Senin, 05 April 2021

 

Jurus Kontemplasi Kartunis lewat Lambang dan Analogi

 Darminto M Sudarmo ; Pemerhati Humor, Co-Founder Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) dan Institut Humor Indonesia Kini (Ihik)

                                                         KOMPAS, 04 April 2021

 

 

                                                           

Misalkan komedian Pramono itu tetap bisa lucu walau pakai jas dan dasi. Dia itu kartunis priyayi ndeles yang “kesasar” di pekerjaan mbanyol. Sebenarnya akan lebih klop bila jadi Pak Guru atau Pak Dosen. Tapi tunggu dulu.

 

Kalau menyimak dari seluruh karya karikaturnya, baik yang dipamerkan di Balai Budaya, Jakarta (9-1-2021) maupun yan telah dipublikasikan di berbagai surat kabar atau media online, tampak bahwa dia itu dengan berbekal analisa/opini seorang jurnalis, pelukis dan humoris dapat lebur menjadi “filosof”. Sebuah absurditaskah? Tidak. Itu kelebihan yang tak sembarang orang mampu mencapainya.

 

Hanya “orang edan” yang bisa begini. Sebagai seniman dia itu tidak urakan dan tidak suka nabrak-nabrak kelaziman; dia benar-benar tertib, bersih, rapi, disiplin dalam banyak hal; termasuk ngreksa raga, disiplin menjaga kesehatan. Jadi tidak usah heran kalau Alhamdulillah, beliau berumur panjang.

 

Kalau ada yang menyebut kritik-kritiknya santun, tentu saja itu tidak keliru. Sebagai apa saja Pramono itu orang yang santun. Senda gurau, ngobrol, ngritik tetap tak meninggalkan tata krama. Dia itu jembar dan sabar. Nguwongke siapa saja, kepada yang muda, apalagi kepada yang sepantar atau lebih tua.

 

Sebagai manusia, terutama dalam hal berelasi dengan yang lain, Pramono benar-benar orang yang pakem. Janjinya pantas dihargai, karena dia akan mencoba dengan segala daya untuk memenuhinya. Sebetulnya kalau dia jadi pejabat atau katakanlah gubernur, menteri atau presiden, mestinya pasti tidak akan mengecewakan. Karena hati nurani dan moral terdalam yang tersimpan dalam dirinya akan menegur dan menghardiknya, jika dalam praktik ia slenca-slenco, tak sesuai antara kata dan perbuatan atau laku ngiwa, melakukan perbuatan buruk.

 

Syahdan, seniman Heri Dono menandai bahwa supremasi seni itu, pertama-tama terwujud dalam laku dan karya yang mampu menyuguhkan kecerdasan seni, kemudian disusul estetika yang sesuai, dan ketiga artistik yang memadai. Jelas itu cukup keren. Khususnya dalam perwacanaan abad kontemporer, posmodern dan post-art.

 

Sebagai kartunis yang sudah di kelas maestro (seperti halnya juga kartunis Augustine Sibarani, GM Sudarta, Dwi Koendoro dan Priyanto Sunarto) tahapan mempersembahkan ketiga supremasi itu sudah terlampaui. Tentu saja dalam bingkai seniman kartun yang memiliki konteks dan ukuran tersendiri.

 

Dalam karya kartun politik atau karikatur, Pramono itu lebih terasa beraroma dan berspirit klasik; tapi klasik yang telah mencapai puncak stilisasi. Sehingga ibarat kata musik klasik barat atau seni gamelan Jawa atau seni wayang purwa, ia sangat adaptif dengan situasi dan kondisi. Tak bisa ditinggalkan begitu saja. Orang akan kangen, orang akan merasa ada sesuatu yang hilang atau belum lengkap bila ia tak hadir.

 

Sekilas menyimak dari melihat garis dan corak, dari gaya dan aksentuasi, kita seperti merasakan rambatan atau katakanlah gerumutan DNA jiwa wujud kartunis Augustine Sibarani yang menyurupi (ingat kata kesurupan) ke GM Sudarta dan Pramono. Dari Pramono ke Non-O S Purwono dan Gatot Eko Cahyono. Sementara Sibarani sendiri, dalam kredonya dianggap sangat terpengaruh, terinspirasi oleh gaya salah satu perupa Perancis terkemuka.

 

Genre baru seni rupa kritis dan lucu

 

Alkisah kata sahibul hikayat, pada tahun 1840 - 1850-an ada sejumlah seniman (satiris) yang mempublikasikan karya-karya “nakal”-nya lewat Majalah Punch; sejenis majalah humor saat ini, bila saya tak silaf besar kemungkinan yang pertama di dunia; mereka adalah John Leech, Richard Doyle, John Tenniel dan Charles Keene.

 

Sebagai komunitas Persaudaraan Punch (Punch Brotherhood) mereka dianggap pesohor yang menarik perhatian. Gerakannya di kemudian hari menjadi sangat penting. Di antaranya memicu lahirnya genre baru seni rupa yang sekarang disebut sebagai kartun, karikatur atau gambar lucu. Salah satu yang paling mencolok, John Leech, yang juga perupa andal, acapkali melukis orang dengan adegan-adegan (realis) tapi dengan ide yang sering membuat pembacanya tergelak-gelak atau marah kebakaran jenggot.

 

Seiring perjalanan waktu, corak realis itu pelan-pelan bermetamorfosa menjadi kartunal atau karikatural. Dan akhirnya menjadi salah satu cabang seni rupa yang kita impor. Kita lestarikan, karena sangat efektif sebagai sarana komunikasi. Industri media cetak pun ramai-ramai menyambutnya.

 

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Pramono dalam mengritik atau bersatire lebih suka menggunakan lambang atau simbol? Padahal nenek moyangnya (John Leech dll) berekspresi lewat visual yang mempermainkan psikologi pembacanya? Atau setidaknya membentur-benturkan nilai sosial yang anomalistik? Bahkan polarisatif dan agak vandalistik, meski tujuannya untuk mengkritisi gaya hidup kaum borjuis yang resisten terhadap nilai-nilai kebersamaan yang diyakini kala itu.

 

Seorang teman dengan gurauannya berteori: pertama karena Pramono tak ingin cepat-cepat masuk penjara dan kemungkinan kedua, lambang atau simbol itu multi-interpretatif, sehingga mudah untuk ngeles atau setidaknya kabur dari “pengadilan liar” seorang oknum tentara yang pernah hendak main hakim sendiri kepada Pramono.

 

Berkontemplasi lewat lambang memang salah satu pilihan yang cerdik untuk seorang karikaturis, seperti halnya seorang komika yang menyajikan tema politik rentan garis singgung dengan jurus metafora atau analogi, agar aman. Bagaimana kalau ada yang mensomasi dan memperkarakannya, ladeni saja asal pengadilannya juga di dunia lambang atau analogi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar