Senin, 05 April 2021

 

100 Tahun Usmar Ismail, Momentum Merebut Hak Politik

 Garin Nugroho ; Sutradara, Budayawan

                                                         KOMPAS, 04 April 2021

 

 

                                                           

Perayaan 100 tahun Usmar Ismail (lahir di Bukittingi, 20 maret 1921) dan Hari Film Nasional (30 maret) mengingatkan obrolan saya dengan almarhum sutradara Djaduk Djajakusuma di ruang mengajar di Institut Kesenian Jakarta (1983). Perlu dicatat, Usmar Ismail dan Djaduk bersama memproduksi beberapa film, termasuk film karya Djaduk, Harimau Tjampa (1953).

 

Djaduk tentang Usmar menyatakan, ”Ia tidak saja sutradara film, tetapi juga pribadi yang lengkap. Ia sastrawan dan teaterwan lewat cerpen, puisi, sekaligus karya panggungnya. Ia penulis dan redaktur surat kabar. Ia melahirkan beragam organisasi film ataupun politik, bahkan mendirikan pub pertama di Jakarta. Usmar selalu berusaha merebut hak perlindungan atas film Indonesia. Ia pernah menggampar manajer bioskop yang memprioritaskan film Amerika ketimbang filmnya, mungkin juga karena ia militer. Ia berani memproduksi film yang pro-kontra berkait isu sensualitas.”

 

Menelusuri jejak Usmar terasa bahwa pascakemerdekaan dipenuhi harapan baru. Usmar dengan berbagai cara membuat karya berkualitas sekaligus merebut penonton, bahkan sering karya komersialnya untuk menyubsidi karya berkualitasnya. Simak karya Darah dan Doa (1950) hingga Lewat Jam Malam (1954), karya-karya yang banyak dipengaruhi gerakan film Eropa, seperti Neo Realisme Italia.

 

Bahkan, hari pertama shooting film Darah dan Doa dijadikan sebagai Hari Film Nasional meski terdapat kritik bahwa pilihan tersebut lebih menitikberatkan aspek nasionalisme yang sedang melanda negara pascamerdeka ketimbang aspek sejarah film.

 

Simak pula, karya komersial, seperti Krisis (1953) hingga Tiga Dara (1956), ataupun karya yang langka dilihat, yakni Korban Fitnah (1961) yang diedarkan ke Malaysia. Dalam film Korban Fitnah itu, Usmar sebagai sutradara menggunakan nama samaran berbau India, ”PL. Kapoor” untuk menarik penonton.

 

Lebih dari itu, Usmar memiliki kesadaran berorganisasi untuk merebut hak politik. Yang dimaksud hak politik adalah berbagai hak perlindungan dan pengembangan insan film, baik aspek pendidikan, ekonomi, maupun budaya. Usmar mendirikan Perfini (9 maret 1950) dan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia, 1955) yang menjadi cikal bakal Asdrafi (Seni Drama dan Film Indonesia). Jangan lupa, Usmar juga pernah mengenyam pendidikan di Universitas California, Amerika Serikat.

 

Dalam kiprah politiknya, tahun 1962, ia mendirikan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), yang membawanya menjadi anggota DPR Gotong Royong (1966-1969). Tahun 1967, ia menjadi ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional, melahirkan Pola Pembinaan Perfilman Nasional.

 

Teknokrat Film

 

Catatan di atas menunjukkan, di setiap lompatan sejarah film, terdapat teknokrat organisasi film. Sumber daya manusia unggul di dunia film yang mempunyai keahlian dan strategi dalam organisasi guna memengaruhi terwujudnya berbagai kebijakan pemerintah berkait film. Salah satu teknokrat paling berpengaruh di dunia film dari Asia adalah Kim Dong-ho, pendiri dan direktur awal Busan Film Festival (1996) yang menjadi pegas lompatan industri film Korea Selatan.

 

Kim Dong-ho memimpin Busan ketika berumur 59 tahun. Sebelumnya, ia menjabat berbagai posisi birokrasi Kementerian Budaya dan Dewan Film. Sebuah usia yang sulit diterima di Indonesia untuk membangkitkan semangat independen. Namun, ternyata kepiawaiannya berorganisasi, pengalamannya di birokrasi, serta keluasan jaringannya, baik swasta maupun pemerintah, menjadikan ide-ide baru anak muda di perfilman Korea mendapatkan pijakan kebijakan pemerintah dan swasta dalam skala makro industri kreatif Korea. Kendati harus melalui negosiasi berbagai kepentingan konflik politik orde lama dan baru Korea.

 

Sejarah film Indonesia mencatat sosok sutradara Syumanjaya yang menjadi Direktur Direktorat Film Departemen Penerangan (1967), mampu melahirkan kebijakan strategis melindungi film nasional, yakni lewat SK Menteri Penerangan Nomor 71 Tahun 1967 tentang pengumpulan dana impor yang digunakan untuk produksi film nasional. Ini mampu membangkitkan film nasional yang dilanda krisis.

 

Momentum atau euforia?

 

Pascareformasi dicirikan oleh lahirnya berbagai lembaga publik independen berkait profesi sesuai tuntutan demokrasi. Salah satunya, BPI (Badan Perfilman Indonesia), dewan tertinggi dalam organisasi film Indonesia. Ironisnya, BPI lahir dari perangkat peraturan hukum yang lemah, kehilangan status independen dan sistem anggaran keuangan bagi daya hidup organisasi. Hal ini juga terjadi terhadap Dewan Pers meski kemudian teknokrat Dewan Pers mampu duduk bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi guna menjalankan Dewan Pers sebagai lembaga independen berikut anggaran keuangan dengan keterbatasannya.

 

Celakanya, dunia film tidak memiliki teknokrat untuk bernegosiasi dalam memecahkan status dan peran BPI dengan genuine. Kenyataan menunjukkan, organisasi film pascareformasi masih dijalankan mereka yang aktif membuat film, bukan teknokrat film yang berfokus pada organisasi. Bisa diduga, pada masa awal pascareformasi, dinamika merebut hak politik film masih bersifat parsial dan isu kasuistik sering masih sekadar untuk kepentingan kelompoknya.

 

Di sisi lain, lemahnya status dan peran BPI justru di tengah kemenangan kreatif generasi baru film, mewujudkan kebangkitan film Indonesia pascareformasi. Generasi ini mampu mencapai era emas 1998-2019, jumlah penonton mencapai 50 juta dan produksi film tahun 2019 mencapai 140 film. Meski peran BFI masih lemah, dengan segala keterbatasan, organisasi profesi, mulai dari kamera hingga sutradara, serta berbagai ajang, seperti Festival Film Indonesia, tetap berjalan, bahkan di tengah pandemi, lewat fasilitasi Kemendikbud.

 

Momen 100 tahun Usmar Ismail mengisyaratkan, bangunan puncak emas film selalu berumur pendek. Untuk membangun ekosistem film yang bertumbuh lokal-global jangka panjang layaknya Korea, tidak cukup hanya dengan kemenangan kreatif para pembuat film ataupun semata kekuatan rumah produksi komersial, tetapi juga dengan kemampuan membangun organisasi profesi dengan status dan peran independen.

 

Ini diperlukan agar mampu menjawab tuntutan zaman lewat strategi jangka panjang yang progresif. Terlebih di era pandemi dan ekosistem media baru yang menuntut strategi baru agar era emas tidak menjadi euforia dan berumur pendek. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar