Ketika
Umbu Pergi, Apakah Kewingitan Puisi Masih Tersisa Agus R. Sarjono ; Penyair, esais, penulis lakon.
Peraih Sunthorn Phu Award dari Thailand ini, mengajar di Jurusan Teater ISBI Bandung |
KOMPAS,
10 April
2021
Olideli!
Olideli, Kudaku Janggi Umbu
Sumba Landu Paranggi Umbu
menderu Umbu berlari Di
baris hening nyanyi puisi. Mahwi
Air Tawar Umbu Landu Paranggi, sosok terkenal yang
tak kenal viral. Ia adalah the last of the mohicans poet yang menghidupi abad
pra-google. Tidak berurusan dengan like dan subscriber, tapi jejaknya
menggores dalam di batin sastra Indonesia. Ada suatu masa dimana beberapa seniman
memilih menikah dengan seni. Umbu memilih menikah dengan puisi, terus berdua
sehidup semati. Bagi Umbu, urusannya dengan puisi adalah urusan cinta, dan
bahkan dengan ketenaran pun ia—meminjam ungkapan Chairil Anwar—Ia enggan
berbagi. Alhasil, saat menjadi penjaga rubrik puisi,
Umbu senantiasa berlaku seperti penjaga taman puisi, jeli melihat benih puisi
dan memisahkannya dengan semak-semak puisi. Tidaklah mengherankan ketika
menjadi Ki Juru Taman (puisi) di Yogyakarta beragam jenis puisi bisa tumbuh
dengan beragam kecantikannya. Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi, Iman Budhi
Santosa, Suminto A. Sayuti—untuk menyebut beberapa nama—tumbuh di taman
puisinya. Umbu kemudian pindah ke Bali, dan tak lama
kemudian taman puisi di Bali terbentuk, lahirlah Putu Fajar Arcana, Oka
Rusmini, Warih Wisatsana, Mas Ruscitadewi, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Wayan
Jengki Sunarta, Tan Lioe—untuk menyebut beberapa—menyeruak dengan tegas ke
dunia perpuisian Indonesia. Sebagaimana jebolan Persada di Yogyakarta,
jebolan Sanggar Minum Kopi dengan mahaguru Umbu Landu Paranggi ini semuanya
bertahan lama dalam jagat sastra Indonesia. Adalah suatu fenomena luar biasa bagaimana
satu sosok pendiam, demikian hemat kata, dapat menginspirasi begitu banyak
orang dengan begitu mendalam. Nyata Umbu Lambu Paranggi adalah seorang guru
besar. Seorang pendekar dalam dunia silat dikenal luas dengan sepak terjang
dan jurus-jurusnya, sementara seorang guru besar dikenal luas lewat sepak
terjang murid-muridnya. Tidak setiap pendekar bisa menjadi guru
besar, tapi jelas seorang guru besar adalah pendekar. Ingin tahu mutu kependekaran
Umbu? Silahkan jajal saja murid-muridnya, mulai dari Emha Ainun Nadjib,
Suminto A. Sayuti, Putu Fajar Arcana, Oka Rusmini, Cok Sawitri, atau Wayang
Jengki Sunarta. Umbu tampaknya tidak tertarik mengklaim
maupun mensertifikatkan lahan subur Persada Studi Klub di Jogya maupun
Sanggar Minum Kopi di Den Pasar atas namanya. Dia juga tidak terlihat
mendefinisikan diri sebagai komandan Persada maupun Sanggar Minum Kopi dan
memulai pertarungan dengan komunitas lain. Ia tidak jatuh cinta pada lembaga. Baginya
puisilah cinta sejati. Ia dapat tergetar seminggu lamanya membaca puisi yang
indah meskipun bukan karya penyair komunitas binaannya. Baginya, puisi yang
indah adalah anugerah, dari manapun ia datangnya. Dan cintanya yang enggan
berbagi dengan puisi inilah yang menjadi kekuatan besar tak ternafikan bagi
orang di sekitarnya. Saya tidak mengenal Umbu secara pribadi dan
tidak pernah masuk perguruan Umbu, namun namanya sudah saya kenal sejak saya
belia. Nama besar Umbu sudah menggema di telinga saya jauh sebelum saya dapat
membaca puisi-puisinya (yang memang tidak mudah ditemukan karena Umbu seperti
enggan menerbitkan karya-karyanya). Dari mana saya mengenalnya? Tentu dari
kiprah murid-muridnya. Lagi pula, Umbu bukan orang yang gampang ditemui. Pertemuan dengan Umbu tidak dapat dilakukan
dalam janji temu, melainkan berdasar “jodoh” seperti di dunia Kang Ouw.
Beberapa nama terkenal pernah membuat janji temu, tapi pada akhirnya hingga
mereka kembali ke kotanya masing-masing tidak pernah berhasil ketemu Umbu. Suatu hari saya mendapat kabar bahwa
Umbu—Umbu Landu Paranggi yang itu—akan bikin acara pembacaan puisi-puisi saya
dan Umbu sendiri akan membaca sejumlah sajak-sajak saya. Saya tidak diundang
dengan resmi, boleh datang boleh tidak. Bagi Umbu, sajak-sajak saya tidak ada
kaitannya dengan penyair yang menuliskannya. Dan dia benar. Kalau seseorang jatuh cinta pada
sajak-sajak seorang penyair, mengapa pula harus repot-repot berkenalan—apa
lagi jatuh cinta—dengan penyairnya? Dan saya? Tentu saja saya geres semua
kegiatan, pesan tiket, dan terbang ke Denpasar. Semua urusan bisa dijadwal
ulang, tapi Umbu baca puisi saya, walau ditodong dengan senjata belum tentu
sudi dia ulangi. Di malam itulah saya berjumpa untuk pertama
dan terakhir kali dengan Umbu Landu Paranggi. Beberapa teman penyair Bali
ganti berganti membaca puisi saya. Saya didaulat juga. Dan akhirnya, Umbu
himself baca puisi saya. Dia sudah merencanakan untuk membaca cukup banyak
puisi saya, tapi karena puisi pilihan dia dipilih juga oleh saya dan Wayan
Jengki Sunartha, maka tinggal sebagian lagi yang dia baca. Saya agak menyesal mengapa memilih untuk
membaca puisi-puisi liris saya, padahal saya bisa memilih puisi-puisi yang
“seru” kalau saya bacakan di depan publik. Tapi entah mengapa, sejak awal saya
tidak berani membaca “Sajak Palsu”, puisi sejuta umat yang heboh itu. Tidak
juga puisi “Demokrasi Dunia Ketiga”, yang jarang gagal menggebrak publik,
terutama publik Eropa. Saya lupa di malam itu ada atau tidak yang
membaca “Sajak Palsu”, tapi jelas tidak mungkin saya. Saya kira tidak juga
Jengki Sunartha yang jago gebrak panggung. Baru saya sadari kemudian bahwa
saat itu saya merasa ada yang wingit dengan kehadiran Umbu. Serasa kita
memasuki suatu pertapaan, dan siapa yang cukup bodoh untuk “berlagak” di
sebuah pertapaan. Selepas acara kami berbincang. Tapi, tidak
banyak yang kami percakapkan. Umbu sangat hemat kata, seperti agak pemalu
tapi sekaligus undeniable. Dia seperti selalu berada dalam keadaan meditasi.
Malam makin larut. Kami berpisah. Besoknya saya terbang pulang. Di pesawat
saya kenang perjumpaan dengan Umbu dan percakapan kami yang bisa dibilang
minim. Tapi entah mengapa, selepas percakapan minim itu, saya merasa sudah
berkenalan dengan Umbu sejak lama. Seminggu kemudian, telpon berdering, dan
ternyata Umbu yang bicara. Ia bicara cukup detil mengenai Bali yang
mempesonanya, sedikit sastra, dan panjang lebar tentang sepak bola yang
dengan antusias sedang ditunggunya. Percakapan telpon itu berlangsung hampir
dua jam dan dia tutup dengan “Asal jam-jam segini, telpon saya kapan saja.
Terutama kalau mau ada pertandingan sepak bola.” Kejadian ini kemudian
berulang. Sebenarnya saya ingin terbang ke Denpasar
dan duduk di sebelahnya menghabiskan malam, mungkin tanpa kata-kata, tapi
kesibukan duniawi tidak selalu memberi peluang bagi kewingitan puisi. Kini Umbu telah pergi, meninggalkan kita di
tengah hiruk pikuk sosial media. Ia akan bersua dengan Olideli, kuda Sumba
masa kanaknya. Masih belum jelas apakah kewingitan puisi akan ikut pergi
bersama dia atau tersisa barang sedikit bagi kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar