Antara
Pemberian Blok Mahakam
dan
Penugasan BBM
Fahmy Radhi ; Pengamat Ekonomi Energi
UGM;
Mantan Anggota Tim Anti
Mafia Migas
|
INDONESIANA,
02 Januari
2018
Hadiah tahun baru 2018
yang sangat berarti bagi negeri ini adalah penyerahan pengelolaan Blok
Mahakam dari Total E&P Indonesie kepada Pertamina terhitung sejak 1
Januari 2018. Tidak mengherankan kalau Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dan
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam harus menggelar prosesi serah terima di
Club House Total, Balikpapan, yang waktunya bersamaan dengan perayaakan
pergantian tahun baru 2018.
Kegembiraan Amien
Sunaryadi dan Syamsu Alam memang beralasan, lantaran pengembalian Blok
Mahakam ke pangkuan Ibu Pertiwi merupakan proses panjang yang berliku, bahkan
hampir saja gagal. Pada saat pemerintahan SBY, Menteri Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik hampir saja memenuhi tuntutan Total E&P
Indonesie untuk memperpanjang kontrak 20 tahun lagi hingga berakhir 2038.
Berbeda dengan Pemerintahan sebelumnya, Pemerintahan Joko Widodo sejak awal
sudah bertekad untuk mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam, sebagai bagian
dari Program Kemandirian Energi.
Beberapa hari sebelum
penyerahan Blok Mahakam ke Pertamina, Menteri ESDM Ignasius Jonan memutuskan
untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM penugasan, terdiri: premium, bio
solar, dan minyak tanah, hingga akhir triwulan pertama 2018. Pertimbangan
utama keputusan itu adalah untuk memenuhi rasa keadilan bagi rakyat sebagai
konsumen ditengah daya beli yang sedang melemah. Di balik keputusan itu
memang ada trade off antara kepentingan Pertamina dan PLN dengan kepentingan
rakyat. Pemerintah tampaknya mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan rakyat ketimbang kepentingan PLN dan Pertamina.
Pertanyaannya:”apakah
keputusan Pemerintah tidak menaikkan harga BBM penugasan akan merugikan bagi
Pertamina? Direktur Pertamina Elia Massa menglaim bahwa dengan harga acuan
Indonesian Crude Price (ICP) pada kisaran US$ 59 per barrel, potensi
Pertamina kehilangan keuntungan (opportunity loss) bisa mencapai sekitar Rp.
19 triliun. Kalau memperhitungkan potensi opportunity loss itu secara
parsial, Pertamina memang harus menanggung pembengkaan opportunity lost akibat
harga BBM penugasan tidak dinaikkan.
Namun, jika Pertamina
memperhitungkannya secara komprehensif, tidak hanya penugasan BBM saja,
tetapi juga memperhitungkan potensi keuntungan atas pemberian pengelolaan
sejumlah Blok Migas di hulu, utamanya Blok Mahakam, potensi kehilangan
keuntungan itu hampir tidak berarti sama sekali. Blok Mahakam masih
menyisakan cadangan sebesar 57 juta barel minyak, 45 juta barel kondensat,
dan 4,9 trillion cubic feet (tcf gas). Menurut perhitungan SKK Migas, dengan
pemberian asset non-cash Blok Mahakam, asset Pertamina akan betambah
kurang-lebih 20%, yakni sebesar US$
9,43 miliar atau sekitar Rp. 122,59 triliun. Adanya tambahan asset sebesar
itu, total asset Pertamina kini menjadi US$ 54,95 miliar atau sekitar Rp.
714,35 triliun.
Dengan tambahan asset
sebesar itu, maka akan meningkatkan modal sendiri (equity) Pertamina.
Peningkatan equity sebesar tambahan asset itu akan meningkatkan financial
leverage Pertamina hingga 3 kali lipat. Peningkatan financial leverage itu
akan semakin meningkatkan kredibilitas Pertamina dalam memperoleh dana segar
(fresh money) dari pihak ketiga, termasuk penerbitan obligasi, untuk capital
expenditure (Capex) dan operational expenditure (Opex) yang dibutuhkan, baik
untuk membiayai operasional Blok Mahakam, maupun Blok Migas lainnya.
Selain itu, dengan share
down 39% saham Blok Mahakam, Pertamina
akan memeproleh cash inflow dalam
bentuk fresh money sebesar US$ 3,68 (39% X US$ 9,43 miliar) atau Rp. 47,84
triliun. Berdasarkan produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah
dikurangi cost recovery, selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai
sebesar US$ 317 juta atau sekitar Rp. 4,12 triliun.
Dengan pemberian
pengelolaan Blok Mahakam, Pertamina memperoleh tambahan asset sebesar Rp. 122,59 triliun, fresh money
sebesar Rp. 47,84 triliun, dan pendapatan netto per tahun sebesar Rp. 4,12
triliun. Potensi kerugian Pertamina, akibat tidak dinaikkan harga BBM
penugasan, sebesar Rp. 19 triliun sesungguhnya sangat tidak sebanding dengan
tambahan asset dan pendapatan, yang diterima Pertamina. Bahkan, jika ditambahakan biaya penugasan
BBM Satu Harga sebesar Rp. 800 miliar per tahun, potensi kerugian sebagai opportunity loss
masih sangat kecil. Selain itu, meskipun harga BBM penugasan tidak dinaikkan,
komponen biaya penugasan dan margin Pertamina juga sudah dimasukkan sebagai
komponen biaya dalam penetapan harga BBM Penugasan
Tidak ada alasan bagi
Pertamina untuk selalu mengeluhkan beban biaya penugasan BBM yang harus
ditanggung Pertamina, baik akibat kebijakan tidak menaikkan harga BBM
penugasan, maupun kebijakan BBM Satu Harga. Keluhan-keluhan tersebut
mengindikasikan seolah Pertamina merasa keberatan dalam menjalankan penugasan
Pemerintah. Kalau benar Pertamina keberatan menjalankan penugasan Pemerintah,
pemegang 100% Saham Pertamina, lalu siapa lagi yang harus menjalankan
penugasan tersebut?
Dengan tambahan non-cash
asset, cash flow dan pendapatan dari Blok Mahakam, Pertamina tidak
sepantasnya selalu mengeluh atas beban penugasan Pemerintah, bahkan Pertamina
harus berterima kasih kepada Pemerintah atas pemberian pengelolaan Blok
Mahakam. Pertamina juga sudah seharusnya bertambah peka dan peduli terhadap
rasa keadilan rakyat, dengan mendukung keputusan Pemerintah untuk tidak
menaikkan harga BBM penugasan hingga triwulan 2018, bahkan sepanjang tahun
2018.
Pertamina tidak perlu
khawatir mengalami opportunity loss dalam menjalankan penugasan Pemerintah,
baik BBM Penugasan, maupun BBM Satu Harga. Pasalnya, Pemerintah pasti akan
memberikan kompensasi dalam bentuk non-cash asset dari ladang Migas lainnya,
yang kontraknya akan berakhir. Salah satunya adalah Blok terbesar Rokan,
dikelola oleh Chevron Pacific Indonesia, yang kontraknya akan berkahir pada
tahun 2021. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar