Jurus
Kontemplasi Kartunis lewat Lambang dan Analogi Darminto M Sudarmo ; Pemerhati Humor, Co-Founder Kokkang
(Kelompok Kartunis Kaliwungu) dan Institut Humor Indonesia Kini (Ihik) |
KOMPAS,
04 April
2021
Misalkan komedian Pramono itu tetap bisa
lucu walau pakai jas dan dasi. Dia itu kartunis priyayi ndeles yang “kesasar”
di pekerjaan mbanyol. Sebenarnya akan lebih klop bila jadi Pak Guru atau Pak
Dosen. Tapi tunggu dulu. Kalau menyimak dari seluruh karya
karikaturnya, baik yang dipamerkan di Balai Budaya, Jakarta (9-1-2021) maupun
yan telah dipublikasikan di berbagai surat kabar atau media online, tampak
bahwa dia itu dengan berbekal analisa/opini seorang jurnalis, pelukis dan humoris
dapat lebur menjadi “filosof”. Sebuah absurditaskah? Tidak. Itu kelebihan
yang tak sembarang orang mampu mencapainya. Hanya “orang edan” yang bisa begini.
Sebagai seniman dia itu tidak urakan dan tidak suka nabrak-nabrak kelaziman;
dia benar-benar tertib, bersih, rapi, disiplin dalam banyak hal; termasuk
ngreksa raga, disiplin menjaga kesehatan. Jadi tidak usah heran kalau
Alhamdulillah, beliau berumur panjang. Kalau ada yang menyebut kritik-kritiknya
santun, tentu saja itu tidak keliru. Sebagai apa saja Pramono itu orang yang
santun. Senda gurau, ngobrol, ngritik tetap tak meninggalkan tata krama. Dia
itu jembar dan sabar. Nguwongke siapa saja, kepada yang muda, apalagi kepada
yang sepantar atau lebih tua. Sebagai manusia, terutama dalam hal berelasi
dengan yang lain, Pramono benar-benar orang yang pakem. Janjinya pantas
dihargai, karena dia akan mencoba dengan segala daya untuk memenuhinya.
Sebetulnya kalau dia jadi pejabat atau katakanlah gubernur, menteri atau
presiden, mestinya pasti tidak akan mengecewakan. Karena hati nurani dan
moral terdalam yang tersimpan dalam dirinya akan menegur dan menghardiknya,
jika dalam praktik ia slenca-slenco, tak sesuai antara kata dan perbuatan
atau laku ngiwa, melakukan perbuatan buruk. Syahdan, seniman Heri Dono menandai bahwa
supremasi seni itu, pertama-tama terwujud dalam laku dan karya yang mampu
menyuguhkan kecerdasan seni, kemudian disusul estetika yang sesuai, dan
ketiga artistik yang memadai. Jelas itu cukup keren. Khususnya dalam
perwacanaan abad kontemporer, posmodern dan post-art. Sebagai kartunis yang sudah di kelas
maestro (seperti halnya juga kartunis Augustine Sibarani, GM Sudarta, Dwi
Koendoro dan Priyanto Sunarto) tahapan mempersembahkan ketiga supremasi itu
sudah terlampaui. Tentu saja dalam bingkai seniman kartun yang memiliki
konteks dan ukuran tersendiri. Dalam karya kartun politik atau karikatur,
Pramono itu lebih terasa beraroma dan berspirit klasik; tapi klasik yang
telah mencapai puncak stilisasi. Sehingga ibarat kata musik klasik barat atau
seni gamelan Jawa atau seni wayang purwa, ia sangat adaptif dengan situasi
dan kondisi. Tak bisa ditinggalkan begitu saja. Orang akan kangen, orang akan
merasa ada sesuatu yang hilang atau belum lengkap bila ia tak hadir. Sekilas menyimak dari melihat garis dan
corak, dari gaya dan aksentuasi, kita seperti merasakan rambatan atau
katakanlah gerumutan DNA jiwa wujud kartunis Augustine Sibarani yang
menyurupi (ingat kata kesurupan) ke GM Sudarta dan Pramono. Dari Pramono ke
Non-O S Purwono dan Gatot Eko Cahyono. Sementara Sibarani sendiri, dalam
kredonya dianggap sangat terpengaruh, terinspirasi oleh gaya salah satu
perupa Perancis terkemuka. Genre
baru seni rupa kritis dan lucu Alkisah kata sahibul hikayat, pada tahun
1840 - 1850-an ada sejumlah seniman (satiris) yang mempublikasikan
karya-karya “nakal”-nya lewat Majalah Punch; sejenis majalah humor saat ini,
bila saya tak silaf besar kemungkinan yang pertama di dunia; mereka adalah
John Leech, Richard Doyle, John Tenniel dan Charles Keene. Sebagai komunitas Persaudaraan Punch (Punch
Brotherhood) mereka dianggap pesohor yang menarik perhatian. Gerakannya di
kemudian hari menjadi sangat penting. Di antaranya memicu lahirnya genre baru
seni rupa yang sekarang disebut sebagai kartun, karikatur atau gambar lucu.
Salah satu yang paling mencolok, John Leech, yang juga perupa andal, acapkali
melukis orang dengan adegan-adegan (realis) tapi dengan ide yang sering
membuat pembacanya tergelak-gelak atau marah kebakaran jenggot. Seiring perjalanan waktu, corak realis itu
pelan-pelan bermetamorfosa menjadi kartunal atau karikatural. Dan akhirnya
menjadi salah satu cabang seni rupa yang kita impor. Kita lestarikan, karena
sangat efektif sebagai sarana komunikasi. Industri media cetak pun
ramai-ramai menyambutnya. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa
Pramono dalam mengritik atau bersatire lebih suka menggunakan lambang atau
simbol? Padahal nenek moyangnya (John Leech dll) berekspresi lewat visual
yang mempermainkan psikologi pembacanya? Atau setidaknya membentur-benturkan
nilai sosial yang anomalistik? Bahkan polarisatif dan agak vandalistik, meski
tujuannya untuk mengkritisi gaya hidup kaum borjuis yang resisten terhadap
nilai-nilai kebersamaan yang diyakini kala itu. Seorang teman dengan gurauannya berteori:
pertama karena Pramono tak ingin cepat-cepat masuk penjara dan kemungkinan
kedua, lambang atau simbol itu multi-interpretatif, sehingga mudah untuk
ngeles atau setidaknya kabur dari “pengadilan liar” seorang oknum tentara
yang pernah hendak main hakim sendiri kepada Pramono. Berkontemplasi lewat lambang memang salah
satu pilihan yang cerdik untuk seorang karikaturis, seperti halnya seorang
komika yang menyajikan tema politik rentan garis singgung dengan jurus
metafora atau analogi, agar aman. Bagaimana kalau ada yang mensomasi dan
memperkarakannya, ladeni saja asal pengadilannya juga di dunia lambang atau
analogi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar