Strategi
Mengatasi Involusi Reformasi Birokrasi
Sofian Effendi ; Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara
|
KOMPAS,
04 Januari
2018
Laporan Daya Saing Global
2017-2018 yang baru-baru ini diumumkan Forum Ekonomi Dunia membersitkan
harapan baru pada pemerintah agar mengakselerasi pembangunan aparatur sipil
negara yang profesional, berintegritas, dan berkinerja tinggi.
Menurut Laporan Daya Saing
Global 2017-2018 yang diluncurkan pada 23 September tahun ini, pada kurun
2016- 2017 Indonesia mencapai kemajuan yang cukup membanggakan dan
menimbulkan harapan baru. Antara 2016 dan 2017, Indonesia naik lima tingkat
dalam daya saing nasional, naik 19 tingkat dalam kemudahan berusaha, naik 19
tingkat dalam Indeks Persepsi Korupsi, dan naik 23 tingkat dalam efektivitas
pemerintah. Indeks Efektivitas Pemerintah (IEP) adalah salah satu ukuran dari
kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Naiknya Indeks Efektivitas
Pemerintah sebesar 23 tingkat—dari peringkat ke-121 menjadi ke-98—terjadi
karena skor IEP Indonesia naik dari 46 pada 2016 menjadi 53,37 pada 2017.
Tentu saja ini suatu kenaikan cukup tinggi, yaitu 7,37, karena tingkat
kepercayaan publik yang besar kepada pemerintah dan karena membaiknya
pelayanan publik. Kalau momentum pertumbuhan tinggi tersebut dapat
dipertahankan selama empat tahun berturut-turut, pada 2022 aparatur sipil
negara (ASN) Indonesia akan seperti aparatur negara-negara maju dengan skor
IEP 80 dan peringkat ke-50 atau lebih baik yang telah dicapai negara-negara
BRIC (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) dan negara-negara maju
ASEAN.
Untuk menjaga dan
mempertahankan pertumbuhan tinggi efektivitas pemerintah, Indonesia harus
memfokuskan program reformasi birokrasi pada 4-5 tahun mendatang untuk
memperkuat dan membangun model kelembagaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi kelas dunia. Beberapa pilar ASN pusat dan daerah yang lemah adalah
(a) mutu SDM ASN; (b) model kelembagaan pengelolaan ASN meritokratik yang
mampu melawan intervensi politik; dan (c) meningkatkan relevansi rumusan dan
implementasi kebijakan pemerintah di tingkat nasional dan daerah.
Involusi
dan reformasi
Involusi pertanian adalah
tesis antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, untuk menjelaskan
kemunduran sektor pertanian Indonesia yang pernah jaya sebelum masa
penjajahan Belanda. Sejak reformasi diluncurkan, gejala involusi mulai
melemahkan reformasi birokrasi walaupun, dalam Nawacita ataupun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), program reformasi birokrasi
merupakan salah satu bidang prioritas nasional yang bertujuan mewujudkan ASN
yang berhasil dicapai negara-negara di kawasan ASEAN dan negara-negara BRICS.
Walau sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai hingga saat ini, aparatur
sipil negara dengan kekuatan 4,35 juta pegawai nyatanya belum mampu mencapai
sasaran-sasaran bidang aparatur yang ditetapkan dalam RPJMN.
Dalam Laporan Daya Saing
Global 2017-2018 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (2017), Indonesia
memang mencapai kenaikan peringkat cukup baik. Namun, itu belum cukup untuk
menjadikan ASN Indonesia sekelas dengan negara-negara maju ASEAN dan BRIC.
Selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres M Jusuf Kalla,
pelaksanaan beberapa quick-wins dalam subbidang aparatur negara berjalan
sangat lamban. Belum tampak adanya perubahan signifikan mentalitas pegawai
ASN, yang masih bersemangat ”business as usual”, ataupun dalam sistem
perbendaharaan keuangan yang tetap mengutamakan ”realisasi anggaran”. Hal
inilah yang menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan APBN/APBD.
Kebijakan zero growth
selama tiga tahun berturut-turut dan moratorium pengangkatan pegawai selama
tiga tahun yang diterapkan pemerintah telah menimbulkan dua masalah baru dalam
bidang ASN. Pertama, terjadinya penuaan pegawai ASN yang akan mengganggu
kelancaran suksesi pada 440.000 jabatan pimpinan ASN. Kedua, ancaman tsunami
pensiunan karena lebih dari 40 persen pegawai ASN berusia di atas 51 tahun.
Kalau dalam lima tahun mendatang jumlah pensiunan pegawai mencapai 1,5 juta
orang, beban anggaran akan sangat besar.
Kebijakan pemerintah
mengurangi pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) selama enam tahun
berturut-turut tanpa disadari menyebabkan memburuknya rasio pegawai/penduduk
Indonesia ke salah satu level terendah di Asia. Pada 2017, rasio pegawai per
penduduk Indonesia hanya 1 per 61, jauh di bawah rasio normal 1 per 50
penduduk.
Beberapa waktu lalu,
Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, saat ini Indonesia kekurangan 465.000
guru dan tenaga pendidikan. Untuk mengatasi sementara kekurangan guru dan
tenaga pendidikan, pemda mengangkat guru non-PNS dengan gaji yang jauh di
bawah gaji pegawai ASN, yang menyebabkan mutu pendidikan lulusan SD dan SLTP
sangat rendah. Ditengarai kondisi SDM kependidikan yang seperti ini sangat
berpengaruh terhadap mutu lulusan SD-SLTP Indonesia, sebagaimana ditunjukkan
nilai tes Programme in International Student Assessment (PISA) yang dicapai
murid SD Indonesia masih di bawah skor rerata murid negara-negara Organisasi
untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Strategi
penguatan kelembagaan manajemen ASN
Indonesia berhasil
mencapai lonjakan tinggi dalam IEP karena pemerintah yang dipimpin Joko
Widodo dan Jusuf Kalla telah menunjukkan prestasi nyata dalam layanan publik
dan kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah nasional, seperti
ditunjukkan Survey Gallup (2016). Dua faktor pendorong tersebut plus
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi ternyata berdampak positif terhadap daya
saing nasional Indonesia.
Sementara tiga faktor
pendorong efektivitas pemerintah, yaitu (1) mutu SDM 4,3 juta ASN; (2)
derajat intervensi politik dalam manajemen SDM ASN, dan (3) kemampuan pejabat
ASN dalam mempertahankan konsistensi dan relevansi kebijakan publik, tampaknya
akan menjadi titik lemah ASN Indonesia pada beberapa tahun mendatang. Untuk
itu, pemerintah harus melakukan perubahan mendasar guna mewujudkan ASN yang
responsif dan kolaboratif, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), dan bebas dari intervensi politik.
Untuk mewujudkan ASN yang
bebas intervensi politik, pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan
Wapres Jusuf Kalla pada sisa masa jabatannya serta pemerintahan baru pada
2019-2024 perlu menempuh strategi kelembagaan berikut. Pertama, memisahkan
dengan tegas jabatan politik dengan jabatan administrasi.
Kedua, menempatkan
profesional yang memiliki kualifikasi dan prestasi tinggi setidaknya untuk
jabatan Menko Ekonomi, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas,
Menkumham, Menpan dan RB, Menlu, Mendikbud, serta Menristek dan Dikti.
Ketiga, seperti di
beberapa negara maju di Asia Tenggara dan Asia Timur, urusan pembinaan sumber
daya ASN dilakukan oleh sebuah lembaga negara, yaitu civil service commission
(komisi aparatur sipil negara). Bentuk lembaga negara yang dibentuk dengan
UUD atau UU dianggap dapat menjaga netralitas pegawai ASN dan stabilitas
administrasi pemerintahan. Sebagai lembaga negara, komisi tersebut dianggap
mencakup semua pegawai ASN pada instansi di seluruh cabang pemerintahan.
Jepang, Malaysia, dan
Thailand adalah contoh negara parlementer yang menggunakan komisi aparatur
sipil negara. Filipina yang menerapkan sistem presidensial bahkan membentuk
dua komisi independen, yaitu The Philippines’ Civil Service Commission untuk
mengelola jabatan pimpinan tinggi, dan The Philippines’ Career Service
Commission untuk mengelola semua pegawai negeri selain senior executive
service. Anggota komisi aparatur sipil negara dipilih dan diangkat oleh
presiden selaku kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan. Di banyak
negara, komisi tersebut merupakan gabungan dari kementerian, civil service
agency, dan civil service training agency. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar