Minggu, 11 April 2021

 

Terima Kasih

 Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu

                                                         KOMPAS, 11 April 2021

 

 

                                                           

Saya yakin, teramat yakin bahwa Anda, seperti saya sudah acapkali mengucapkan terima kasih kepada begitu banyak orang untuk begitu banyak kejadian. Ucapan itu tak hanya ditujukan kepada sesama makhluk hidup tetapi juga kepada sang Khalik.

 

Bahkan di luar keduanya, saya dan mungkin ada beberapa dari Anda yang mengatakan itu pada alam semesta, pada tubuh, dan organ tubuhnya.

 

Dua sisi

 

Ucapan terima kasih umumnya disampaikan sebagai tanda bahwa yang mengucapkannya menerima sebuah kebaikan dalam berbagai bentuk. Mendapatkan bantuan finansial, mendapatkan penghargaan, merasa bahwa hidupnya tenteram dan sejahtera, merasa bahwa dapat bangun dalam keadaan sehat, merasa memiliki paru-paru yang sehat, jantung yang sehat.

 

Berterima kasih untuk sebuah pertemanan yang tak hanya bisa berkumpul ketawa-ketiwi, tetapi juga yang mendukung di segala cuaca. Berterima kasih menerima kebaikan berupa doa dari saudara kandung dan dukungan moril sebagai sebuah keluarga yang saling mengasihi. Berterima kasih memiliki keluarga yang meski sudah tidak utuh, tetapi rukun. Berterima kasih untuk pernikahan yang panjang dan melelahkan, tetapi juga membahagiakan.

 

Ucapan itu juga keluar dari mulut manusia yang melakukan kejahatan dalam berbagai macam bentuk dan sampai sekarang tak ada yang tahu soal kejahatan yang mereka buat itu. Pasti mereka akan mengatakan hal yang sama. Terima kasih. Entah kepada siapa, saya tak tahu.

 

Bisa jadi juga ada yang berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa bahwa mereka merasa terlindungi sampai sekarang. Enggak usah jauh-jauh, saya dulu pernah bersyukur pada Tuhan bertemu dengan orang yang menawan hati saya, meski ia milik orang lain. Merasa bersalah? Ya tidaklah. Ucapan terima kasih itu hanya bisa keluar dari perasaan yang tak bersalah, bukan?

 

Tetapi, hidup itu tak hanya berjalan dalam jalur yang membahagiakan. Hidup tak selalu memiliki jalan bebas hambatan dengan kerimbunan di kanan kirinya serta pemandangan indah di depan mata. Hidup kadang panas sampai mengigit atau turun hujan yang menghempaskan segalanya. Hidup menghadiahkan sesuatu yang dicintai tetapi ada masanya yang dicintai itu diambil dan tak pernah bisa kembali lagi.

 

Sengsara membawa nikmat

 

Hidup tak hanya memberi kesehatan, tetapi juga perjalanan penyakit yang meluluh lantahkan raga dan berakhir dengan kehilangan untuk selama-lamanya. Hidup menyuguhkan kesuksesan tetapi juga kebangkrutan.

 

Hidup juga mengajarkan untuk berhati-hati dalam menjalaninya, tetapi apa mau dikata malapetaka pun tak dapat dihindari, meski perencanaan dan perhitungan sudah matang seperti telur rebus.

 

Nah, pertanyaan saya di hari Minggu ini, apakah Anda dan saya bisa mengucapkan terima kasih untuk sebuah situasi tidak menyenangkan itu sama seperti saat Anda dan saya berterima kasih untuk hal-hal indah dan menyenangkan seperti yang saya tulis di atas?

 

Saya diajarkan dalam kehidupan, bahwa kehidupan itu sebaiknya dijalani dengan legawa. Menerima dengan ikhlas apa saja yang diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup kita, apa pun caranya. Saya mendapat pesan utama setelah dinasihati tentang itu, bahwa goal utama dari semua kelegawaan adalah rasa bahagia di akhir sebuah perjalanan yang seperti ayunan itu.

 

Teman saya malah mengatakan bahwa senang atau susah, jalannya mudah atau sulit, ujung-ujungnya adalah untuk menemukan kebahagiaan. Saya kemudian berpikir bahwa kebahagiaan itu dapat datang dari manapun dan dalam bentuk apapun. Bahkan dalam bentuk kesusahan sekalipun.

 

Jadi, kalau demikian adanya, kalau ternyata kebahagiaan bisa datang dari jalan yang penuh kerikil dan berliku, maka sudah selayaknya saya berterima kasih. Oleh karenanya, saat saya melakoni jalan berkerikil dan berliku itu saya menjalankannya dengan hati riang, seperti kalau jalan itu bebas hambatan dengan jalan mulus yang tak terlalu berliku.

 

Dengan demikian, yang disebut negatif itu tak pernah ada. Bagaimana kalau sesuatu dapat mendatangkan kebahagiaan pada akhirnya, saya dapat menyebutnya negatif atau kemalangan? Kalau pada akhirnya saya bisa naik kelas dalam sekolah kehidupan bahkan dengan predikat summa cum laude, bagaimana saya merasa itu sebuah perjalanan yang menyiksa?

 

Sungguh saya mau mengakui bahwa saya menulis ini dengan mudahnya, padahal saya sedang melakoni kehidupan yang belakangan lumayan membuat saya berpikir mengapa kehidupan yang digariskan untuk saya selalu dekat dengan kesengsaraan.

 

Saya telah dinasihati bahwa hidup itu bukan tidak adil, saya telah dikotbahi bahwa kebahagiaan itu bisa datang dari hal yang buruk sekalipun, maka sekarang nasihat dan kotbah itu sedang saya buktikan, bahwa seperti judul novel karangan Tulis Sutan Sati, sengsara itu dapat membawa nikmat.

 

Kalau demikian adanya, saya berterima kasih, meski saya belum sampai di akhir perjalanan dan merasakan bahagia. Dengan begitu, semoga perjalanan saya menuju akhir dipenuhi hanya oleh ucapan syukur semata. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar