Selasa, 13 April 2021

 

Intelektual Jalan Tengah

 Novri Susan ; Sosiolog Universitas Airlangga

                                                         KOMPAS, 12 April 2021

 

 

                                                           

Konflik pemikiran ilmu sosial politik terjadi antara positivisme-obyektivisme dengan humanisme-subyektivisme pada abad ke-20. Konflik pemikiran tersebut masih menjadi beban dan dendam kesumat di antara para penganutnya sampai era masyarakat digital. Konflik itu merupakan dualisme pemikiran yang saling mempertentangkan teori dan ideologi pemikiran dalam interaksi zero-sum game.

 

Para intelektual penganut dualisme, baik positivisme dan humanisme, hanya berkutat pada usaha mereproduksi pemikiran parsialistik yang meyakini kebenaran adalah milik sendiri dan pemikiran lain salah, menguasai atau dikuasai. Jika para intelektual, akademisi, masih berkubang dalam dualisme, maka berbagai persoalan dari kegagalan hubungan politik dan sipil sampai reproduksi politik identitas tetap menjadi kebuntuan kolektif negara bangsa.

 

Kekuasaan

 

Reproduksi dualisme ini menghasilkan wacana kekuasaan (politik) pasti salah dan sipil (publik) pasti benar, atau sebaliknya. Mode berpikir dualisme menyebabkan pertentangan dan permusuhan yang konsekuensinya adalah kebuntuan atas pemecahan masalah.

 

Mode berpikir dualisme adalah cara usang yang tak layak lagi dalam demokrasi. Anthony Giddens dan Michel Foucault bersepakat kekuasaan bukan merupakan faktisitas negatif. Sebab, kekuasaan tak dibatasi oleh struktur yang memilah posisi sosial. Kekuasaan ada dalam politik dan dalam dunia sosial, ada dalam struktur pemerintah dan dalam struktur sipil (publik). Kekuasaan hadir dalam setiap relasi dan interaksi sosial.

 

Masalah pentingnya bukanlah distingsi kekuasaan, tetapi upaya membangun interaksi yang inklusif dan setara.

 

Kekuasaan merupakan realitas dalam dunia struktur dan manusia (agensi) yang hadir sebagai pembentuk proses dialektika. Oleh karena itu, sudah tak pantas para pemikir sosial politik menciptakan distingsi asimetris melalui mazhab positivisme dan humanisme ilmu sosial.

 

Pemisahan itu hanya memperluas pun memperdalam jurang antarnarasi kebaikan. Ini bukan persoalan kemampuan pengetahuan para pemikir ilmuwan sosial politik, tetapi kepekaan terhadap jerat mode berpikir dualisme.

 

Oleh karena itu, distingsi kekuasaan ala Antonio Gramsci tentang intelektual organik dan publik adalah masa lalu yang telah dijawab oleh komunikasi intersubyektivitas dari Jurgen Habermas ataupun dualitas struktural (strukturasi) dari Anthony Giddens.

 

Mode berpikir dualisme mereproduksi berbagai stigma bahwa, misal, para akademisi yang sibuk penelitian dan menerbitkan hasilnya sebagai tulisan buku atau jurnal ilmiah adalah agensi yang tidak peduli terhadap masyarakat. Selanjutnya, stigma ditimpakan kepada para ilmuwan yang bekerja melalui struktur kekuasaan politik sebagai musuh publik.

 

Stigma merupakan produk komunikasi nalar kekerasan dalam mode berpikir dualisme yang bertujuan menundukkan dan melemahkan. Pada komunikasi stigma inilah sebenarnya, klaim menjadi intelektual publik, atau intelektual organik, sedang mereproduksi habit dominasi. Habit yang menggambarkan krisis moral terhadap permasalahan negara bangsa yang makin kompleks.

 

Oleh karena itu, mode berpikir dualisme atas kekuasaan juga gagal dalam banyak masalah, seperti jalan keluar menghadapi reproduksi politik identitas sampai oligarki kekuasaan. Tak ada satu pun sejarah sosial politik dengan mode berpikir dualisme berhasil mengatasi masalah-masalah ini.

 

Demokrasi secara umum telah jadi modal untuk menciptakan interaksi setara antarkekuasaan, termasuk kekuasaan politik dan publik untuk mencapai common objective. Prosedur dan substansi demokrasi mendomestikasi (menjinakkan) kekuasaan dalam setiap kelembagaan interaksi berbagai aktor baik politik maupun sipil.

 

Maka, kunci menjadikan kekuasaan bisa bekerja untuk menyelamatkan negara bangsa adalah interaksi yang inklusif, saling mengerti, berprinsip pada tujuan kebaikan sebagai moral.

 

Interaksi inklusif

 

Jebakan mode berpikir dualisme dengan reproduksi komunikasi makna yang stigmatif secara fakta historis memberi kebuntuan dalam bentuk konflik zero-sum game. Mode berpikir yang dipakai Orde Baru dan berbagai bentuk kekuasaan otoriter lain dalam masyarakat dunia. Misal, stigma terhadap para akademisi dan berbagai riset mereka sebagai agensi tidak peduli pada masyarakat.

 

Padahal, para akademisi dengan tulisan jurnal ilmiah adalah kontribusi dalam ilmu pengetahuan yang akan berpengaruh dalam praktik-praktik kekuasaan, politik dan sipil, untuk memproduksi dan mereproduksi tujuan kebaikan.

 

Pada saat bersamaan, kelembagaan ilmu pengetahuan dalam universitas menyediakan dan mengharuskan pembelaan kepada publik melalui ”struktur signifikansi” pengabdian masyarakat. Para akademisi, ilmuwan, praktik turun dalam pengabdian masyarakat sebagai upaya implementasi hasil penelitian.

 

Para akademisi melakukan pemberdayaan masyarakat dari penguatan ekonomi, pengelolaan lingkungan, sampai kesehatan. Pada praktik inilah sebenarnya para intelektual akademisi mengambil posisi intelektual jalan tengah.

 

Intelektual jalan tengah generasi awal di Indonesia bisa dilihat dari Soekarno yang membentuk nasakom (nasionalis, agama, komunis) pada era itu. Nasakom adalah praktik intelektual jalan tengah yang menyadari bahwa setiap kekuasaan dari para aktor, dan kolektif, berpotensi mentransformasi sumber daya agar mencapai kebaikan.

 

Persoalannya adalah dualisme menyebabkan keterbatasan melalui reproduksi stigma sehingga terbentuk interaksi zero-sum game. Klaim dualisme dari agensi politik dan sipil waktu itu sudah disadari oleh Soekarno walaupun tanpa perangkat keilmuan memadai.

 

Kekuasaan dari setiap aktor dan strukturnya, seperti kekuasaan sebagai akademisi, pemimpin politik, atau media massa, harus menciptakan ”pertemuan” dalam rangka saling mengerti. Moral dasarnya adalah konsep-konsep kebaikan.

 

Maka, kesadaran atas kekuasaan secara dialektis memungkinkan transformasi yang transenden. Yaitu perubahan yang mungkin tidak harus tampil secara simbolik sama dengan klaim setiap aktor, tetapi menciptakan kebaikan bersama.

 

Pesan penting untuk para intelektual, kaum berpikir dan bekerja dalam tindakan, adalah jadikan interaksi inklusif sebagai jalan tengah, bukan stigma sebagai dualisme. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar