Reforma
Agraria Kepulauan dan Kesejahteraan Rakyat Pesisir Marthin Hadiwinata ; Koordinator
Nasional Ekologi Maritim Indonesia |
KOMPAS,
12 April
2021
Sebagai negara kepulauan, ketimpangan
penguasaan sumber-sumber agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil tampak
jelas. Permasalahan dan konflik agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil
terjadi beragam. Mulai dari privatisasi dan perampasan agraria untuk
kepentingan, seperti pariwisata dan perkebunan monokultur. Di wilayah pesisir terjadi aktivitas
ekstraktif yang cenderung masif, seperti pertambangan mineral pasir dan logam
berharga seperti timah dan nikel. Di sisi lain, ancaman krisis iklim terhadap
kepulauan Indonesia, dengan kenaikan muka air laut, anomali cuaca,
meningkatnya ancaman bencana dan kelangkaan pangan perikanan. Dalam catatan akhir tahun Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi fluktuasi konflik agraria di kawasan
pesisir dan pulau kecil. Pada tahun 2015 terjadi empat konflik, tahun 2016
terjadi 10 konflik, tahun 2017 terjadi 28 konflik, tahun 2018 terjadi 12
konflik, tahun 2019 terjadi 6 konflik, dan terakhir di tahun pandemi 2020
terjadi 3 konflik. Angka tersebut terlihat tidak signifikan,
tetapi tidak dapat menjadi justifikasi minimnya konflik agraria di wilayah
pesisir dan pulau kecil dan mengingat keterbatasan akses dan pengetahuan yang
dimiliki oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil secara umum. Data yang diungkapkan oleh Gusus Tugas
Reforma Agraria (GTRA) Pusat sebanyak 12.306 pulau dari 17.504 pulau atau 76
persen pulau di Indonesia belum bersertifikat (Sekretariat GTRA Pusat,
Desember 2020). Penulis melihat adanya fenomena gunung es dalam konflik
agraria di wilayah pesisir dan pulau kecil. Ditambah lagi dengan adanya UU Cipta Kerja
yang merevisi ketentuan investasi asing terhadap pulau-pulau kecil dan
perairan sekitarnya dapat dilakukan tanpa pembatasan, seperti jaminan akses
publik, tidak berpenduduk, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal dan
pertimbangan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan (Pasal 18
angka 22 UU CK, perubahan Pasal 26A UU 1/2014). Reforma agraria di wilayah pesisir dan
pulau kecil telah memiliki mandat kuat dalam berbagai kebijakan yang ada.
Dimulai dari pemaknaan agraria dalam konstitusi UUD 1945 tidak hanya tanah,
tetapi termasuk bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kemudian UU No 7/2016 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam yang mewajibkan
pemberian akses dan ruang penghidupan dalam perumusan perencanaan ruang baik
dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Tata Ruang Laut Nasional (Pasal 25 Ayat
(5) UU 7/2016). Ruang penghidupan meliputi wilayah atau
zona tangkap ikan, tambat-labuh kapal serta tempat tinggal. Selanjutnya
Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria juga telah mengakui pemangku hak
atas wilayah pesisir dan pulau kecil seperti nelayan kecil, nelayan tradisional,
nelayan buruh, pembudi daya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, dan
petambak garam kecil dan penggarap tambak garam sebagai subyek reforma
agraria. Dalam pandangan penulis, setidaknya
terdapat empat hambatan dalam mewujudkan Reforma Agraria di kawasan pesisir
dan pulau kecil. Pertama, tiadanya pengakuan dan perlindungan hak tenurial
bagi pelaku perikanan skala kecil baik nelayan kecil maupun pembudi daya ikan
dan petambak garam. Pasal 61 Ayat (1) UU Perikanan menegaskan,
nelayan kecil dibebaskan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia. Namun,
tidak diikuti dengan adanya perlindungan kegiatan menangkap ikan tersebut
dalam wilayah tangkap. Baik dari kompetisi di dalam sektor perikanan sendiri
maupun dengan sektor lain dalam ruang tangkap nelayan, seperti pertambangan
dan industri ekstraktif. Dalam internal sektor perikanan, jalur
penangkapan ikan tidak diikuti dengan pengawasan perikanan. Dengan sektor
lain, perencanaan ruang berupa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau
Kecil (RZWP3K) tidak melihat perikanan skala kecil sebagai pemangku hak yang
wajib diberikan perlindungan, yang terjadi adalah ketidakadilan yang dbungkus
dalam proses partisipasi yang manipulatif. Selain itu, tiadanya operasional dari
kewajiban memberikan akses dan ruang penghidupan dalam perencanaan ruang juga
menunjukkan tiadanya perlindungan tenurial terhadap nelayan kecil. Kedua, perencanaan yang sektoral
mengakibatkan tiadanya perencanaan yang komprehensif dan saling terkait.
Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau kecil mencakup wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur
dari garis pantai. Namun, dalam praktiknya, pengaturan wilayah pesisir dan
pulau kecil hanya mencakup perairan dan tidak mengatur wilayah darat, baik di
wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil. Ditambah lagi, Perubahan UU Penataan Ruang
melalui UU Cipta Kerja yang memisahkan adanya pemanfaatan dalam RTRW dan
pengelolaan dalam RZWP3K dan Rencana Tata Ruang Laut. Hal tersebut makin
menyebabkan bias daratan dalam perencanaan ruang perairan dan kelautan. Selain itu, dalam sektor perikanan terdapat
rencana pengelolaan perikanan di mana dalam perencanaannya tidak melibatkan
pelaku perikanan, khususnya perikanan skala kecil yang merupakan aktor mayoritas
dalam perikanan di Indonesia. Ketiga, inventarisasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sering kali dilakukan secara
tidak partisipatif. Perampasan tanah di pulau kecil terjadi karena
Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T)
dilakukan secara manipulatif tanpa partisipasi sepenuhnya masyarakat.
Tindakan IP4T tidak dilakukan untuk memastikan penguasaan, pamanfaatan, dan
penggunaan yang riil terjadi di tingkat tapak. Selain itu, IP4T belum mengakui penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, seperti ruang tangkap dan
kawasan tambat labuh kapal. Selain itu, juga belum mengakomodasi pendekatan
hak sebagai contoh adalah hak atas tempat tinggal. Dalam praktiknya, masyarakat menghuni
tempat tinggal di atas rumah panggung yang berada di kawasan pesisir dan
peralihan perairan. Termasuk penguasaan atas ruang tangkap yang selama ini
tidak dilindungi sehingga rawan terjadi konflik agraria. Reforma agraria
tidak hanya aspek tanah, tetapi juga termasuk wilayah pesisir dan perairan. Keempat, pengakuan yang semu terhadap
perikanan skala kecil. Nelayan sebagai profesi telah diakui, tetapi perikanan
skala kecil tidak mendapatkan rekognisi yang jelas. Perikanan skala kecil
mencakup semua kegiatan dari pra hingga pascaproduksi, baik oleh laki-laki
maupun perempuan. Perubahan terakhir dalam UU Cipta Kerja
menciptakan ketidakjelasan batasan skala kecil walaupun dalam PP No 27/2021,
ukuran kapal skala kecil di bawah 5 gros ton dibebaskan dari kewajiban surat
laik operasi SLO. Selain itu, pengakuan semu terlihat dari
registrasi kapal pasif oleh pemerintah, yang berujung rekognisi minimum untuk
mendapatkan tanda daftar kapal untuk mengakses BBM bersubsidi. Namun,
registrasi tersebut tidak mengakui aktivitas kegiatan perikanan yang
mendudukan pemerintah hanya berfungsi tidak lebih dari fungsi pencatatan dan
tidak melakukan fungsi pengawasan dan perlindungan. Untuk menjawab permasalahan reforma agraria
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penulis berpendapat, pemerintah
bisa melakukan tiga langkah. Pertama melakukan implementasi Pedoman FAO
tentang Perlindungan Perikanan Skala Kecil yang terbit tahun 2014 dengan
sesungguhnya. Pedoman tersebut setidaknya memberikan
jalan perlindungan dalam lima aspek perlindungan, yaitu (i) perlindungan
tenurial dan pengelolaan sumber daya yang mencakup perlindungan ruang tangkap
serta tanah yang menjadi tempat tinggal dan pengelolaan kolaboratif
(co-management). Aspek berikutnya (ii) pembangunan sosial,
lapangan kerja dan kerja yang layak mencakup jaminan sosial, serta
pembangunan infrastruktur dasar mulai dari kesehatan, pendidikan,
pemberantasan buta huruf, inklusi digital dan keterampilan lainnya yang
bersifat teknis serta akses pembiayaan yang adil; (iii) rantai nilai,
pascaproduksi dan perdagangan mencakup jaminan akses pasar, harga pasar,
serta pengembangan infrastruktur pasca produksi dan perdagangan yang
menguntungkan perikanan skala kecil. Kemudian aspek (iv) kesetaraan jender yang
mencakup pengarusutamaan keadilan jender dalam setiap pengembangan perikanan
dengan perlakuan khusus kepada perempuan yang berada dalam sektor perikanan;
(v) risiko bencana dan perubahan iklim yang mencakup strategi adaptasi dan
mitigasi dengan konsultasi yang melibatkan nelayan, masyarakat adat baik
laki-laki dan perempuan serta adanya rencana mengatasi perubahan iklim di
dalam sektor perikanan. Kedua melakukan implementasi UU No 7/2016
dengan sebenar-benarnya, salah satunya dengan segera menerbitkan peraturan
pemerintah pelaksana yang menyeluruh terhadap berbagai strategi perlindungan
dan pemberdayaan yang dimandatkan dalam UU No 7/2016. Peraturan pelaksana tersebut dapat
mengintegrasikan substansi dari Pedoman FAO tentang Perlindungan Perikanan
Skala Kecil FAO Tahun 2014 sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam melindungi
perikanan nelayan skala kecil. Ketiga, adanya desk khusus dalam Gugus
Tugas Reforma Agraria di mulai dari tingkat pusat, hingga daerah
kabupaten/kota dalam melakukan percepatan reforma agraria di pesisir dan
pulau-pulau kecil. Strategi ini untuk memastikan provinsi dan kabupaten/kota
dengan kawasan pesisir dan kepulauan mendapatkan perhatian khusus. Harapannya dengan reforma agraria di
kepulauan dapat menjadi jalan mengatasi konflik, menjawab ancaman perubahan
iklim dengan memberikan kewenangan rakyat pesisir untuk dapat mengelola,
menggunakan, dan memanfaatkan sumber-sumber daya agraria yang tersedia, baik
tanah maupun perairan pesisir, di negara kepulauan Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar