Kamis, 11 Januari 2018

Tahun Baru 2018

Tahun Baru 2018
Leak Kustiyo  ;  Dirut Jawa Pos Koran
                                                     JAWA POS, 01 Januari 2018



                                                           
PADAM sudah pesta kembang api, 1 Januari datang lagi. Lembar kerja baru dimulai lagi.

Seperti apa tantangan di tahun yang baru?

Coba kita ingat proses yang kita tempuh sepanjang tahun kemarin. Hidup akan senantiasa berisi pengulangan-pengulangan. Kalau ada kejutan di sana-sini sesungguhnya hanya kumpulan ketidaksengajaan dan kecelakaan, yang beda-beda tingkatannya. Bagi yang kenyang kecelakaan, akan relatif tenang dan tak mudah kaget.

2018 adalah tahun politik dengan hajatan pilkada serentak se-Indonesia. Yang kita risaukan adalah: bagaimana kalau dalam hiruk pikuk politik nanti terjadi kecelakaan-kecelakaan? Kalau korbannya tergeletak di jalan, larikan ke UGD terdekat. Kita paham. Tapi, kalau korbannya ternyata adalah pemimpin, yang karena proses politik yang celaka akhirnya terpilih jadi kepala desa, bupati, gubernur, atau presiden. Nasib kita semua akan sangat tergantung pada daya tahan, upaya me­nyembuhkan diri, dan ketabahan dari pribadi pemimpin-pemimpin tersebut.

Meski ada pemimpin yang punya bakat hebat memberesi sakitnya sendiri, tapi umumnya pada kesulitan. Karena proses politik butuh mekanisme penyembuhan secara politik pula. Sementara yang lazim terjadi dalam mekanisme penyembuhan seperti itu, selalu ada semacam tawar-menawar yang alot antara pihak yang membawa obat, yang butuh sehat, dan pencipta rasa sakit.

Kita sebagai rakyat?

Tetap harus melangkah karena argo jalan terus. Jarum jam berputar terus, tak ada ruang transit buat aneka keharusan. Harus bayar listrik, air, angsuran ke bank, bayar pulsa, makan di luar di akhir pekan, bayar sekolah anak, dan seterusnya. Semua sudah duduk di kursi waktunya masing-masing dan ketika gilirannya tiba, mereka harus mendapat pelayanan terbaik: tolong dibayar!

Bila di akhir 2018 nanti semua ikhtiar berjalan lancar, pilkada serentak aman, target kerja tercapai, sukses, nah itu harapan semua! Namun, jika semua daya sudah dikerahkan, sudah kerja keras (bahkan lebih keras daripada kerja yang paling keras), tapi hasil akhir tetap melempem? Gimana coba...

Sebaiknya tidak patah arang.

Tapi, bila ternyata tetap patah juga arangnya?

Silakan mumet bareng! Cari cara yang baik dan benar, menyenangkan, positif. Tentu dengan gaya seolah-olah tetap waras.

Tom Hanks, dalam Forrest Gump, di tengah kebuntuan tingkat tinggi dan situasi kepepet, tiba-tiba muncul energi "mampu" lagi. Lalu secara instingtif kakinya melangkah, lari! Lari, dan teruuus berlari. Kalau misalnya sedang di Surabaya, Tom Hanks akan berlari ke arah timur sampai ujung timur Pulau Jawa, hingga bibir pantai Ketapang, Banyuwangi.

Karena di depan sudah tak ada aspal, dia putar badan, lalu lari ke arah barat, teruuus berlari, sampai mentok di garis pantai Pelabuhan Merak, Banten. Ambil arah kiri, lari lagi sampai Pantai Parangtritis. Putar balik, lari lagi ke utara sampai pantai Tanjung Mas, Semarang. Pokoknya baru belok atau putar balik setelah di depannya laut. Sehat. Cuma agak dramatis dan aneh. Tapi, apa bedanya dengan para maniak maraton yang sedang mewabah sekarang ini?

Ada pilihan lain misalnya: bernyanyi. Di daerah Surabaya Barat, ada sebuah pasar sayuran yang besar, bersih, dan modern yang dibangun pengembang Grup Puncak. Pasar itu untuk melengkapi kebutuhan penghuni tower-tower apartemennya. Di tengah pasar sayuran, buah, ikan, dan berbagai makanan itu, tersedia peranti karaoke yang bisa dipakai siapa saja yang ingin bernyanyi.

Hebat. Bernyanyi di tengah pasar dengan volume suara yang keras sekali! Praktik perkaraokean bahkan sudah dimulai sejak pagi-pagi sekali. Dengan Rp 10 ribu bisa pilih lagu Mandarin, keroncong, oldies, hingga dangdut rap Via Vallen atau Nella Kharisma. Jaran goyang... jaran goyang... Sebenarnya mudah untuk menciptakan rasa senang.

Kesuksesan tentu akan menciptakan rasa senang, tapi ketidaksuksesan juga punya hak untuk tidak membuat terpuruk.

                                                       ---

Di ujung timur Jalan Slamet Riyadi, sebelah utara Alun-Alun Solo, Jawa Tengah, ada air mancur yang lebih difungsikan sebagai aksesori kota. Karena konstruksi plumbing-nya mungkin kurang presisi, waktu itu air yang mancur agak kurang akurat. Air tidak semuanya nyemprot ke ponds, tapi sebagian muncrat ke jalan dan membasahi pengendara motor yang lewat. Ketika kemarau sedang puncak-puncaknya, semprotan air desersi itu ternyata dinikmati pengendara yang sedang lewat, lebih-lebih saat lalu lintas macet. Kaca helm dibuka, air mancur mengenai muka, hmm... segar.

Situasi panas, hawa yang kurang menyenangkan, kadang tak sulit-sulit amat untuk diatasi. Kekeliruan, kekurangan, tak harus mengekspresikan kegagalan. Toh, sambil jalan bisa dilakukan perbaikan-perbaikan. Yang penting, terus berjalan.

2018 kita sepakati sebagai tahun politik. Aura seru sudah tergambar sejak awal tahun. Di Jatim, kontestasi untuk menjadi gubernur 2018 bakal mempertemukan pasangan Gus Ipul-Anas dengan Khofifah-Emil. Sejak sepuluh tahun lampau pun antara Gus Ipul dan Khofifah sebenarnya sudah seru. Apalagi kalau kali ini ada pasangan ketiga cagub La Nyalla Mattalitti yang fenomenal, yang sekarang masih berjuang untuk mendapat kepastian. Sungguh episode yang dinanti.

Pilgub Jatim bagian penting dari gawe pilkada serentak secara nasional. Maka kalau saja suhu politik Jatim panas, panasnya pun sebenarnya cuma sekelas panasnya sebuah pemanasan. Masih ada kontestasi lanjutan, yaitu pilpres setahun kemudian.

Sebaiknya kita memang jangan membayangkan hal-hal yang terlalu panas. Semua panas pernah kita lalui. Pilgub DKI, semua masih kebayang seperti apa heboh dan panasannya. Tapi, begitu musim hujan datang seperti saat ini, kita bisa rindu dengan temperatur ala Ahok. Memodifikasi ungkapan Sutan Bhatoegana: ...panas-panas nikmat!

Ahok, kita tahu, sekarang OK. Beliau tidak kepanasan, tidak kedinginan. Sayangnya, kita sekarang tak dengar lagi ada pejabat yang gaya bicaranya: loe gue, loe gue. Sepertinya pada takut kepeleset lidah. Akhirnya, sepi...

Perubahan naik turun suhu politik dalam beberapa waktu terakhir sebenarnya banyak membawa hikmah. Kita jadi kian piawai mengatur temperatur. Mau panas, hangat, dingin, tinggal setel saja. Kita semua sudah paham limitnya. Mestinya tak akan ada panas politik yang kelewat panas di tahun 2018 ini.

Terus semangat. Selamat tahun baru. Selalu ada yang baru! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar