mengapa, sejak awal saya tidak berani membaca “Sajak Palsu”, puisi sejuta umat yang heboh itu. Tidak juga puisi “Demokrasi Dunia Ketiga”, yang jarang gagal menggebrak publik, terutama publik Eropa.

 

Saya lupa di malam itu ada atau tidak yang membaca “Sajak Palsu”, tapi jelas tidak mungkin saya. Saya kira tidak juga Jengki Sunartha yang jago gebrak panggung. Baru saya sadari kemudian bahwa saat itu saya merasa ada yang wingit dengan kehadiran Umbu. Serasa kita memasuki suatu pertapaan, dan siapa yang cukup bodoh untuk “berlagak” di sebuah pertapaan.

 

Selepas acara kami berbincang. Tapi, tidak banyak yang kami percakapkan. Umbu sangat hemat kata, seperti agak pemalu tapi sekaligus undeniable. Dia seperti selalu berada dalam keadaan meditasi. Malam makin larut. Kami berpisah. Besoknya saya terbang pulang. Di pesawat saya kenang perjumpaan dengan Umbu dan percakapan kami yang bisa dibilang minim. Tapi entah mengapa, selepas percakapan minim itu, saya merasa sudah berkenalan dengan Umbu sejak lama.

 

Seminggu kemudian, telpon berdering, dan ternyata Umbu yang bicara. Ia bicara cukup detil mengenai Bali yang mempesonanya, sedikit sastra, dan panjang lebar tentang sepak bola yang dengan antusias sedang ditunggunya. Percakapan telpon itu berlangsung hampir dua jam dan dia tutup dengan “Asal jam-jam segini, telpon saya kapan saja. Terutama kalau mau ada pertandingan sepak bola.” Kejadian ini kemudian berulang.

 

Sebenarnya saya ingin terbang ke Denpasar dan duduk di sebelahnya menghabiskan malam, mungkin tanpa kata-kata, tapi kesibukan duniawi tidak selalu memberi peluang bagi kewingitan puisi.

 

Kini Umbu telah pergi, meninggalkan kita di tengah hiruk pikuk sosial media. Ia akan bersua dengan Olideli, kuda Sumba masa kanaknya. Masih belum jelas apakah kewingitan puisi akan ikut pergi bersama dia atau tersisa barang sedikit bagi kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar