Senin, 08 Januari 2018

Penurunan (Semu) Kemiskinan

Penurunan (Semu) Kemiskinan
Bagong Suyanto ;  Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
                                                      KOMPAS, 05 Januari 2018



                                                           
Di awal tahun 2018, Badan Pusat Statistik mengumumkan data yang menggembirakan: jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2017, penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 10,12 persen. Angka tersebut turun jika dibandingkan dengan September 2016 yang tercatat sebesar 10,70 persen, dan Maret 2017 sebesar 10,64 persen. Sementara itu, jumlah penduduk miskin per September 2017 dilaporkan juga turun menjadi 26,58 juta orang. Bandingkan dengan kondisi pada Maret 2017 di mana jumlah penduduk miskin sebesar 26,77 juta orang.

Secara statistik, laporan BPS yang menyebutkan tingkat kemiskinan selama Maret-September 2017 menurun tentu melegakan banyak pihak. Artinya, kritik dari berbagai pihak yang menyebut kekeliruan pemerintah dalam merumuskan program- program pembangunan dan program penanggulangan kemiskinan ternyata tidak sepenuhnya benar.

Buktinya, selain jumlah penduduk miskin menurun, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga dilaporkan membaik, yakni masing-masing sebesar 1,79 persen dan 0,46 persen. Tingkat ketimpangan kemakmuran yang diukur dari rasio gini, menurut BPS sebesar 0,391 poin per September 2017 atau turun 0,002 poin bila dibandingkan dengan kondisi Maret 2017.

Apa makna dari data yang diekspos BPS di atas? Apakah data statistik yang melaporkan penurunan jumlah, persentase, dan ketimpangan kemakmuran merefleksikan bahwa berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan pemerintah selama ini sudah di jalur yang benar?

Keberhasilan semu

Sebelum membahas sejauh mana berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dikembangkan selama ini efektif dan tepat sasaran atau tidak, ada baiknya jika kita terlebih dahulu memahami makna di balik data BPS tentang penurunan kemiskinan di Indonesia. Perlu diketahui, di balik angka penurunan kemiskinan sebagaimana dilaporkan BPS, satu hal yang masih menjadi ganjalan sebetulnya adalah soal batasan tentang siapa yang tepat dikategorikan miskin.

Persoalan ini perlu dijernihkan terlebih dahulu. Sebab, batasan BPS untuk menentukan seseorang disebut miskin atau tidak sebetulnya masih jadi kontroversi karena dinilai terlalu rendah. Seperti diketahui, di tahun 2017, seseorang dikategorikan miskin jika pendapatan per kapita per bulan sekitar Rp 375.000. Artinya, satu keluarga miskin dengan dua orang anak, mereka tidak akan disebut miskin jika setiap bulan penghasilan keluarga itu di atas Rp 1,5 juta. Apakah realistis berharap satu keluarga dengan empat anggota keluarga dapat bertahan hidup hanya dengan Rp 1,5 juta?

Di tengah kondisi di mana harga bahan kebutuhan pokok terus naik, dan tidak jarang keluarga miskin harus menghadapi kebutuhan yang sifatnya mendadak, termasuk bila ada anggota keluarga yang sakit, maka bisa dibayangkan bagaimana mungkin satu keluarga miskin dapat bertahan hidup hanya dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta atau bahkan di atas Rp 3 juta.

Jika penetapan UMR di berbagai kota saja kini sudah di atas Rp 3 juta, sebetulnya agak aneh jika BPS tetap memakai batasan sekitar Rp 375.000 untuk mengategorikan seseorang disebut miskin atau tidak. Kalau mengacu pada batasan Bank Dunia, seseorang dikategorikan tidak miskin apabila penghasilan mereka per kapita per bulan sekitar
Rp 780.000 ke atas.

Jadi, kalau mempergunakan batasan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa dipastikan jauh lebih besar daripada angka yang diumumkan BPS di atas. Selain itu, kalau dilaporkan angka ketimpangan kemakmuran menurun, itu juga bukan berarti tidak ada masalah di balik angka yang tersaji.

Meski pemerintah mengklaim angka ketimpangan kemakmuran menurun, dalam kenyataan sangat terasa bahwa kehidupan masyarakat miskin justru sering kali masuk dalam pusaran kemiskinan, sedangkan masyarakat menengah ke atas masuk dalam pusaran kemakmuran yang kian tidak terkejar.

Sekadar contoh, data Forbes, misalnya, mencatat laju pertumbuhan 40 orang terkaya di Indonesia empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi nasional selama 2006-2016. Pada kurun waktu yang sama, jumlah pundi-pundi 40 orang terkaya di Indonesia tercatat melonjak 317 persen, sementara pendapatan per kapita masyarakat hanya tumbuh 52 persen. Berdasarkan data Global Wealth Databooks Credit Suisse tahun 2017, sebesar 45,4 persen porsi kekayaan nasional ternyata hanya dikuasai 1 persen rumah tangga terkaya.

Atas dasar kenyataan ini, berbagai keberhasilan sebagaimana diperlihatkan dalam laporan BPS di atas tidaklah berlebihan jika disebut sebagai keberhasilan semu. Apalah artinya data statistik yang melaporkan terjadi penurunan kemiskinan di Indonesia jika di saat yang sama kesempatan orang-orang miskin untuk mengembangkan mobilitas vertikal memperbaiki taraf kesejahteraannya tidak membaik?

Fondasi

Guna memberi kesempatan dan memastikan agar masyarakat miskin di Indonesia memiliki peluang meningkatkan taraf kesejahteraannya, tidak bisa tidak yang dibutuhkan adalah bagaimana memperbaiki fondasi dan posisi tawar masyarakat miskin. Memperkuat fondasi dan modal sosial bagi masyarakat miskin untuk memperbaiki taraf kesejahteraannya ini penting dilakukan karena hal itu memang merupakan prasyarat untuk menjamin mereka memperoleh proporsi yang layak dan adil atas jerih-payah yang dilakukan.

Dalam kenyataan, selama ini sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat miskin umumnya jadi makin papa ketika posisi tawar mereka rendah, dan mereka tak memperoleh margin keuntungan sesuai dengan haknya. Memang pemerintah sudah berupaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat miskin melalui kebijakan reforma agraria yang meredistribusi aset masyarakat miskin. Akan tetapi, tanpa dibarengi upaya perlindungan dan memastikan masyarakat miskin memperoleh apa yang menjadi hak mereka, yang dialami masyarakat miskin niscaya hanya kerentanan dan ketidakberdayaan.

Lebih dari sekadar keberhasilan dalam bentuk angka-angka statistik, untuk memastikan bahwa pembangunan yang dikembangkan benar-benar telah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin dan ketimpangan kemakmuran, maka yang dibutuhkan adalah bagaimana memfasilitasi pengembangan modal dan fondasi sosial masyarakat miskin. Jangan sampai terjadi, pembangunan diklaim telah berhasil dan on the track, tetapi ternyata itu semua hanya fatamorgana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar